Perjalanan dimulai dari titik kumpul di Pasar Festival. Pemandu kami hari ini adalah Neng Cindy dan ternyata dia adalah salah satu teman yang pernah dikenalin oleh Neng Tiwi. Halaaaah... Dunia sempit bangeet, pantesan serasa pernah kenal entah di mana gitu yaaa.
Sehubungan kami mulai dari jalan HR Rasuna Said, sejarah tentang jalan ini pun dimulai. Pada awalnya area ini adalah daerah bekas buangan tentara pasukan kerajaan Demak dimana mereka rata2 berasal dari daerah Kuningan, Jawa Barat. Mereka berdiam disana dan berprofesi sebagai peternak sapi perah sebelum akhirnya peternakan ini berubah menjadi perkebunan karet. Makanya gak heran kalau ada nama Karet Kuningan dan Karet Tengsin. Tan Tieng Shin sendiri adalah orang Chinese yang kaya raya karena perkebunan karetnya itu dan cukup terkenal lah pada jamannya.
HR Rasuna Said sendiri adalah pahlawan Indonesia dari Sumatera Barat. Beliau ini adalah jurnalis yang cukup berani menulis tentang Belanda pada saat itu, ya serupa Bapak Soekarno tapi versi perempuannya lah dan merupakan anggota DPR perempuan pertama. Kereeen!!
Bagaimana dengan GOR Soemantri sendiri, tempat kami berdiri tadi pagi? Ya, beliau adalah ayah dari Bambang Brodjonegoro, salah satu menteri kita juga saat ini.
Soemantri Brodjonegoro adalah lulusan pertama di Teknik Kimia ITB dan beliau adalah Rektor pertama termuda serta terlama di UI, pada saat itu umurnya baru saja 38 tahun. Serunya lagi, beliau sendiri menikahi seorang professor nuklir. Haiyaa, bahas apaan ye jaman mereka pacaran. Rasanya sih berat banget itu pembahasannya
Meskipun beliau sama sekali tidak ada kaitannya dengan olahraga tapi untuk mengenang jasa2nya, namanya sekarang dijadikan nama GOR mahasiswa di Pasar Festival. Selain di daerah Kuningan, nama Soemantri pun ada juga di salah satu puncak gunung Jayawijaya dan juga nama salah satu jalan di UI.
Perjalanan dilanjutkan ke gedung sebelahnya, PPHUI - Pusat Perfilman H Usmar Ismail. Beliau adalah Bapak Perfilman Indonesia yang membangkitkan perfilman Indonesia pada tahun 1962. Sayangnya beliau meninggal di usia muda karena ditipu oleh produser asal Italia. Pada saat itu mereka bekerja sama dalam mengerjakan produksi film Adventure in Bali. Sampai2 ia harus menggadaikan restoran Miraca Sky Club miliknya untuk membayar para pemain dan kru filmnya. Ia pun meninggal akibat pendarahan otak karena stress dan kecewa pada tanggal 2 Januari 1971. Tragis banget yaaa.
Untuk mengenangnya, setiap tanggal 30 Maret selalu diperingati sebagai hari Perfilman Nasional, sesuai ulang tahunnya.
Pemberhentian berikutnya adalah Gama Tower yang merupakan gedung tertinggi di Jakarta yang mempunyai 69 lantai. Aiih, liatnya aja ngilu yaa, mana tadi ada yang berbersih kaca pula. Iiihhh... Kaki langsung lemes iiih.
Setelah pepotoan depan Gama Tower, kami jalan lagi dan kali ini berhenti di pinggiran Terowongan Casablanca. Banyak cerita angker tentang terowongan ini. Ada yang bilang pada saat itu merupakan kuburan, tapi salah satu jasad tidak mau dipindahkan jadinya gentayangan. Ada juga cerita dulunya ada perempuan pribumi yang cantik dan banyak tentara Jepang yang suka lalu ia diperkosa dan meninggal. Skrg hantunya gentayangan. Dan yang terakhir adalah ada yang meninggal gantung diri di jembatan tersebut. Karena cerita2 tersebut, banyak yang percaya jika lewat terowongan ini harus mengklakson sebagai tanda permisi. Apapun itu ceritanya, ya semoga gak dijadikan patokan lah yaaa.
Sejarahnya sendiri kenapa dinamakan Casablanca sebetulnya sebuah kota di Maroko, Afrika Utara yang berarti rumah (casa) putih (blanca), seperti di Santorini itu loh. Di Maroko sendiri, Casablanca ini merupakan salah satu kota pelabuhan yang rencananya akan diduplikasi oleh Ciputra grup di Jakarta. Sayangnya gagal terwujud yaa. Oiya, di Maroko sendiri ada nama jalan Jakarta juga, karena tujuan awalnya tadi yaitu ingin menjadikan daerah Casablanca seperti aslinya (Sister City).
