2020 - Lievell

Sunday, December 13, 2020

7:29 PM

Tanjung Lesung Short Getaway

Tanjung Lesung Short Getaway

Akhir pekan ini kami mendapat kesempatan istimewa karena bisa menikmati waktu merasakan keheningan sambil mendengarkan deburan suara ombak dari pantai, tepat di depan lokasi kami menginap.

Adalah Tante Rina dan Tante Tarti yang semangat mengajak kami untuk datang mampir ke rumah penginapannya di daerah Tanjung Lesung. Lokasinya menarik sekali, benar-benar tepat berhadapan dengan pantai. Plus hening, karena di sekitar lokasi hanya ada rumah penginapan Tante Rina tanpa ada rumah atau bangunan lain. Lokasi menarik untuk merefleksikan hidup ya.

Bersama dengan kelima suster dari ordo RGS - Religious of The Good Sheperd aka Susteran Gembala Baik (Sr. Lia, Sr. Lidwina, Sr. Magda, Sr. Nita, Sr. Yasinta) dan dua teman dari Pasar Geret (Shinta dan Ci Yanti), kami saling mengisi waktu bersama di akhir pekan ini. Kami benar-benar terhibur dengan para suster yang senang sekali melontarkan becandaan dengan Tante Rina dan Tante Tarti. Suasana jadi seru dan cair banget. Sering banget kami ngakak gak berhenti dengerin mereka bercanda. Kocak banget lah.

Kehadiran para suster ini juga menjadi keuntungan bagi Fritz. Mereka membawa satu tas isi board games. Ada Monopoli, Otello, Halma, Ludo, Ular Tangga, Scrabble dan bahkan kartu remi. Tiga dari lima suster yang ada (Sr. Lia, Sr. Nita dan Sr. Lidwina) merasa senang sekali mendapat pelatihan kilat bermain Monopoli, Otello dan juga main kartu 41 dari Fritz. Sebutannya pun menjadi Guru Gam(bl)er. :D

"Liburan kaya gini nih yang Izzie suka, Ma. Gak kemana-mana, main aja seharian." - begitu pendapat si Boy.

Kami datang di hari Sabtu pagi. Kami berangkat jam 4 pagi dan sampai di sana jam 8. Sewaktu kami datang, teman-teman ini sudah datang dari sehari sebelumnya. Mereka sudah selesai dengan sarapan pagi dan ingin bermain di pinggir pantai. Dan kebetulan, kami disambut oleh mantis yang lalu menjadi perhatian beberapa orang. Langsung cepet ambil kamera dan ceprat cepret deh diabadikan.

Fritz pun bergegas mengganti pakaiannya dan siap bermain di pinggir pantai. Kebetulan mereka juga sedang berendam, Fritz pun diajak untuk ikut bareng. Jadi satu keuntungan buat emak babehnya buat jalan berduaan sambil menyusuri pinggir pantai yang banyaaaaak sekali kerang dengan berbagai bentuk unik.

Ada salah satu suster, Sr. Magda, yang rajin mengumpulkan kerang-kerang berbentuk unik ini. Ia senang menaruhnya sebagai hiasan untuk berdoa. Jadi bersuasana alami, katanya. Menarik ya.

Sayangnya cuaca sedikit kurang bersahabat. Kami sering mendapati mendung dan turun hujan ketimbang cuaca cerah. Sempat kami sudah semangat makan siang di luar ruangan, ceritanya menikmati makan siang pinggir pantai. Menunya pun juga sudah ciamik banget nih. Sayur asem, tahu tempe bacem, ikan asin dan tentu sambal yang semuanya hasil masakan rumah dari kedua tante ini. Semuanya pun sudah tertata rapi. Kami pun sudah mulai makan. Ealaaah, mendadak rintik hujan dan diakhiri dengan tergopoh-gopoh membawa kembali segalanya ke dalam rumah karena hujan langsung deras. Gagal maning deh menikmati suasana piknik depan pantai. :P

Ada satu momen menyenangkan ketika masing-masing menceritakan tentang siapa dan apa komunitas kami ini. Ada Pasar Geret yang mana diwakili oleh Shinta dan ci Yanti. Pasar Geret ini adalah kumpulan teman-teman yang sudah tersadarkan akan gaya hidup sehat. Mereka mengkonsumsi makanan yang merupakan hasil olahan sendiri. Begitupun dengan Tante Rina dan Tante Tarti lewat Tanah Laut. Karena seringnya mereka berinteraksi satu sama lain, akhirnya diwujudkan dalam satu event yang bernama Pasar Geret. Selain lebih memudahkan teman-teman ini berinteraksi secara offline, mereka pun mempunyai misi untuk mengedukasi masyarakat tentang hidup sehat yang berawal dari pencernaan.

Lalu bagian kami yang menceritakan tentang perjalanan homeschooling kami. Dilanjut oleh Sr. Lia yang menceritakan ordo mereka yang bermisi untuk mendampingi perempuan dan anak-anak. Salah satunya adalah untuk ibu tunggal dan anaknya. Bagaimana mereka bersinergi dengan psikolog saling membantu untuk mendampingi para ibu tunggal dan juga anaknya yang semakin banyak di kalangan umat Katolik.

Sr. Lia sendiri juga mempunyai pekerjaan lainnya, ia membuat kurikulum bagi 8 PAUD yang didanai oleh keuskupan. Dimana dalam pelaksanaannya ada penyimpangan teknis yang cukup mengganggu, sehingga para suster ini ditugaskan sebagai perpanjangan tangan dari pihak keuskupan. Semoga dimudahkan misinya para suster ini, karena betul-betul dibutuhkan perjuangan yang sangat panjang untuk meluruskannya. Tercengang sih dengar ceritanya.

Hari pun masih panjang sampai malam, apalagi di sana sinyal susah sekali. Benar-benar GSM ini judulnya - Geser Sedikit Mati. Zonk banget sinyalnya. Ada spot-spot tertentu yang masih bisa, tapi begitu hujan lebat dan hari semakin malam, sinyal di spot itu hilang tanpa jejak. Jadilah beneran hening. Hihihi.

Waktu pun diisi dengan berbagi cerita, ngobrol, bercanda dan juga makaaaaan!! Wah ini sih parah. Mulut beneran tidak berhenti mengunyah. Gue sih!! Hahaha. Semua makanan yang disajikan hasil buatan sendiri. Ada berbagai macam cokelat, kue sus dengan isian cokelat disertai dengan rum serta wine yang mana semuanya ini adalah hasil dari Tanah Laut. Ada pula kue bolu hasil buatan ci Yanti yang menggunakan tepung mokaf. Enak ternyata, kali pertama nih makan kue dari tepung mokaf. Ini sampai lupa sebetulnya ngelist makanan apa saja yang tayang. Otak-otak ikan dari Allella Kitchen juga tayang lah pastinya, dan ini digoreng langsung oleh Mamang Dilan eh Bang Ali. :P

Makan malam kami dong, luar biasa totalitasnya. Ikan bakar yang mungkin kalau ditotal hampir 5 kg mungkin dan ludes dalam sekejab masuk ke perut. Disanding dengan tumisan daun dan bunga pepaya, plus lalapan serta tidak lupa sambal tomat. Duh, waktu nulis ini mendadak air liur keluar. Enak banget sumpah deh! ^-^

Eh iya, lupa cerita. Sorenya itu aku dan Ali diajak Tante Rina untuk jalan-jalan. Ceritanya ngeramban, eh yang ada malah Tante Rina kasih materi. Ini taneman jahe, Tep. Ini labu, bunganya edible, bisa dimakan, Tep. Ini kacang tanah, ini daun ubi, ini kacang panjang dan banyak lagi. Huahahahaha. Segitu gak pahamnya gue tentang tanaman. Dudulipet lah. :P
Beneran seru sih dapat pengalaman banyak dari jalan-jalan sore ke kebunnya Tante Rina. Semuanya berguna, tidak ada tanaman yang asal ditanam. 

Selesai makan malam dan cuci-cuci serta beberes, mulailah satu persatu masuk ke kamar dan beristirahat. Begitu juga kami. Sempat mengobrol dengan Fritz dan dia menyampaikan betapa senangnya dia liburan seperti ini. Meskipun beberapa kali dia sering digodain oleh Sr. Lia dan Sr. Lidwina yang memang sudah memutih rambutnya, serta Oma Rina dan Oma Tarti karena temannya jadi nenek-nenek semua, tapi Fritz benar-benar suka bisa berinteraksi dengan mereka. Awalnya dia pikir semua suster tidak lucu, tidak suka melawak, serius penampakannya. Sekarang dia baru sadar bahwa suster pun juga manusia yang hobi ngebanyol sampai bikin sakit perut. :D :D :D

Pagi hari kami disambut hujan rintik dan mendung bergelayut. Fritz yang pengen banget melihat sunrise dan sudah bangun dari jam 4.30, terpaksa manyun. Ternyata eh ternyata, menurut Oma Tarti, di tempatnya hanya bisa melihat sunset, matahari tenggelam saja. Lalu dia pun masih semangat untuk main di pantai. Meskipun hujan masih rintik, dia tetap kembali ke pantai dan minta ditemenin. Jadi deh kami berdua basah-basahan karena kehujanan. 

Waktu berjalan sangat cepat. Sekitar pukul 10 pagi, kami siap meninggalkan lokasi setelah menikmati makan pagi, beberes, bertransaksi singkong, ubi dan pisang tanduk serta memasukkan barang ke dalam mobil. Tentunya pepotoan tidak lupa dong.

Ini akan jadi kenangan manis banget sebelum penutupan tahun 2020. Kami sangat menikmati akhir pekan kami ini loh. Pemandangan yang tersajikan selama dua hari ini bikin segar mata, hati dan pikiran. Tentunya ini semua berkat yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata apapun. Sungguh berterima kasih untuk kesempatan istimewa atas ajakan kedua Tante ini yang sebetulnya akupun juga baru kenal belum lama. Berkat melimpah ya, Tante Rina dan Tante Tarti. Tuhan berkati! 


**Sehari setelah menulis ini, baru terungkap bahwa Sr. Yasinta adalah tante dari keponakan cantik nan jutek yang bernama Adriana Melliany alias Lia (Lia - nya Yanto kalau sekarang mah :P). Kalau tahu dari awal, kan sudah jadi bahan gosipan bareng nih diantara eikeh dan Sr. Yasinta. Hohohoho. 

Monday, December 7, 2020

3:04 PM

Refleksi 2020, Berkah atau Musibah?

Refleksi 2020, Berkah atau Musibah?


Bermula dari harapan yang baik untuk hari esok. Berharap semua rencana akan berjalan lancar sepanjang tahun. Bermimpi yang terbaik akan datang. Berangan hal-hal baik dapat menaungi di setiap waktu di setiap harinya. Namun sayangnya, semesta menginginkan yang berbeda bagi dunia di tahun ini. Mendadak kita semua diminta untuk rehat sejenak dari kesibukan. Mendadak semua harapan yang sudah dirancang sedemikian rupa harus tertahan dan tertunda, entah sampai kapan batas waktunya, tidak ada yang mengerti. Tentu ini bukan hal yang mudah bagi kita semua, hanya pasrah pada Sang Kuasa yang mampu dipahami oleh nalar ini.


Begitulah setiap insan memahami tahun 2020 ya. Beberapa dari kita mungkin harus terperosok dan jatuh dalam lubang, tetapi ada juga yang masih sanggup bertahan menghadapi badai Corona yang menguasai satu bumi ini. Bagaimana dengan kalian menanggapi tahun 2020 ini? Apakah Corona mendatangkan berkah atau malah menjadi musibah bagi kalian?