Terowongan ini aslinya hanya berjarak 5 KM saja, tapi sekarang sudah mencapai 20 KM yang terbentang dari Roxy hingga Pondok Kelapa.
Lanjut lagi perjalanan menuju Ereveld Menteng Pulo. Untuk mencapai kesini harus melewati TPU Menteng Pulo. Letaknya di sebelah apartemen Puri Casablanca.
Ereveld ini adalah makam kehormatan Belanda yang diperuntukan untuk tentara Belanda, tentara Indonesia yang bergabung dengan KNIL dan warga sipil yang meninggal akibat perang yang terjadi diantara tahun 1945 - 1949, ketika Agresi Militer 1 dan 2 berlangsung. Nyatanya malah kebanyakan yang dimakamkan disini adalah para warga sipil yang terkena imbasnya perang, bahkan ada anak2 dan bayi baru lahir. Sedih deh.
Adalah Jenderal Simon Hendrik Spoor yang membangun pemakaman ini di tanah wakaf, tanah yang diberikan oleh pemerintah untuk Belanda dengan kurang lebih 4.000 makam di dalamnya. Jenderal SH Spoor ini termasuk orang yang baik, ia menilai apapun hasil perang itu, tidak ada yang menang, semuanya kalah karena masing2 pihak harus menanggung kehilangan banyak orang ketika berperang. Sayangnya kematiannya masih menjadi misteri. Ada berita ia meninggal akibat diracun tapi ada juga karena ia mengalami stroke. Pastinya, ia dimakamkan di sana sejajar dengan para jasad lainnya, tidak dibedakan sama sekali.
Dulunya, Ereveld ini ada 22 tempat yang tersebar di seluruh Indonesia. Tapi sekarang hanya tersisa 7 yang tersebar di sekitar pulau Jawa. Di Jakarta sendiri ada 2, yaitu di daerah Kuningan dan Ancol. Lalu di Bandung ada 2, Semarang pun ada 2 dan Surabaya hanya 1.
Makam-makam tersebut bisa dibedakan menurut bentuk nisan putih yang berjejer rapi. Ada nisan untuk Kristen yang berbentuk salib, dibagi menjadi dua, polos untuk laki-laki, agak berukir untuk perempuan. Nisan untuk Tionghoa berbentuk setengah lingkaran. Nisan untuk Muslim berbentuk 3 lengkungan. Nisan berbentuk segi enam untuk Yahudi. Nisan untuk anak-anak berukuran lebih kecil. Ada pula nisan yang agak besar berisikan beberapa nama artinya mereka dikuburkan bersama karena satu peristiwa. Bagi yang tidak dapat diidentifikasi, mereka menuliskan "Onbekend" yang artinya Unknown atau tidak dikenali.
Selain pemakaman Belanda, disini juga ada pemakaman korban perang Inggris. Nisannya agak berbeda, terbuat dari marmer. Salah satu yang dimakamkan disini adalah Jenderal Mallaby. Ia meninggal akibat baku tembak di Surabaya pada tanggal 30 Oktober 1945, sebelum Pertempuran 10 November.
Disinipun juga berdiri sebuah bangunan gereja yang merupakan Gereja Simultan yang dulunya dipakai untuk tempat upacara sebelum jenazah dimakamkan. Sekarang tentunya gereja ini sudah gak terpakai lagi.
Ada sebuah kayu salib yang merupakan kayu imitasi dari bantalan rel KA di Burma dimana setiap yang menaiki kereta tersebut berujung maut. Jalur kereta ini adalah hasil kerja paksa jaman penjajahan Jepang dan pastinya memakan banyak korban jiwa. Kejamnyaaa...
Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah tempat penyimpanan abu atau Columbarium. Ini adalah tempat penyimpanan abu orang Belanda yang pada saat itu menjadi tawanan Jepang. Hebatnya orang Belanda dan Jepang ini mempunyai pencatatan data yang lengkap ketika para prajuritnya meninggal. Sehingga bisa diidentifikasikan dengan baik. Salut!
Bener-bener gak nyangka yaa ada tempat pemakaman yang asri dan tenang di tengah pemukiman padat penduduk dan juga gedung-gedung pencakar langit di kota. Semoga para pahlawan dan para korban perang tersebut tenang dan diterima arwahnya di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.