Bagiku pribadi, tahun 2020 ini cukup mencengangkan sih. Dimulai dengan kami harus bertahan di rumah Oma karena Kelapa Gading dilanda banjir di hari pertama tahun baru. Lalu berlanjut dengan kedatangan tamu banjir sampai 3 kali lagi setelah tahun baru itu. Memang sih, tidak berefek banyak untuk kami karena kami tinggal di area apartemen. Tapi wilayah Kelapa Gading jadi satu-satunya yang hujan dikit banjir-hujan dikit banjir dibanding dengan wilayah Jakarta lainnya. Gimana gak was-was coba ya ini. Setiap hujan mampir bentar namun deras curahnya, udah jiper aja kebanjiran. Hahaha


Berlanjut dengan bolak balik ke UGD RS Carolus sekitar pertengahan Januari ke Februari. Dari Mama (mertua) yang terjatuh di kamar mandi karena lemas dan kami harus mengantarnya ke UGD tengah malam itu juga, sampai Bang Ali yang mendadak panas tinggi ketika kami berkegiatan di Lapangan Banteng. Tentu saja ini menyebabkan suster dan dokter jaga di RS tersebut sedikit banyak kenal ya dengan diriku. Segitu tenarnya kah? Sebenarnya gak seartis itu juga sih gue. Eh, tapi kalau diingat-ingat, Kikan dari Band Cokelat aja pernah nuduh gue "Kayanya sering liat deh mukanya." Jadi, gue artis apa bukan, hayoooo :P


Lanjooot...


Yaaa, gue sedikit membuat drama dengan sensasi melotot sambil bernada tinggi ke salah satu suster akibat tidak adanya mobil ambulance yang membantu kami memindahkan Mama ke rumah sakit lain saat itu. Lah ya gimana gak pake esmoniiii eh esmosi sodaraaaa, mobil ambulance ada tiga berjejer rapi jali di depan UGD tapi begitu ditanya kenapa gak bisa antar Mama, jawabannya itu loh. "Supirnya gak ada, Bu." Darah langsung memuncak sampai ke otak rasanya saat itu, ngapain juga lo jejerin tuh ambulance ampe tiga biji disono kalau gak ada supirnya, Maliiih!! Gue pun ngomel dah, sambil gue tawarin diri, sini gue aja yang nyetirin tuh mobil ambulance dan disambut gelengan suster. Ya kali, Bu!!


Jadi begitu Bang Ali harus bertandang ke UGD RS tersebut lagi karena mendadak panas tinggi, suster yang gue ocehin itu pas bertugas. Doi kenalin kami dong lalu berbisik-bisik dengan koleganya yang lain sambil melirik-lirik ke gue. Eaaa, kesampaian juga gue jadi artis lokal sesaat deh saat itu. *gubraaak


Masuklah di pertengahan Maret. Pas banget ketika gue lagi mulai mendapat ide untuk membuat kegiatan Kumpul Bocah ala Allella Kids. Lagi seru-serunya merancang kegiatan untuk bulan berikutnya, eh Neng Corona pun menghampiri dan mendadak semua kegiatan luar ruangan harus dihentikan. Tentu saja ini bikin gue jadi resah dan gelisah, macam lagunya Chrisye.


Nah di saat pikiran bingung mau ngapain sambil nunggu si Coronce lewat, yang gak tau sampai kapan ini, ide muncul kembali. Sebetulnya ide ini sudah tercetus beberapa bulan sebelumnya sih, tapi belum berani eksekusi aja. Jadi, begitu ada kesempatan bakalan lama di rumah, gue beranikan diri untuk jalankan. Tentu ini sambil menggeret Bang Ali untuk ambil bagian lah ya. Kami mulai membuka PO masakan, di bawah bendera Allella Kitchen. Yaaa, lagi-lagi Allella. Udah brand khusus soalnya itu. Kapan-kapan diceritain deh kenapa Allella harus banget jadi nama usaha. Nanti yaaaa. 


Masakan pertama kami adalah Pangsit Kuah frozen. Kami hanya mencoba memasarkan dari pertemanan di WA saja dan antusiasnya gak disangka-sangka. Dengan prosedur PO, kami mengumpulkan pesanan, puji Tuhan, penjualan pertama kami cukup disambit eh disambut baik oleh teman-teman ini. Puji Tuhan lagi, sampai di bulan terakhir tahun 2020 ini, kami masih menjalankan usaha kecil-kecilan kami ini. Berawal tanpa logo, sekarang kami punya logo. Berawal hanya sekadar isi waktu saja, sekarang kami punya 9 masakan frozen dan 2 masakan matang. Berawal hanya dari teman ke teman saja, sekarang kami punya pelanggan tetap dan beberapa orang yang kenal dari sosmed pun menjadi langganan kami. Artinya, kami memang harus butuh serius di bidang ini. Ada PR yang perlu kami rancang untuk ke depannya.


Ternyata juga, Bang Ali ini sebetulnya yang punya bakat memasak. Doi ini turun langsung sendiri meracik bumbu dan sering mendapat pujian dari teman-teman yang membeli. Gak nyangka ya. Plus, doi pun turun langsung sendiri dalam membeli bumbu dan bahan-bahan lainnya ke pasar. Dipilih satu-satu dengan rajinnya itu bawang putih, bawang merah, percabean dari cabe keriting sampai cabe merah gede, sayur sampai daging. Segala pedagang pasar pun sampai hafal dan ikriiiib banget sama doi ketimbang sama eikeh. Apalagi kalau gue sesekali dateng ke pasar, langsung aja pedagang heboh liat artis dateng. Kaga diing, gue disindir halus aja gitu. "Wah, Ibu sampai turun gunung nih." Preeetttt benerrr dah. >,<


Bersamaan dengan Allella Kitchen merambah dunia sosmed, begitupun gue yang semakin rajin sekrol-sekrol sosmed. Akibatnya banyak pikiran-pikiran gak penting masuk. Salah satunya, gue jadi korban drakor. Huahahahaha. Sebenarnya ini aib sih yang seharusnya gak perlu gue ceritakan di sini. Masalahnya, ini sudah jadi keseharian rasanya. Hidup tanpa drakor seperti makan tanpa nasi. Eh, gue makan tanpa nasi masih bisa, hidup tanpa air. Duh, lebay gak sih tuh gue. :D


Beneran deh, ini gue nista banget menceritakan hidup gue terpapar dengan drakor. Gue emang lemah dengan nonton dan liat cowok romantis di cerita-cerita tertentu gitu loh. Apalagi judulnya serial yang harus lanjut terus semacam drakor. Gak drakor aja gue suka terlena, seperti nonton Grey's Anatomy yang jadi favorit gue bertahun-tahun ini, plus nonton NCIS, CSI dan semacamnya itu. Apalagi dengan drakor. Semua orang tahu juga lah ya, namanya juga drakor, lebay maksimal kan ya, pastilah adegan-adegannya itu semua dimaksimalin bikin cewe-cewe jadi klepek-klepek kaya orang keracunan. Iya, semacam keracunan drakor ini! Begitu juga dengan gue, yaowoooo, kalap gue nonton drakor. Belum lagi jadinya ngeliat Bang Ali udah gue sama ratakan seperti ngeliat artis Korea yang gue demen. Tentu musibah buat Bang Ali ya, soalnya gue jadi gak waras karena menyamakan dia dengan artis Korea yang gue idolain. Nah, ini beneran jadi gak bisa bedakan mana realita mana ilusi. :D

Ini sudah gue prediksikan sebetulnya ketika gue mengambil langkah mencoba nonton drakor sekali. Tapi di satu sisi, drakor ini juga jadi penyelamatan tersendiri dari pengalihan pikiran untuk terus-terusan membuka sosmed. Ini mungkin satu-satunya berkah sekaligus musibah buat gue. Lewat drakor ini juga akhirnya gue belajar untuk mengontrol diri. Tepat di saat gue mulai keracunan, datanglah penyelamat. Babang Ji Chang Wook dan Babang Gong Yoo hadir di mimpi gue. Bukaaaaan deeeeeeh. Slepet juga niiih! :P :P


Ada beberapa hal yang datang sekaligus ketika gue sadar gue perlu keluar dari ketergantungan gue dengan menonton drakor. Hidup itu memang butuh penyeimbang. Gak bisa selamanya hanya mau senang, tapi menyingkirkan yang susah. Semacam Law of Attraction, ketika kita mengharapkan sesuatu, maka pintu akan dibukakan ke situ. Dalam hal apapun itu, pasti ini yang akan terjadi. Begitu juga ketika drakor ini sudah sedikit banyak menggangu keseharian, saatnya untuk mengganti pola hidup dan pikiran. Di saat itu pula mulailah bermunculan ide dan tawaran baru yang tidak terduga sebelumnya.


Hal pertama adalah terajaklah gue dalam satu rutinitas baru dengan teman-teman dari CM Jakarta. Kami berkumpul dalam satu grup kecil berisikan 12 orang, yang mana setiap harinya kami harus membaca satu buku, berjudul Positive Discipline lalu menarasikannya. Kami sendirilah yang menetapkan waktu yang pas bagi kami kapan harus mengumpulkan tugas narasi, menjalankan dua rutinitas harian yang selalu harus dikerjakan dan juga pastinya mendiskusikannya setiap dua minggu sekali. Sedikit banyak hal ini membantu sekali sih. Gak hanya urusan dalam mendisiplinkan anak yang sering kami curhatkan, tapi juga dalam urusan apapun yang membuat kami jatuh berkali-kali dalam lubang yang sama. Seperti support grup gitu ya ini. 



Selain itu, rutinitas yang perlu dijalankan juga sedikit banyak membantu gue dalam mengatur keseharian sih. Gue jadi terbiasa untuk tidur lebih pagi, sebelumnya kan karena keracunan drakor bisa sampai jam setengah 2 masih melek nonton. Sekarang jam 10 aja udah teler, dan paginya harus bangun kurang dari jam 6. Ditambah lagi rutinitas baru gue adalah jalan pagi bersama dengan Bang Ali dan dilanjut dengan meditasi sendiri. Dari dua rutinitas ini malah jadi berujung banyak banget loh. Gue jadi bisa melihat betapa dalam 24 jam itu banyaaak sekali yang bisa gue lakukan. Tanpa gue sadari, gue sudah menyusun beberapa rutinitas yang gue harus lakukan setiap harinya. Hidup jadi lebih teratur. Tentunya ya semuanya itu juga harus dijalankan dalam porsi sedikit demi sedikit. Menjalankan rutinitas itu tidak bisa sekali tepuk lalu rutinitas itu terjalankan. Semua butuh proses, dan always start small jadi motto gue lah sekarang.


Bagaimana dengan menonton drakor? Masih tetap dijalankan, tapi tidak lagi jadi Bucin Drakor dong sekarang. Sudah bisa mengatur waktu dengan baik, semoga ini berlangsung terus yaaa.


Hal kedua adalah mendadak gue mendapat tawaran ngelesin online. Adalah seorang sahabat dari jaman kuliah yang selalu menjadi tempat cerita ketika dibutuhkan. Persahabatan kami ini unik, tidak setiap saat kami mengobrol. Kadang bisa setahun sekali ataupun lebih, tapi ketika masing-masing dari kami punya masalah, pasti kami selalu terhubung dan bisa dihubungi. Begitulah persahabatan ala kami ini, dan jujur gue suka banget dengan persahabatan kami. 


Pernah satu kali gue tanya tentang les online, lalu ditanggapi antusias olehnya kalau gue perlu mencobanya. Sampai gue rundingan ini itu tentang plus minusnya ngelesin online. Eh satu hari justru mendadak dia menelpon dan menawarkan anaknya untuk dibantu les online oleh gue. Wah, satu kesempatan bagus ini. Sekali coba, gue ketagihan. Begitu gue posting di IG gue, seorang sahabat dari sekolah pun minta untuk dibantu anaknya. Kalau sebelumnya anaknya minta dilesin matematika, kali ini minta dibantu anaknya untuk lebih berani bicara dengan Bahasa Inggris. Kesempatan sekaligus tantangan buat gue ini secara gue dah lama gak banyak menggunakan Bahasa Inggris dalam keseharian. 


Setelah sebulan berjalan, gue mendapat review dari sahabat sejak sekolah bahwa anaknya mendadak pede jaya mengajukan diri ketika diminta untuk bercerita dengan menggunakan Bahasa Inggris. Begitu aja sudah membuat gue bahagia gak ketulungan loh. Rasanya mau gue skrinsyut itu tulisan sahabat gue dan gue pejeng di IG, tapi jadinya syombong maksimal bener ya gue. Batal deh niat nyombongin dirinya. Gue takut kalau orang sombong nanti fantatnya gak lebar lagi...Hahahaha.


Di saat yang bersamaan, terlintas juga untuk menjalankan kembali Allella Kids secara online. Mungkin mesin gue ini diesel yang lama panas ya. Bukan tipe orang yang dapat mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ada momen bisa online, kenapa gak gerak cepat bikin kegiatan atau aktivitas apa gitu. Malah jatuh dulu dalam lubang drakor yang dalam. Tapi sekalinya sudah tergerak dengan ide yang muncul, gue mulailah mencoba mencari sesuatu yang bisa dijadikan aktivitas dengan anak-anak.


Kali ini gue sempat disenggol oleh sahabat gue dari Jogja. Tiba-tiba saja dia kepingin anaknya untuk dikasih kegiatan oleh Allella Kids, bisakah gue sanggupi tanyanya. Lucu ya, seringkali gue mendapati hubungan gue dan dirinya ini sering berpapasan seperti ini. Gue lagi terlintas apa, kok bisa dia juga lagi terlintas ide yang sama. Sering!


Dan, setelah uji coba praktek kegiatan sekali, mantaplah untuk menjalankan kegiatan kembali dengan bendera Allella Kids. Kegiatan yang dibuat pun bukan kegiatan yang spektakuler luar biasa menggetarkan jiwa gitu loh, kegiatan super duper sederhana dengan bahan materi yang mudah didapat. Justru itulah kegiatan biasa ini mendatangkan kebahagiaan tersendiri ketika menjalankannya. Setiap selesai bertemu dengan anak-anak ini seperti ada energi besar yang menyelimuti gue dan gue seneng luar biasa bisa berinteraksi lagi dengan mereka. Mendengar celoteh mereka walaupun hanya lewat online, bagi gue sudah bahagia banget. Begitu deh kalau berhubungan dengan anak-anak. Membawa sukacita tersendiri buat gue.


Begitulah yang terjadi di sepanjang tahun 2020, yang mungkin sebagian orang masih berusaha menerima atas apa yang terjadi dengan kesehariannya. Begitupun gue yang juga berjuang dengan keseharian gue. Begitu banyak hal yang saat ini gue melihatnya menjadi mujizat buat gue, berkat di setiap hal yang gue gumulkan. Dan satu lagi, gue melihatnya, tahun 2020 ini adalah pelajaran besar bagi kita semua. Ini bukan musibah, tahun ini adalah berkah. Berkah yang melimpah yang membuat kita belajar dari si Coronce. Di penghujung tahun ini, sanggupkah kita mengucapkan terima kasih akan hadirnya Covid 19 bernama Corona ini?

Sunday, September 27, 2020

4:36 PM

Tua itu Pasti

Tua itu Pasti


Beberapa waktu lalu, seorang kawan yang gandrung juga dengan Drama Korea (drakor) menyodorkan satu judul yang menurutnya bagus dan dijamin gue pasti suka. Awalnya gue kurang tertarik dengan anjuran si kawan ini yang mengajukan “Dear My Friends” sebagai drakor yang wajib gue tonton. Sampai akhirnya di obrolan kami yang kesekian kalinya, dia menanyakan , “Lo dah nonton blom drakor yang gue bilang waktu itu?!” Jreeeeng!

 

Sebetulnya apa sih yang menarik dari kawanan nenek-nenek yang sudah berteman sejak usia sekolah ini sampai jadi drakor yang menurut si kawan ini wajib gue tonton? Akhirnya gue pun penasaran dan gue sempatkan waktu beberapa hari lalu untuk menontonnya.

 

Drakor satu ini berkisah tentang 5 nenek yang sudah bersahabat sejak usia sekolah. Mereka adalah Hee Ja, Joong A, Nan Hee, Young Won dan Choong Nam yang berumur kisaran 70 tahunan. Ini adalah kisah mereka berlima yang berjalan mengarungi waktu yang sudah tidak muda lagi dengan segala permasalahan hidupnya dan berharap kisah mereka ini dituliskan dalam satu buku oleh anaknya Nan Hee yang bernama Park Wan. Dia memang seorang penulis dan ibunya kepingin sekali kisah hidup teman-temannya ini bisa jadi memori untuk mereka sebelum mereka meninggalkan dunia ini. Tentunya tidak mudah untuk si ibu membujuk anaknya yang merasa akan bosan sekali harus mengintil kemana para nenek ini berkegiatan. Lucunya, tanpa ia sadari ia sudah masuk ke dalam permasalahan hidup mereka dan selalu terkait dalam setiap kisahnya mereka.

 

Cerita di dalam drakor ini memang berkisah tentang persahabatan mereka berlima, tapi porsi lebih banyak berkisah tentang kehidupan Nan Hee dan keluarga, Joong A dan keluarga serta Hee Ja dan keluarga. Sisanya diikut sertakan tapi tidak begitu banyak porsinya. Seperti Young Won yang adalah seorang aktris yang mengidap kanker payudara stadium awal. Ia adalah teman yang baik yang selalu menolong kawan-kawannya ketika mereka membutuhkannya, meskipun di awal ia diceritakan mengetahui hubungan gelap antara suami Nan Hee dengan temannya tapi tidak memberitahukan Nan Hee sebagai sahabatnya. Mereka bermusuhan lama tetapi akhirnya hubungan mereka membaik di cerita ini.

 

Peran pembantu lainnya, Choong Nam adalah nenek yang hidupnya melajang sampai tua dan sibuk menghidupi saudara, keponakan dan cucu yang membutuhkan uangnya. Ia ceritanya seorang yang kaya dan periang, suka sekali melucu nenek ini dengan suara yang serak-serak basah. “Di antara kalian yang paling menderita sakit itu aku. Tahu kenapa? Karena aku yang paling diberikan kesehatan yang baik dan umur yang panjang.”  Lucunya lagi, si nenek satu ini masih sekolah dong. Dia belum lulus SMA dan hobinya nyontek PR temennya karena ia terlalu sibuk mengurusi teman-teman tuanya. Ampun deh, kocak banget!

 

Nan Hee adalah seorang ibu tunggal yang diselingkuhi oleh suaminya 30 tahun lalu. Sejak itu ia tidak pernah menikah lagi dan memilih hidup berdua dengan anaknya, Park Wan, dari hasil usaha restoran kecil-kecilannya. Nan Hee juga masih memiliki keluarga lengkap. Ada ibu yang sudah berumur hampir 90 tahun dan seorang ayah yang usianya tentu gak berbeda jauh dari Ibu. Ini lucu deh, si Ayah ini di usia tuanya selalu mengintil kemana ibunya berjalan, berbalik dengan ketika mereka masih muda dimana si Ibu yang dulunya selalu mengikuti Ayah kemanapun karena si Ayah hobi selingkuh. Justru di usia tuanya, si Ayah jadi sibuk mengikuti kemanapun Ibu berjalan, matanya pun tidak pernah lepas dari si Ibu sambil terus membawa tabung oksigen yang terhubung dengan hidungnya dan juga gantungan huruf-huruf Hangul untuk dipelajari si Ayah. Ayahnya dikisahkan tidak bisa membaca sampai usia senja itu tapi masih punya semangat untuk belajar.  Jadi suka ada adegan kocak-kocak berantem standar ala kakek nenek gitu.

 

Nan Hee juga memiliki seorang adik yang umurnya jauh sekali dengannya, malah bisa dibilang hampir seumur anaknya yang sudah memasuki umur 40 tahun. Adiknya ini memiliki satu kaki yang lumpuh dan harus menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan. Nan Hee ini merasa memiliki tanggung jawab berat, ia merasa harus menghidupi keluarganya. Padahal sebetulnya keluarga mereka mempunyai lahan perkebunan yang luas. Eh iya, yang bikin tercengang, si Ibu yang berusia 90 tahunan itu kalau mau berpergian kemana-mana naik ATV dong. Keren banget yak!! :D

 

Hubungan Nan Hee dan anaknya, Park Wan, sering banget berantem sebetulnya. Mereka hidup terpisah dan saling mengunjungi satu sama lainnya. Biasanya sih lebih banyak Nan Hee yang suka mengunjungi anaknya sambil membawakan stok-stok makanan untuk anaknya. Si Ibu yang sudah tahu kode password nomor pintu si anak suka main seenaknya aja datang tanpa berkabar dulu ke Park Wan. Sedangkan Park Wan merasa bête karena merasa tidak memiliki privasi, apalagi ia takut ketahuan ibunya kalau ia merokok. Ia takut ibunya melihat bungkus-bungkus rokok di tong sampah rumahnya. Beberapa kali ia harus mengganti kode password rumahnya dan ini malah bikin si Ibu jadi bête juga, ujung-ujungnya berantem. Ya gitu deh ya hubungan ibu dan anak perempuannya. Kalau dekat bau ,menjauh justru wangi. Ketika sudah cukup lama menjauh, begitu ketemu justru berantem. Adegan-adegan berantem ibu dan anak ini agak mirip-mirip dengan kisah gue juga dengan nyokap. Hahahah.

 

Park Wan sendiri adalah seorang penulis yang bekerja di kantor milik mantan pacar pertamanya yang masih cinta sama Park Wan tapi si cowok itu sebetulnya sudah berkeluarga. Ada sempat salah paham si Ibu karena merasa anaknya ini sudah merusak rumah tangga orang. Wah habis deh Park Wan digebukin ibunya. Ibunya tidak mau kalau anaknya berakhir menjadi pelakor seperti yang terjadi dengan kisah hidup ibunya yang diselingkuhi. Paham banget ini rasanya jadi si ibu.

 

Park Wan memiliki seorang mantan pacar yang gantengnya amit-amit, duh, gue demen banget sama (satu-satunya yang ganteng dan muda di sini) cowo ini. Sayangnya si mantan pacar ini, Yeon Ha, lumpuh kedua kakinya dan terpaksa harus memakai kursi roda. Yeon Ha tinggal di Slovenia, tempat mereka pernah menjalin kasih dan terpaksa Park Wan meninggalkan Yeon Ha karena lumpuh. Ini agak egois ya dilihatnya. Kenapa Park Wan dengan tega meninggalkan Yeon Ha setelah lumpuh?

 

Ajaran Ibu itu begitu kuat dan mengakar hebat di benak anak ya. Nan Hee selalu bilang ke Park Wan untuk tidak menikah dengan seorang pria lumpuh seperti pamannya Park Wan karena menyusahkan. Jadi begitu Yeon Ha lumpuh, tanpa pikir panjang Park Wan pun meninggalkan Yeon Ha dan kembali ke Korea. Hubungan cinta ini jadinya ribet sendiri. Mereka berdua masih saling sayang, tapi karena ajaran ibu untuk tidak menikahi seorang pria lumpuh terus terngiang-ngiang di Park Wan alhasil membuat mereka berdua jadi (kadang)saling menyiksa satu sama lain dengan kata-kata. Nyesek sih ini!

 

Karakter nenek kedua adalah Hee Ja. Ia adalah nenek yang melankolis dan memiliki tanda-tanda demensia di awal cerita. Suaminya meninggal di dalam lemari baju dalam keadaan tertidur, rumornyaa karena pintunya ditahan dengan sendok oleh Hee Ja sehingga suaminya tidak bisa keluar dari lemari baju dan mati lemas kurang oksigen. Jadilah ia hidup menjanda dan tidak ada anaknya yang mau menampungnya. Ia pun hidup sendirian di rumahnya yang cukup besar. Hanya satu anaknya yang mau mengurusnya, Bong Yi, tapi ini pun tidak tinggal serumah dengan Hee Ja.

 

Ada satu waktu ketika Hee Ja mau mengganti lampu bohlam yang mati. Pelan-pelan ia naik ke atas kursi, membuka lampu bohlam yang mati lalu turun dari kursi. Ia mengambil lampu bohlam yang baru dan pasang sarung tangan supaya tidak kesetrum waktu memasang bohlam yang baru. Waktu nonton ini gue tahan nafas takut terjadi sesuatu dalam adegannya, dan ternyata doski berhasil menggantinya sampai kembali turun ke lantai dong. Eh, pas jalan mundur sedikit tiba-tiba kakinya terkilir dan tanpa disangka lampu bohlam yang ia pasang juga pecah. Haiya, bisaan aja ini adegannya dibikin kaget pemirsah.

 

Karena tangan dan kakinya berdarah, Hee Ja mencoba menelpon anaknya, Bong Yi, untuk datang ke rumah membantunya. Bong Yi marah karena ia lagi sibuk di bengkel dan dari semalam belum tidur, ia pun minta ibunya menelpon ambulans saja. Mungkin karena ada rasa iba atau sayang dengan ibunya, meski dia menolak di awal tapi tiba-tiba dia sudah datang ke rumah ibunya dan menolong ibunya yang tidak berdaya di lantai dengan darah dimana-mana. Setelah beres, Bong Yi tidur di lantai dan disusul oleh ibunya yang ikut tiduran di lantai sambil dipeluk Bong Yi. Bong Yi pun bilang, “Dulu sewaktu aku kecil, Ibu suka memelukku sampai aku tertidur di sini.” Whoaaaah, gue mewek dong. (pas nulis ini pun mata gue ngembeng :P)

 

Dalam kisahnya ini, ada seorang kakek yang merupakan cinta pertamanya Hee Ja yang kembali hadir. Ia seorang pengacara dan masih segar bugar banget karena hidupnya sehat. Si Kakek ini, Seong Jae, suka mengikuti Hee Ja kemana-mana. Awalnya dari gereja, setiap Hee Ja ke gereja pasti ada si Kakek ini. Lalu lama-lama mulai PDKT lagi sampai sempet ngajakin jalan-jalan pakai strategi nginep dan kamarnya hanya bisa satu yang ditempati. Bisaan banget emang nih kakek.  Lucunya si Kakek ini dicerita sini adalah playboy. Ampun dijeeee, udah tuwir tapi masih suka tebar pesona ke dua nenek, Hee Ja dan Choong Nam. Ini banyak adegan lucu juga di percintaan segitiga mereka. Bikin ngakak. Yang lucunya tentunya si nenek Choong Nam dengan suara serak-serak basahnya dan ekspresi muka yang datar aja.

 

Berpindah ke karakter nenek ketiga di cerita ini, Joong A. Nenek satu ini menikah dengan seorang suami yang ampun pelitnya gak ketulungan. Nonton TV dengan lampu menyala aja diomelin karena dianggap pemborosan. Belum lagi suaminya ini, Seok Gyun, hobinya menyuruh-nyuruh layaknya bos dengan bawahannya dan semua serba dilayani. Sampai satu ketika Joong A gak tahan lagi dan milih bercerai dengan suaminya. Cerai tanpa surat, alias kabur aja gitu dan tinggal di satu rumah kecil. Suaminya  tadinya merasa masih di atas angin, masih berpikir kalau istrinya tidak akan mungkin meninggalkan dia sendirian. Suaminya masih suka marah-marah dan menelpon istrinya untuk pulang ataupun minta anak dan teman-teman Joong A datang untuk masak dan beberes rumah. Teman-temannya mau ya bantuin, kalau gue sih ogah! Hahaha.

 

Akhirnya, si kakek ini tersadar akan sikapnya. Dia pelan-pelan belajar untuk masak nasi, masak untuk dirinya, cuci piring sampai cuci baju sendiri. Di kulkasnya ada kertas yang tulisannya “Menjadi Suami yang Baik”, yang sengaja diletakkan di situ oleh Choong Nam. Nenek satu ini idola gue banget deh. :D Akhirnya si kakek sifatnya dan sikapnya berubah, jadi lebih mandiri dan jadi lebih perhatian ke istrinya seperti kertas yang ditempel itu, meskipun kadang masih ada juga kelakuan ajaibnya. Ya namanya udah menua, tentu gak segampang membalikkan telapak tangan ya untuk berubah.

 

Kisah dari Joong A lainnya adalah ketika ia mengetahui anaknya yang pertama menjadi korban KDRT suaminya yang merupakan seorang profesor di universitas terkenal. Joong A merasa nyesek melihat anaknya yang mukanya biru-biru akibat digebukin dan tangan yang diperban karena patah. Padahal bisa dibilang Joong A ini rutin mengunjungi rumah anaknya dan selalu melihat si anak ini tidur di kasur sambil membelakangi Joong A, sampai-sampai Joong A sebel dan bilang dia anak pemalas karena keenakan sebagai istri hanya tiduran terus. Padahal, si anak lagi menutupi muka dan badannya yang lebam-lebam karena kelakukan suaminya. Ia takut dengan ancaman suaminya kalau sampai ibunya tahu.

 

Gue sedih banget dengan adegan ini. Gue seperti larut dengan perasaan ibu yang akhirnya tahu kalau anaknya digebukin orang sampai patah tulang. Menyayat hati banget. Syukurnya si anak ini tidak menaruh dendam dengan ibunya, Joong A, yang kadang suka kasar secara verbal mengomeli si anak yang dianggap manja ataupun tidak mengangkat telepon ketika si anak minta bantuan ibunya. Huhuhu. Untungnya si anak tersadar untuk kabur dari rumahnya dan pergi jauh sampai ke Amerika untuk kehidupan lebih baik.

 

Diantara kelima kawan ini, Joong A dan Hee Ja adalah kawan paling akrab. Mereka saling sayang satu sama lain dan saling support. Pernah di satu episode, karena Joong A sebel dengan suaminya, ia kabur tengah malam dengan Hee Ja dengan mengendarai mobil suaminya. Dua nenek ini berpergian bersama mengunjungi Ibu dari Joong A yang sudah berada di panti jompo yang jauh dari perkotaan. Dalam perjalanan tanpa disangka, Joong A menabrak seseorang. Hee Ja yang berada di kursi penumpang ikut merasa bersalah karena ia mengatakan rem berada di sebelah kanan sehingga mobil bukannya berhenti malah melaju lebih cepat. Keduanya ketakutan dan meminta Park Wan (salah satunya adegan ini yang ia turut dibawa-bawa oleh dua nenek ini untuk menolong mereka) untuk menjemput mereka karena Joong A merasa tidak mampu menyetir pulang. Dua nenek ini ketakutan setengah mati berhari-hari. Lalu ada satu momen dimana mereka akhirnya tersadar bahwa mereka harus menyerahkan diri ke polisi untuk perbuatan mereka. Ya ampun, di sini gue melihat betapa sahabat tuh bisa sampai segitunya saling sayang dan saling bergandengan tangan untuk mengakui perbuatan mereka. Syukurnya bukan orang yang mereka tabrak malam itu, melainkan rusa yang tiba-tiba lewat. Ini aja udah bikin polisi shock begitu dua nenek ini ngaku nabrak orang. Hihihi.

 

Tentu adegan puncaknya lebih banyak mengoyak hati dan air mata. Hee Ja diceritakan mengalami demensia akut. Ia mendadak hilang setelah ia pulang dari gereja. Sebelumnya ia sering keluar pagi-pagi buta, sekitar jam 2 pagi, untuk berjalan ke gereja dan berdoa di sana sambil menangis, lalu pulang ke rumah dan tidur. Begitu pagi, ia sama sekali tidak tersadar apa yang dia lakukan setiap pagi-pagi buta itu. Dan ketika demensianya semakin parah, ia sudah berjalan jauh menuju rumah pertama dengan suaminya yang terletak di satu desa yang  jauh. Ia berjalan berhari-hari tanpa makan, tanpa alas kaki dan dengan bantal di belakang seperti sedang menggendong anak. Ternyata diingatannya saat itu, ia sedang membawa anak sulungnya yang sudah meninggal akibat sakit parah.

 

Semua sahabatnya mencarinya, bahkan si pengacara pun meminta kenalan polisi yang bisa membantunya lewat CCTV di jalan. Sampai akhirnya mereka berhasil menemukan Hee Ja yang berjalan di bawah rindangnya pepohonan menuju rumah pertamanya dengan sang suaminya dulu. Begitu ditemukan, reaksinya adalah marah dengan Joong A karena tidak mau membantunya ke rumah sakit sampai anaknya meninggal di gendongan Hee Ja. Sampai-sampai Hee Ja menolak melihat wajah Joong A berhari-hari, tapi Joong A dengan sabarnya menunggu sampai akhirnya Hee Ja tersadar sendiri alias kembali ke pikiran sadarnya saat ini dan malu dengan perbuatannya. Tetap dong dimaafkan oleh Joong A, si sahabat karibnya. Waah, ini syedih gak ketulungan nontonnya.

 

Di tempat yang berbeda, Nan Hee yang sebetulnya mau mengantar ibunya berobat ke rumah sakit justru mendapati kalau ia sudah sampai di stadium akhir kanker hati. Park Wan yang akhirnya mengetahui hal ini langsung menemani hari-hari ibunya. Meskipun kadang ibu anak ini bertengkar, tetap saja ikatan batin itu kuat ya. Rasa sayang diantaranya pun tidak akan bisa bohong, meskipun Park Wan dan Nan Hee bukan orang yang terbuka satu sama lainnya. Jelas terlihat dari gesture, mereka saling menyayangi. Ibunya tentu takut setengah mati, begitupun dengan Park Wan. Ah, ini pun udah sampai mewek berkali-kali yang ditanggapi dengan gelengan kepala dari si Boy. :D

 

Sungguh drakor yang menurut gue layak untuk ditonton dan dijadikan refleksi hidup. Saat ini gue berterima kasih sekali dengan kawan gue yang satu itu yang memaksa gue untuk menonton ini. Susah untuk disebutkan satu-satu moral apa yang terkandung di dalam tontonan ini, pastinya semua realita kehidupan jelas digambarkan dalam drakor satu ini. Tua itu pasti, tinggal bagaimana kita berbaik hati menerima kenyataan hidup yang akan disajikan oleh Tuhan Maha Pengasih untuk kita di masa tua nanti.


Saturday, September 5, 2020

1:57 PM

Bersejarah..

Bersejarah..

 


Siapa disini yang setuju kalau belajar Sejarah itu membosankan?


Wah, udah pasti deh banyak yang tunjuk tangan, eh gak keliatan lah ya kalau tunjuk tangan. Mungkin reaksi kalian pasti manggut-manggut sambil senyum-senyum sendiri. Ya, sama dong dengan aku!


Belajar Sejarah itu jadi momok tersendiri jaman sekolah dulu, selain belajar Matematika, Fisika, Kimia, PPKN, Bahasa Indonesia, Biologi (laah, semua pelajaran ini mah ya. :P). Benar atau benar? Rasanya hafalan paling menakutkan itu ya pelajaran Sejarah karena hafalnya harus benar, gak boleh meleset. Kebayang kan kalau nama orang salah atau tahun perang salah, kelar sudah nilai ujian kita. Pulang-pulang tinggal manyun kasih liat kertas ulangan ke orang tua. Bagus kalau hanya dipelototin aja, tapi kalau kemoceng yang mampir di betis, bah!


Pasti semua setuju ya kalau belajar Sejarah di sekolah itu membosankan (banget). Rata-rata semua buku pelajaran Sejarah berkutat dengan tanggal, tahun, nama tempat, nama orang yang semuanya itu menjadi beban tersendiri bagi kita untuk menghafalnya. Apalagi, setelah selesai ujian semua hafalan itu seperti menguap, yang sampai sekarang entah tersimpan di bagian sisi mana dari otak kita. Tidak heran kalau kita menjadi malas mengenal lebih jauh tentang sejarah. Jangankan sejarah dunia, sejarah negara kita saja pasti malas banget untuk dipelajarinya.


Menurut Charlotte Mason, sejarah itu merupakan bagian vital dari pendidikan. Hal dimana semua orang rasanya wajib dan mutlak perlu tahu tentang sesuatu yang terjadi di masa lampau supaya bisa memandang segala sesuatunya lebih adil di saat ini. Bagaimana bisa begitu?


Generasi muda saat ini sedikit banyak memilih untuk apatis akan sejarah. Mereka hanya fokus dengan hidup mereka saat ini saja dan tidak cukup perduli dengan sejarah yang terjadi di masa lalu. Rasa sentimentil pada situs-situs kuno ataupun tempat-tempat bersejarah dimana peristiwa besar terjadi pun tidak banyak menggugah pemikiran mereka akan arti pentingnya sejarah. Padahal, sikap patriotisme dalam pribadi seseorang itu sangat diperlukan. Ditambah lagi, generasi tua yang tidak memiliki cukup minat untuk menceritakan kembali sejarah di masa lampau, sehingga semakin lunturlah rasa patriotisme di generasi muda saat ini. Patriotisme yang rasional dan bijak sangat tergantung pada seseorang, apakah ia banyak membaca sejarah atau tidak.


Pada akhirnya, ini kembali ke pendidikan dasar, yaitu sekolah. Bagaimana sekolah menanggapi pelajaran Sejarah di setiap jenjang pendidikan? Ya, seperti yang kita ketahui juga, pelajaran Sejarah di sekolah pun sama sekali tidak menarik. Tahun berulang, begitupun dengan pelajaran Sejarah yang selalu dipelajari dengan gaya yang sama dan dengan buku yang kering, hanya berisikan deretan fakta-fakta yang membuat anak didik menjadi bosan untuk mempelajarinya.


Sebenarnya, anak-anak itu sangat tertarik dengan sejarah. Mereka akan bisa memperhatikan dengan konsentrasi penuh kalau saja materi yang diberikan kepada mereka adalah materi belajar yang berkualitas dengan cita rasa sastrawi daripada buku-buku kering yang berisikan deretan fakta untuk dihafal oleh anak-anak. Metode dengan prinsip sekali baca lalu meminta anak menarasikan kembali apa yang sudah dibaca oleh guru juga jauh lebih efektif. Memberikan penilaian setelah ujian tertulis justru menjadi beban tersendiri bagi anak.


Tugas guru (orang tua) sebagai fasilitator juga memiliki peran yang sangat penting. Menjadi guru yang berpengetahuan dan memiliki simpati mendalam terhadap pengetahuan itu tersendiri adalah tugas yang perlu diemban oleh sang guru dalam menumbuhkan minat anak dalam belajar. Guru tidak perlu banyak menjelaskan dan juga tidak perlu banyak menginterupsi ketika anak bernarasi.  Ya pasti pada awalnya anak akan kewalahan ketika diminta untuk bernarasi, tapi lambat laun anak-anak akan menemukan iramanya dan fasih dalam bernarasi. Tanpa disadari, anak-anak akan bisa bernarasi dengan panjang lebar. Guru pun tidak diminta memberikan komentar akan narasi anak, justru guru perlu sangat hati-hati dalam mengeluarkan pendapat.


Kenapa bernarasi, bukan menghafal?


Bernarasi justru membuat anak lebih memahami dan tidak membuat anak butuh untuk remidi, mengulang kembali materi yang sudah dipelajari. Anak-anak pun jadi lebih bisa memperhatikan secara utuh dan penuh konsentrasi di mana keduanya itu adalah naluri alamiah dan tidak butuh dipaksakan. Anak-anak jadi belajar untuk menyadari pikirannya sendiri supaya tidak mengembara melainkan fokus dengan materi yang diberikan. Membaca atau mendengarkan teks yang dibacakan dengan penuh perhatian justru membuat akal budi anak lebih bekerja.


“Bersandar pada memori akal budi, kita memvisualisasikan adegan, menerima argumen, menikmati susunan kalimat, dan membingkai semuanya dalam bahasa kita sendiri, lalu perikop atau bab tersebut kita serap dan menjadi bagian dari diri kita tak ubahnya pencernaan kita menyerap hidang yang kita lahap semalam; ini malah lebih dari makanan, karena makanan kemarin sudah nyaris tak berbekas lagi besok, tapi bacaan yang kita konsumsi dan hidupkan secara jernih, detil, dan akurat, kita narasikan langsung sejak pertama kali menyimaknya, bisa berbekas selama berbulan-bulan. Semua kuasa akalbudi dilibatkan dalam menangani makanan intelektual itu. Jadi kita sebaiknya tidak usah mendikte anak dengan rangkaian pertanyaan komprehensif, membuatkan ilustrasi-ilustrasi cantik untuk membantunya berimajinasi, mengeksplisitkan pesan moral untuk menggugah nuraninya. Semua itu akan terjadi sendirinya saat anak mencerna bacaan.” - Vol 6 pg 174


Pekerjaan setelahnya adalah mencari buku sejarah dengan cita rasa sastrawi. Bisa dibilang tidak semua negara berhasil menceritakan sejarahnya dalam bentuk sastrawi ataupun naratif yang enak dibaca oleh anak-anak. Biasanya buku sejarah diceritakan dalam bentuk deretan fakta dengan segitu banyaknya tokoh cerita dan tahun-tahun yang tentunya menjadi sangat membosankan untuk dibaca. Ini memang semacam mencari jarum dalam tumpukan jerami. Ada, tapi perlu usaha keras dalam mencarinya. Memang butuh ekstra semangat.


Melihat dari pengalaman pribadi, bertahun-tahun tidak pernah mengerti tentang sejarah negeri sendiri ataupun negara lain, kami mencoba mengaplikasikan metode ini terhadap pendidikan rumah yang kami jalani beberapa tahun terakhir ini. Membacakannya buku, hanya sekali baca, lalu memintanya menarasikan kembali ternyata menjadi sangat efektif untuk Fritz, anak kami. Berusaha untuk tetap fokus terhadap bacaan yang sedang dibacakan juga menjadi bagian yang sangat penting untuk melatih daya konsentrasinya. Selain itu, bersama-sama kami membuat catatan lini masa (time line/ Book of Century) setiap kali kami menemukan tanggal atau tahun bersejarah.


Mungkin ini terkesan terlalu santai dalam mempelajari sejarah. Tidak ada penghafalan nama, tahun, perisitiwa dan juga tidak ada ujian tertulis yang perlu dinilai, hanya perlu konsentrasi dan bernarasi. Nyatanya, setiap cerita yang diceritakan kembali justru menjadi kepingan puzzle yang tersusun rapi di dalam pikirannya yang sewaktu-waktu dapat direlasikan antara sejarah bangsa satu dengan bangsa lainnya. Seperti ketika ia mengetahui kematian Richard Wagner, salah satu komposer, terjadi di tahun yang sama dengan meletusnya gunung Krakatau di tahun 1883. Menarik ya!


Ini akan menjadi hal yang luar biasa ketika seseorang mempunyai gambaran utuh sejarah sebagai latar belakang pemikirannya. Tidak perlu harus bisa menyebutkan tempat dan tanggal peristiwanya dengan presisi setiap sejarah yang terjadi. Setidaknya kita tahu bahwa di setiap isu selalu ada banyak sekali pertimbangan dari pihak terkait sehingga ini juga bisa jadi pertimbangan bagi generasi muda agar terselamatkan dari opini yang dangkal dan aksi yang terburu-buru. Akalbudi yang sigap dan berwawasan akan menuntun pada sikap santun dan hidup bersahaja.


"Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang." - Soekarno

Monday, July 27, 2020

10:01 PM

Reply 1988, Nostalgia Masa Kecil

Reply 1988, Nostalgia Masa Kecil

Sekelar menonton drama Korea berjudul Reply 1988 mendadak banyak perasaan campur aduk bergelut di hati. Drama yang berbalut komedi dengan alur tema keluarga dan persahabatan di era 80an akhir ini mampu sekali membuat gue terbawa perasaan yang mendalam dan yang paling dirasa adalah rasa kangen dengan kehidupan masa kecil gue. Benar-benar sukses membangkitkan nostalgia.

 

Alkisah cerita ini berawal dari 5 anak kecil yang tinggal bertetangga satu dengan yang lainnya dalam satu gang yang bernama Ssangmundong. Dikarenakan mereka sering bermain bersama, otomatis persahabatan pun terjalin diantara mereka berlima. Mulai dari kecil sampai akhirnya perjalanan drakor ini dimulai ketika mereka sudah masuk di usia 18 tahun atau setara kelas 2 SMA (sepertinya umur mereka boros yee, umur segitu belum kelar sekolah :D). Adalah Sung Deok-sun, Sung Sun-woo, Kim Jung-hwan, Ryu Dong-ryong dan Choi Taek nama-nama 5 sekawan yang tinggal bersama dengan keluarga mereka masing-masing di gang tersebut.

 

Mereka sering sekali berkumpul bersama di rumahnya Choi Taek atau biasa suka dipanggil dengan sebutan Taek-ki. Ia merupakan pendatang terakhir di gang itu dan ibunya sudah meninggal sejak ia kecil. Ia pemain Baduk yang sudah go international dan ia memutuskan tidak sekolah karena profesinya ini. Karena ia sering kali bertanding di luar negeri, momen kepulangan dia sekelar dari bertanding pasti ditunggu oleh teman-temannya. Dering telepon berantai di antara rumah mereka pasti berbunyi saling memberi kabar dan dalam sekejab mereka sudah berada di kamar Taek-ki. Kegiatan mereka selama kumpul ini, selain menanyakan menang atau kalah dalam pertandingannya, mereka biasanya nonton film sambil nyemil atau makan ramen kuah dalam satu panci yang dimakan rame-rame dan diakhiri dengan menginap bersama.

 

Momen-momen kocak banyak terjadi selama mereka kumpul bareng ini. Ada satu momen dimana Taek-ki kalah bertanding. Dimana semua orang berusaha menghiburnya dengan tidak menanyakan apapun tentang kekalahannya ataupun berusaha memberikan ini itu supaya dia tidak larut dalam kekalahannya. Eh begitu teman-temannya ini masuk ke dalam kamarnya dan mendapati Taek-ki sedang duduk termenung di depan papan Baduknya, gak ada kata manis ataupun menghibur, yang ada justru dibego-begoin (dikatain bego) kenapa harus sedih gara-gara kalah gitu doang. Namanya juga permainan pasti ada menang ada kalah, ya diterima aja. Lo mau teriak dan mengumpat sialan, bangsat, kampret juga gak papa kali biar hati lo lega, ya habis itu berjuang lagi. Kira-kira begitulah mereka ngomong, dan memang itu yang diperlukan sama Taek-ki. Begitu dia mengumpat, dia merasa lega dan justru malah bisa ketawa lepas. Apalagi mengumpatnya itu pake diajarin dulu dan dikata-katain dulu, kurang kasar, kurang kenceng, kurang..kurang. Sampai akhirnya dia lega setelah teriak-teriak kaya gitu. Nah, habis itu pasti ada aja kelakuan dari dua temen ajaibnya, yaitu si Deok-sun dan Dong-ryong, yang biasanya langsung mulai dengan joget-joget gak jelas ala 80an gitu, yang pasti sontak ini bikin ketiga temen-temennya ngakak gak berenti melihat mereka. Atau kebiasaan kentut sebelum tidur dari si Dong-ryong yang bikin emosi jiwa dan biasanya berakhir digebukin rame-rame. Bau, man!

 

Persahabatan ini yang mengingatkan gue dengan teman-teman di masa kecil gue. Cerita gue gak beda jauh dari kisah di Reply 1988 ini. Gue besar di satu komplek dan bersekolah dari SD sampai lulus SMA di sekolah komplek juga. Otomatis teman-teman gue selama 12 tahun ya 4L, Lo Lagi Lo Lagi, dengan pertambahan teman hanya sedikit sekali di setiap jenjang pendidikan. Karena inilah kami cukup mengenal satu sama lain. Kami saling tahu dimana rumah si itu, si ini, si ana, si anu berikut juga kenal dengan orang tuanya masing-masing. Ketika telepon sudah masuk di komplek kami, kami pun saling menghafal nomor telepon dalam sekali pencet untuk sekadar tanya PR, tanya lo ada di rumah apa gak, ataupun ngobrol di telepon yang bikin emak babeh gue suka teriak karena tagihan telepon bengkak. Tak jarang juga kami saling bermain berjam-jam di rumah teman, entah sekadar mengobrol, nonton film, sampai makan siang ataupun nyemil sore di sana. Sering juga kegiatan kami setiap sore naik sepeda bersama keliling komplek, pernah juga ada masa main roller blade bareng, berenang bersama di kolam renang komplek atau bahkan jalan pagi bersama di kala libur sekolah yang berujung dengan makan bakmi.

 

Bertambahnya umur, persahabatan kelima kawan dari Ssangmundong ini mulai menunjukkan saling suka satu sama lain. Ada kisah cinta segitiga diantara mereka berlima, dimana Deok-sun, si satu-satunya perempuan di geng mereka yang mempunyai kelakuan ajaib yang rasanya urat malunya udah putus dari kapan tau itu, merasa GR dengan Sun-woo. Deok-sun merasa Sun-woo naksir dia. Setiap kali Sun-woo mampir ke rumah, kelakuan si Deok-sun mirip cacing kepanasan. Pernah dia kabur masuk kamar, begitu keluar kamar dia sudah berdandan menor hanya karena Sun-woo mampir ke rumahnya untuk minjem apa gitu. Gilingan memang Deok-sun, bikin ngakak abis. Eh ternyata seringnya Sun-woo mampir itu hanya untuk melihat kakaknya Deok-sun, Kak Bo-ra lewat minjem ini itu dari Deok-sun. Hancur sudah hatinya Deok-sun, sampai mewek karena merasa ditolak dan kesel kenapa Sun-woo naksir kakaknya.

 

Di lain sisi, ternyata ada Jung-hwan dan Choi Taek yang diam-diam naksir Deok-sun yang tentunya Deok-sun ini sama sekali gak sadar dong. Jung-hwan si cowok cool yang irit bicara ini sebetulnya sudah beberapa kali kasih sinyal ke Deok-sun, semisal jagain Deok-sun ketika di bus lagi padat banget supaya Deok-sun gak terjungkal kanan kiri depan belakang, belum lagi Jung-hwan yang diam-diam nungguin Deok-sun sepulang sekolah sambil bawa payung karena sedang hujan, dan berbagai macam sweet small things PDKT ala-ala gitu. Menyenangkan sih lihat momen-momen PDKTnya si Jung-hwan ini. Hihihi.

 

Beda lagi dengan Choi Taek. Taek-ki ini bisa dibilang hanya pintar main Baduk aja, untuk hal lain bisa dibilang terbelakang banget. Makan pakai sumpit aja kesusahan, sampai-sampai Dong-ryong suka gemes liat Taek-ki gak bisa-bisa ambil daging atau mie dengan sumpit. Biasanya Deok-sun langsung ambil garpu atau sendok begitu melihat situasi ini. Tidak bisa ikat tali sepatu. Pernah sampai ditolong oleh Jung-hwan dan Taek-ki memilih tidak membuka-buka lagi tali sepatu yang dibantu Jung-hwan itu. Belum lagi pernah diomelin Deok-sun habis-habisan karena kepolosannya Taek-ki yang minjemin duit ke siapa aja yang minta.

 

Dasar emang cinta itu buta ya. Meskipun Taek-ki mempunyai IQ 139, tapi dia sering banget dikerjain oleh Deok-sun yang hanya memiliki IQ 99. Ini kocak deh. Ada satu momen dimana mereka ditinggalin di pantai oleh teman-temannya. Deok-sun meminta dompet Taek-ki dan dilihatnya Taek-ki membawa uang yang banyak, lalu Deok-sun bilang akan mentraktir Taek-ki dan Taek-ki iya-iya aja. Duit duitnya siapa cobaaa. Dodol emang. Selama nunggu ini, Deok-sun membeli snack ringan semacam Cheetos dan menawarkan Taek-ki. Ketika Taek-ki membuka mulutnya siap disuapin Deok-sun, bukan snack yang masuk mulut melainkan jari Deok-sun. Berkali-kali dikerjain kaya gini tapi gak pinter-pinter juga si Taek-ki, dia tetep mangap dan berakhir dengan jari Deok-sun yang masuk. Haizz, ini ngakak abis.

 

Mungkin karena care-nya Deok-sun ke Taek-ki yang bikin Taek-ki jadi suka dengan Deok-sun ya. Momen banget ketika Deok-sun harus nemenin Taek-ki bertanding ke Cina. Deok-sun terkaget-kaget ketika tahu kalau Taek-ki sebelum bertanding bisa sampai gak keluar dari kamar dan gak makan. Belum lagi dia cukup shock melihat Taek-ki ternyata merokok untuk menghilangkan stressnya sebelum bertanding. Melihat ini dan sudah dikasih tau oleh bokapnya Taek-ki, Deok-sun sudah menyiapkan segala keperluan Taek-ki selama bertanding. Biar Deok-sun dodol sedodol-nya ya, dia paham juga gimana mengurus Taek-ki. Dia bawa matras penghangat dari rumahnya – ini bikin Bo-ra emosi karena dia jadi kedinginan menggigil karena matrasnya penghangatnya dibawa si Deok-sun :D :D, dan ditaruh di bawah sprei tempat tidur Taek-ki di hotel karena pas musim dingin di Cina. Deok-sun juga menyiapkan pakaiannya Taek-ki untuk bertanding, dia taruh di mana Taek-ki bisa lihat – sampai hal kaya gini aja juga Taek-ki gak bisa, doeng banget ini orang emang ye. Sampai beliin makanan dan bikinin telur ceplok di dapur hotel buat Taek-ki makan. Kalau gak ada Deok-sun kelar udah hidupnya Taek-ki kali ya. Ampun deh.

 

Hal-hal semacam ini, cinta-cintaan monyet, juga terjadi di area komplek gue semasa gue SMP-SMA. Cerita si ini lagi PDKT ke si itu, lalu pacaran, putus dan PDKT dengan siapa lagi, udah menjadi cerita yang hilir mudik di telinga kami. Kadang merasa komplek gue tinggal ini mirip kisahnya Beverly Hills 90210, halah! Saking segitu banyaknya kisah romantis picisan ala-ala anak abegeh saat itu yang bertebaran di seantero komplek. Lucu kalau diingat. Komplek itu saksi bisu banget mengenang cerita cinta monyet kami semua.

 

Selain kisah persahabatan kelima kawan tadi, yang gak kalah seru adalah kisah masing-masing keluarga dan antar tetangga di gang Ssangmundong. Masing-masing mempunyai kisah tersendiri yang gak kalah kocak dan mengharu biru. Beberapa kali gue nangis mengingat kisah-kisah keluarga mereka mirip dengan kisah keluarga gue sendiri. Ya setiap keluarga pasti punya kisahnya masing-masing dan melalui drama ini setidaknya ada irisan yang sama dan terelasi dengan keluarga kita sendiri.

 

Seperti ketika Bo-ra mau belajar hukum dan harus masuk asrama. Ibu dan kedua adiknya mengantar Bo-ra dengan sedih di depan rumah, sedangkan Ayahnya memilih sok cuek dengan pergi kerja di hari itu seolah-olah ini hal biasa aja kok, gak perlu bersedih. Eh ternyata Ayahnya tidak berangkat kerja, malah nungguin Bo-ra lewat di pinggir jalan lalu memberhentikan mobil Bo-ra dan memberikan obat-obatan untuk di asrama nanti. Ah, sedihnya momen ini. Ayah yang sayang banget dengan anak sulungnya yang notabene serupa tapi tak sama wataknya ini. Ditambah lagi ketika Deok-sun diminta Ibunya mengantar kepiting untuk ransum kakaknya di asrama. Deok-sun sempat kesal karena harus berjalan jauh demi Bo-ra, tetapi begitu sampai disana ia melihat kamar asrama Bo-ra yang kecil banget. Seketika Deok-sun langsung memeluk Bo-ra dan menangis. Biar gimanapun siblings still siblings ya, meskipun kesel tapi kalau lihat saudaranya susah tetap saja sedih. Ah…

 

Dan tentunya di balik kisah-kisah mellow masing-masing keluarga, banyak juga hal-hal kocak yang bikin ngakak setiap nontonnya. Kelakuan para suami istri, ayah ibu dari kelima kawan itu, yang konyolnya ampun deh. Paling gokil sebetulnya keluarga Jung-hwan. Kebayang gak sih anaknya cool abis gitu, irit bicara, tapi emak bapaknya koplak abis. Ada-ada aja kelakuan mereka. Pernah sotoy bokapnya benerin setrikaan emaknya, sedikit-sedikit tali kabelnya dipotong sampai akhirnya kabelnya tinggal 30 cm doang. Emaknya udah emosi aja itu. Apalagi pas dipakai buat nyetrika, yang ada mejanya yang harus digeser sana sini supaya bisa ke-strika pakaiannya. Bikin tambah emosi si emak, kocak ini.

 

Begitu banyak nostalgia ketika menonton drama satu ini. Sukses banget membuat gue tertawa terbahak-bahak sampai guling-guling di kasur dan juga menangis sesegukan bersamaan. Ceritanya sangat ringan tapi nyata dalam kehidupan sehari-hari di tahun-tahun itu. Bagaimana persahabatan antar teman terjalin hanya dengan main bersama tanpa sibuk oleh gadget. Menghabiskan berjam-jam di rumah teman sambil dengerin lagu sambil tiduran di kasur atau lantai dan bercerita ini itu. Sampai tiba waktunya kami semua sibuk dengan urusan masing-masing dan satu persatu meninggalkan komplek untuk menjelajahi dunia masa depan. Memori tetap terkenang sepanjang masa, meskipun momen tersebut hanya menjadi kisah yang melekat di ingatan.

 

Kosambi Baru, biarlah tetap menjadi saksi bisu perjalanan hidup gue di tahun 90an.


Friday, July 17, 2020

7:31 AM

Drakor ooh Drakor

Drakor ooh Drakor

Sebetulnya sudah dapat diprediksi sebelumnya sih, kalau nonton drama seri semacam drakor itu sama seperti menjebloskan diri sendiri ke dalam lubang dan bakal susah untuk keluar. Memang dasar iman ini juga gak kuat-kuat amat ya, begitu mencoba satu judul saja, meskipun dah janji dengan diri sendiri untuk gak terlena, susah sekali ternyata untuk berhenti. Seperti layaknya magnet, drakor ini benar-benar menghipnotis sekali.


Berawal ketika salah satu stasiun TV swasta menayangkan satu judul serial drakor di tengah masa pandemi Covid-19 di pagi hari. Dengan kesadaran penuh (sebetulnya) gue menanyakan ke salah satu teman dari kecil gue yang memang suka sekali ber-drakor ria, dengan applikasi apa dia biasa menonton tayangan drakor. Dengan kesadaran penuh juga gue akhirnya mantap men-download applikasi tersebut dan menonton judul serial drakor yang ditayangkan di TV itu. Niatnya sih supaya gak capek-capek nunggu setiap hari per episodenya. Ya, tau sendiri kan, namanya drakor yang serupa tapi tak sama dengan sinetron ini, kalau sudah di akhir tayangan pasti dibikin situasi semacam lo lagi boker trus lo dipanggil sama bos gitu. Nanggung! Gak enak banget rasanya kan. Nah, dengan alasan itu lah, berikut janji gak akan terlena ke drakor-drakor lainnya, gue mulailah kenistaan menonton drakor.


Ketika seri pertama ditonton, menimbulkan sensasi tadi yang gue jelaskan (semacam boker gak tuntas itu, cuy), gue lanjut ke seri kedua, ketiga, terus dan terus, Sampai akhirnya gue kaget sendiri, dalam 3 hari sudah kelar gue tonton 16 episode. Kebayang kan, 5 episode dalam seharinya, dan ditonton secara marathon sampai niat tidur jam 1 atau setengah 2 pagi. Lalu berhenti sampai di situ?

Tentu tidak, Marimar!


Seperti biasa, ketika selesai menonton sesuatu, sudah jadi rutinitas bagi gue untuk browsing segala sesuatu yang berkaitan dengan tayangan yang gue tonton, seperti misalnya mengecek siapa nama pemainnya, latar belakang si aktor dan aktris ini, belum lagi melihat-lihat dia main di mana lagi. Kebiasaan ini pun juga gue lakukan dengan drakor yang gue tonton. Iseng awalnya lalu berujung jadi kepingin lanjut ke drakor berikutnya dimana si actor berperan juga. Kebetulan lagi di drakor berikutnya adalah salah satu drakor yang pernah fenomenal juga di masanya, sekitar tahun 2016-2017an gitu lah. Terlintaslah untuk menontonnya, yang kebetulan kali ini bisa-bisaan gue dapat grup tayangan drakor terlengkap di applikasi Telegram dari teman lain pecinta drakor juga. Dengan mudahnya drakor-drakor tersebut diunduh dan dapat ditonton, bahkan tanpa mobile data pun. Semakin nyaman saja situasinya ini. Tapi kali ini sudah gak se-barbar sebelumnya, ditonton cukup manusiawi, 16 episode dalam 5 hari. Cukup beradab lah ya. :P – pembelaan diri dari tersangka korban drakor.


Guardian: The Lonely and Great God


Ternyata oh ternyata, kejatuhan gue dengan drakor ini belum berakhir, sodara-sodara seiman dan senegara. Gue terlena dengan salah satu actor di drakor kedua yang berjudul Goblin. Yes, gue jadi demen banget sama pemainnya, Gong Yoo. Sampai-sampai gue niatin hanya akan menonton semua film dan drakor yang dimainkan oleh dia saja. Ini ceritanya untuk mempersempit iman gue yang gak kuat ini ya, supaya lebih tegar lagi menghadapi cobaan drakor. Namun sayangnya, korban drakor ini (gue!!) bukan hanya kurang iman dengan mengurangi tayangannya, tapi juga nambah dosa baru. Hampir tiap hari yang diliatin ya si Gong Yoo ini. Mesem-mesem sendiri gak jelas kaya orang gila. Nyanyiin theme songnya, padahal ngerti juga kaga artinya apa. Sampai punya niat mau belajar bahasa Korea, biar kalau nonton gak usah ditongkrongin subtitlenya tapi fokus sama mukanya aja.


Sebetulnya kalau mau milih sih gue mau menjadi penonton garis keras aja, yang hanya nonton tayangan yang ada Gong Yoo aja gitu. Sayangnya pemain drakor ini kan bejibun, meski banyak drakor bertebaran di mana-mana, satu aktor itu tidak terlalu banyak main drakornya. Begitu juga dengan Gong Yoo ini, drakornya hanya sedikit yang bisa ditonton. Akhirnya, sekelar dengan drakor-drakor yang dimainkan oleh Gong Yoo, gue beralih ke drakor fenomenal lainnya.  Kali ini gue hijrah ke tayangan Descendants of the Sun dengan pemainnya Song Joong Ki dan Song Hye Kyo. Dan di drakor ini pun gue terpesona dengan mereka berdua. Sempet ikutan baper pas baca-baca kisah mereka di real life dimana mereka akhirnya mereka beneran sampai masuk ke pernikahan dan sekarang dah bercerai. Halah!


Drakor terbaru yang saat ini baru aja gue selesaikan adalah The Innocent Man, yang main Song Joong Ki – mulai punya dua idola dah ini. Ya itu, lanjut dari DOTS, gue penasaran dengan drakor lainnya dari SJK ini. Ini pun juga hasil dari rekomendasi teman gue yang cinta banget sama doski. Biar dikata mukanya putih macam kulit bangkuang dan manis imut-imut (baby face gitu lah), tapi di dua drakor yang gue tonton, aktingnya oke juga. Drakor yang ini salah satu drakor yang menurut gue alur ceritanya cukup bikin gue up n down dengan tema balas dendam dari percintaan segitiga. Keren sih menurut gue sebagai penonton newbie drakor.


Jadilah selama pandemi ini gue sudah marathon nonton drakor entah ke berapa lah ini. Tapi gue akui sih, semakin ke sini drakor semakin beragam tema ceritanya dan semakin enak ditonton dengan pemandangan-pemandangan yang menarik juga. Ditambah lagi akting para pemainnya udah lebih oke juga. Gue sendiri sebetulnya pernah terlena nonton drama seri ketika sebelum nikah. Waktu itu masih eranya Meteor Garden dan setipenya yang sempat mengisi waktu gue saat itu. Karena gue sadar betul betapa gue gampang terlena dengan serial-serial seperti ini, jadi gue memilih menghindari nonton. Ealah, malah sekarang gue sendiri dengan sadar penuh memilih jalur drakor untuk mengisi waktu selama pandemi. Dodol emang! :D


Drakor alias Drama Korea ini benar-benar banget deh. Gue yang tadinya merasa hina jangan sampai kejeblos nonton drakor, eh sekarang malah ketagihan. Gue yang tadinya lihat muka aktor dan aktris Korea Selatan serasa sama semua gak ada bedanya, sekarang dikit-dikit paham siapa mereka. Gue yang tadinya mikir nama mereka semua mirip sampe susah bedain, sekarang mulai kebayang nama-nama mereka dikaitkan dengan mukanya. Bayangin aja gue pernah salah duga dong kalau Kim Jong-un adalah salah satu actor drakor. Ya amplop!! Sumpah, nama dan muka mereka itu susah diingat, man!!


Seringkali gue mengumpat “Drakor sialan!!” karena gue terlena dengan nonton drakor tetapi sebenarnya dianggap nista sekali juga gak sih nonton drakor ini. Memang perlu membagi waktu dengan imbang aja sebetulnya. Bagaimanapun juga ya tetap harus menerima keadaan kalau memang sudah terjerembab jatuh nyungsep tenggelam ke dalam dunia drakor yang udah seperti racun dunia selain si narkoba dan teman-temannya. Satu-satunya ya mencari cara untuk berdamai dengan situasi. Baiknya ya diatur dengan seimbang antara input dan output. Berhasil memasukan drakor ke dalam kesenangan, berarti harus ada output hasil dari kesenangan itu, misalnya saja mengkondisikan setiap selesai dengan satu drakor, buatlah review dalam bentuk tulisan untuk dibaca secara pribadi ataupun diunggah ke blog. Belajar lah bahasanya, karena bahasa Korea ini unik meskipun agak susah dipahami. Menarik sebetulnya belajar Korea. Begitu juga dengan tradisi mereka yang setiap makan harus banyak menunya, setiap bertemu dengan orang harus menunduk, bersalaman pun harus sopan dengan memegang antara ujung siku ataupun pinggang kanan. Sedikit sedikit jadi belajar bahasa dan tradisi mereka. Move on juga penting, artinya masih ada hal lain selain drakor. Kewajiban-kewajiban yang harus diselesaikan dalam keseharian ya diselesaikan dulu baru menonton di waktu senggang. Jangan sampai bablas lupa waktu dan lupa diri.


Semoga aja semakin beradab dan napak tanah ya dalam menonton drakor biar menjadi manusia yang lebih tahan iman – toyor pala ndiri ini sih mah. *nyengir*


Monday, June 29, 2020

8:11 AM

Esensi Dalam Bertuhan

Esensi Dalam Bertuhan

Dua belas tahun aku bersekolah di satu sekolah yang berbasis pendidikan Kristiani. Seperti pada umumnya sekolah dengan berbasis agama, anak-anak diminta untuk wajib mengikuti peraturan ritual agama di sekolah tersebut tanpa terkecuali apapun agama yang dianut oleh si anak. Jadilah ritual seperti melakukan ibadah kebaktian setiap minggunya, menghafalkan ayat-ayat alkitab setidaknya satu perikop dalam pelajaran agama dan juga ritual berdoa sebelum dan sesudah kelas, hukumnya wajib dilakukan dalam kegiatan persekolahan.  Apakah ritual-ritual tersebut lantas menjadikan anak-anak berkelakuan baik dalam kesehariannya?


Aku ingat sekali ketika aku berada di jenjang SMP. Kami diminta untuk mengikuti kebaktian yang dibuat di jam terakhir pelajaran sekolah dan terletak di gedung yang berbeda dari sekolah kami. Meskipun gedung kebaktian yang mana adalah gedung SD dan terletak dalam satu komplek yang sama, kami harus berjalan setidaknya 200-300 meter dari sekolah kami. Ya, kami berjalan berduyun-duyun di bawah terik matahari yang panasnya ajubileh bin jali, dengan guru yang menjaga barisan kami di depan dan di belakang agar anak-anak tidak hilang arah. Tetap saja, dalam perjalanan yang sebetulnya tidak cukup jauh itu, beberapa dari kami bisa mendadak berbelok arah dan masuk ke dalam gang-gang komplek perumahan lalu blas hilang, pulang ke rumah. Sehingga kebaktian yang diadakan sebelum pulang sekolah itu mendadak diganti jamnya menjadi pagi sebelum pelajaran dimulai agar peserta ibadah tidak mendadak hilang separuh.


Ada cerita lainnya lagi ketika kami ulangan agama dan harus menuliskan perikop ayat Alkitab. Mungkin ketika kami berusia SD, dengan nurutnya kami akan menghafal mati sampai tidak ada satu kata pun yang terlewatkan untuk nantinya kami tulis di kertas ulangan. Tetapi jangan harap dengan anak-anak menjelang usia dewasa ini, yang ada kami sibuk mengatur strategi bagaimana ayat-ayat Alkitab tersebut bisa kami ‘copy paste’ tanpa hilang satu katapun ke kertas ulangan kami. Ya, begitu banyak cara tentunya! Mulai dari membuat kertas contekan yang ditulis kecil-kecil (mata dengan silinder dan minus dilarang keras membuat contekan seperti ini) lalu kami gulung atau lipat untuk diselipkan di kaos kaki ataupun diinjak di dalam sepatu, sampai menuliskannya di atas meja kayu dengan pensil yang dilihat dengan bantuan cahaya matahari (cara ini memang akan tampak seperti orang bodoh karena kepala dan mata akan bergeser-geser untuk bisa membaca tulisan tersebut ) yang mana semua itu dilakukan dengan adrenalin tinggi tanpa ketahuan dari guru agama kami. Tujuannya tentu hanya untuk (lagi-lagi) nilai ulangan yang bagus semata.


Begitu banyak cara yang anak-anak lakukan di usia sekolah untuk bisa melepaskan diri dari ritual-ritual keagamaan. Anak-anak tampak tidak menyukai kegiatan beribadah ataupun pelajaran agama yang diberikan oleh sekolah. Tak jarang juga terjadi pemberontakan akan ritual-ritual yang sekolah sajikan. Padahal jelas sekali kalau semua peraturan-peraturan tersebut dibuat (untuk dilanggar, eh!) untuk menjadikan murid-muridnya berakhlak mulia di kemudian hari setelah selesai dari jenjang pendidikan di sekolah tersebut. Lantas, apa yang salah dari semuanya ini?


Dalam pembahasan diskusi dengan CM Jakarta beberapa hari yang lalu, ada penggalan kalimat seperti ini, “Dari tiga jenis pengetahuan yang layak dimiliki anak – pengetahuan tentang TUHAN, tentang manusia, dan tentang semesta – pengetahuan tentang TUHAN duduk peringkat pertama dalam hal arti pentingnya, tak boleh terabaikan, dan paling menentukan kebahagiaan.” Sudah jelas sekali bahwa pengetahuan tentang Tuhan ini menduduki tangga tertinggi untuk dijadikan tiang pondasi bagi anak. Mungkin yang menjadi pertanyaannya saat ini adalah, siapakah yang mengambil peran untuk mendirikan tiang pondasi tersebut untuk anak? Apakah sekolah, khususnya guru, ataukah peran orang tua yang mempunyai porsi terbesar dalam mengambil peran tersebut?


Guru di sekolah mempunyai peran dalam mendidik anak-anak dalam beragama. Pastinya dengan tekun guru akan mengajarkan semua yang berkaitan dengan keagamaan. Setidaknya seminggu sekali lah anak-anak diberikan bekal pelajaran agama dari buku teks. Dalam kesehariannya anak-anak pun diminta untuk melakukan rutinitas berdoa sebelum dan sesudah jam pelajaran sekolah agar mereka dilindungi dalam naungan Tuhan dalam belajar. Anak-anak pun tidak luput diberikan bekal ini itu yang berkaitan dengan Ketuhanan dalam kesehariannya mereka di sekolah. Tetapi, apakah hanya dengan buku teks saja anak-anak mampu mempunyai ikatan yang kuat dengan Tuhannya? Apakah dengan berdoa setiap hari anak-anak paham arti dan tujuanya dalam berdoa? Seyakin apa bekal-bekal yang diberikan oleh guru mampu membuat anak-anak ini bertahan di kehidupannya kelak selepas dari sekolah?


Seperti kata pepatah lama, “Anak adalah titipan Tuhan.” Seperti itulah tugas orang tua yang mengambil peran dalam porsi besar untuk bertanggung jawab akan titipanNya. Ikatan spiritual yang terbangun antara anak dan orang tua yang menjadi dasar untuk mendidik anak tentang Tuhan. Kasih sayang orang tua ibarat kasih sayang Tuhan untuk anaknya, sehingga sudah menjadi kewajiban utama bagi orang tua untuk mendampingi anak dalam kesehariannya untuk mengenal Tuhan lebih jauh lagi. Pertanyaan pun muncul ketika tanggung jawab ini disematkan. Bagaimana jika orang tua tidak sereligius itu dalam menjalankan agamanya, dalam melakukan ritualnya, dan dalam beribadahnya? Tentunya lepas tanggung jawab dan memberikan porsi ini kembali ke guru sekolah bukan menjadi jawabannya ya.


Perjalanan spiritual setiap keluarga bisa sangat berbeda-beda. Belajar dan bertumbuhlah dengan anak, karena sejatinya hasrat alami manusia itu mengenal sesuatu yang lebih tinggi darinya, dalam hal ini Tuhan. Pendidikan itu didapat dari atmosfer yang terbentuk dan keluarga mempunyai peran yang paling besar dalam memberikan atmosfer tersebut. Bagaimana anak bertumbuh dalam iman jika orang tua pun tidak mau bertumbuh dengan anak?


Mengenal Tuhan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, dan mengenalkan Tuhan dalam keseharian pun bisa berbeda-beda caranya. Mungkin melalui persoalan yang terjadi di sekitar dan mendiskusikannya bersama-sama dengan anak, bagaimana menyelesaikan masalah tersebut dengan mengandalkan tangan Tuhan yang bekerja dalam penyelesaiannya. Ataupun juga ketika anak bertanya tentang agama yang dianutnya, bersiaplah untuk menjadikan ini sebagai bahan diskusi yang menarik dengan anak dalam pencarian jati dirinya dengan Tuhannya.


Esensi dalam berTuhan tidak terpaku hanya di ritual dalam berdoa dan beribadah, tetapi juga dalam bersikap, pola pikir, cara pandang dan juga cara bersikap keluar terhadap teman-teman yang berbeda agama. Overdosis dalam beragama juga tidak dibenarkan. Ibarat melintasi kotak agama, anak-anak perlu juga melihat dan belajar dari kacamata agama lain sehingga mereka tidak semata tumbuh dan menjadikan agamanya  sendiri sebagai yang paling benar (I’ve been there!).

 


Saturday, June 13, 2020

9:16 AM

Kurikulum yang Kaya

Kurikulum yang Kaya

Setiap manusia pastilah terlahir dengan kodrat alamiah, yaitu menjadi manusia yang bermanfaat bagi Tuhan, sesama dan juga bagi alam semestanya. Sayangnya seiring dengan waktu kodrat tersebut tergerus dan entah menguap kemana. Tugasnya di dunia yang seharusnya bermanfaat bagi sesama, tergantikan dengan sibuk memikirkan dirinya sendiri. Belum lagi tugasnya menjaga alam sekitar seperti yang diperintahkan Tuhan kepada kita, yang ada justru sebaliknya, merusaknya, yang lagi-lagi, demi kepentingan dirinya sendiri. Lantas yang tersisa hanyalah manusia yang seolah-olah bermanfaat bagi Tuhan, tetapi sebenarnya tidak teraplikasi nyata dalam kehidupan sehari-harinya. Kenapa manusia yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk termulia yang memiliki akal dan budi bisa menjadi seperti itu?


Berkembangnya jaman membuat manusia seakan berlomba setiap waktunya untuk membuktikan menjadi yang terbaik. Sampailah kita di era teknlogi, dimana setiap orang bergantung penuh akan kebutuhan satu itu. Arus teknologi ini pun semakin kencang, membawa kita mengikuti arus atau bahkan membuat kita tenggelam semakin dalam. Belum lagi kesenangan yang tercipta ketika teknologi ini membuai kita dengan segala sesuatu yang menyenangkan. Tanpa disadari semuanya itu justru membuat daya fokus kita semakin dangkal, semakin sulit untuk diajak berpikir lebih mendalam.


Berkonsentrasi menjadi tugas berat bagi otak saat ini. Daya atensi kita pun semakin menurun seiring dengan distraksi yang kita terima dari dunia teknologi saat ini. Bagaimana gawai berperan sebegitu besarnya dalam kehidupan sehari-hari kita, dimana dengan mudahnya pula kita mendapati satu dunia hanya dalam satu sentuhan saja. Maka tidak heran saat ini semakin banyak orang dewasa yang terbuai dengan fokus kerumunan mentalitas orang banyak seperti berlomba menjadi yang terkenal, terhebat dan bahkan yang terkaya sekalipun lewat dunia sosial media yang sedang marak belakangan ini. Seolah-olah hanya itu tujuan terbesarnya dalam hidup.


Tentunya ini pun sedikit banyak berdampak pada anak-anak yang cenderung melihat pola ini dengan orang tuanya. Terpaparnya anak sejak dini dengan layar, bukan serta merta menjadi hal yang baik untuk anak. Belakangan ini semakin banyak sekali ditemukan kasus pada anak-anak usia dini yang kesulitan dalam berkomunikasi dikarenakan oleh gawai. Komunikasi satu arah yang ditampilkan melalui layar seolah menjadi teman dalam kehidupan si anak. Belum lagi dampak lain yang ditemukan, daya atensi yang rendah yang sudah tercipta dari sejak dini. Sungguh tidak dipungkiri banyak anak-anak ketika masuk usia sekolah sulit untuk berkonsentrasi lebih lama karena seringnya terpapar dengan layar di gawai.


Dalam satu workshop tentang Habit of Attention yang pernah aku ikuti, anak-anak usia dini, sampai usia 5-6 tahun, dilarang untuk diberikan gawai. Mereka harus dipaparkan sebanyak mungkin dengan alam, dibacakan buku-buku yang berkualitas dan bahkan dibiarkan mencari sendiri kegiatan dalam kesehariannya tanpa gawai. Semakin minim anak terpapar dengan gawai, semakin panjang daya atensi si anak. Ini dibuktikan dalam satu tayangan di workshop tersebut bagaimana seorang bayi berumur 1 tahun sibuk bermain dengan popok baru yang dipegang, dilempar, bahkan diperhatikannya dengan seksama selama 1 jam tanpa henti. Bagaimana daya atensi ini terkait erat dengan terpaparnya anak dengan gawai ya.


Daya atensi rendah ini selain tercipta karena paparan gawai, juga tidak diiringi dengan asupan jiwa. Seringkali kita lupa bahwa jiwa dan raga ini adalah satu kesatuan dan keduanya ini harus diisi dengan asupan-asupan yang baik. Layaknya raga yang dengan mudahnya diisi dengan sajian makanan yang beragam bagi tubuh, jiwa pun juga seharusnya mendapat asupan yang bergizi bagi daya berpikirnya sang otak. Kembali ke kodrat manusia di atas tadi, bagaimana kita sebagai manusia harus tumbuh dan bermanfaat bagi Tuhan, sesama, alam semesta, atau bahkan harus lebih tinggi daripada ketiga itu. Perlu sekali kita mendapat pengetahuan yang beragam, yang menyajikan bukan hanya 1 atau 2 materi saja demi menajamkan kemampuan (skill) untuk tujuan bertahan hidup semata. Pengetahuan harus diberikan secara menyeluruh dan utuh karena semuanya itu terkait satu dengan lainnya. Oleh karena itu sajian seperti kurikulum yang kaya sangat dibutuhkan oleh kita semua.


Begitu juga bagi anak-anak yang memulai hidupnya. Perlu sekali mereka mendapatkan kurikulum yang kaya, yang bukan hanya terfokus dengan minat dan bakatnya saja lalu lupa dengan kodrat alamiahnya sebagai manusia. Pendidikan janganlah dibedakan antara humaniora dan science, karena keduanya ini sejatinya harus berjalan selaras yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan juga jangan menjadi individualis yang hanya berpusat pada satu kepentingan saja, sehingga anak terdidik hanya menjadi ‘mesin’ uang di masa depannya dengan jiwa yang kosong. Mereka harus disajikan dengan berbagai hal yang tidak hanya menarik untuk dirinya sendiri saja. Bukan juga durasi belajar yang panjang yang dibutuhkan oleh anak-anak sehingga mereka cepat merasa bosan, bukan juga materi belajar yang hanya berisikan fakta dari buku materi yang garing untuk dipelajari, bukan juga buku yang hanya memuat materi bergambar saja sehingga anak tidak memiliki daya imajinasi yang tinggi, tetapi buku-buku yang hidup (living books) yang dapat memantik jiwa anak dalam mempelajari segala sesuatunya. Sajikanlah itu semua untuk mereka dan biarkanlah mereka menikmatinya.


 

Notes:

Gawai bukanlah musuh, bukan sesuatu yang harus dihindari. Anak tetap perlu diperkenalkan sesuai dengan porsinya. Jadikanlah gawai sebagai media imunitas sehingga tidak larut dalam sosialita. J


Saturday, May 30, 2020

12:00 PM

Ketika Corona Menyapa

Ketika Corona Menyapa


Belakangan ini satu dunia dihadapkan dengan satu pandemi penyakit yang bernama Corona. Penyebarannya cukup cepat, menyerupai flu sepertinya, tapi mematikan banyak manusia. Awalnya penyakit ini dikabarkan datang dari China, lalu menyebar seiring manusia berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi lain, dari satu kota ke kota lain dan bahkan berpindah dari satu negara ke negara lain.


Awalnya di Indonesia sendiri tidak terdeteksi. Ya kalau ini sih sempat ada meme-meme lucu kenapa penyakit tersebut tidak sampai ke Indonesia. Pada saat itu pas sekali dengan sering-seringnya Jakarta kebanjiran, dimana anak-anak kecil membuat daerah banjir jadi ajang permainan mereka. Belum lagi dengan jajanan pinggir jalan ala Indonesia yang bercampur dengan debu kendaraan bermotor yang lalu lalang. Tentunya saja ini menguatkan asumsi kalau Corona merasa takut datang ke Indonesia.


Lalu sekitar pertengahan bulan Maret mendadak ditemukan 2 orang yang terjangkit penyakit Corona. Selesai Presiden Jokowi mengumumkan berita ini, seketika itu juga masyarakat di Indonesia kalap. Mereka semua mengantri di supermarket, membeli apa yang sebetulnya tidak perlu. Mereka berduyun-duyun memborong semua yang bisa mereka beli untuk persediaan. Dalam sekejab, semua supermarket kehabisan stok mereka.


Bahkan ada juga yang viral ketika salah satu bapak-bapak Tionghoa dengan seragam kebesarannya, celana pendek, kaos polo licin dengan tas di pinggangnya, mengantri di salah satu supermarket dengan tumpukan kardus Indomie melebihi tinggi badannya. Sontak kejadian ini menjadi perbincangan warga +62 lah ya, dari yang nyumpahin si Ngkoh kanker usus karena menyetok Indomie segitu banyaknya,sampai isu menyulut penjarahan pun melonjak. Usut punya usut, ternyata si Ngkoh ini emang setiap hari membeli Indomie dari supermarket tersebut dan setiap belanja ya dengan porsi seperti itu. Ya begitulah berita itu menyebar lewat sosmed, dan secepat itulah jari dan lidah mengeluarkan komen-komen.


Setelah pengumuman berita tersebut, selain masyarakat berbondong-bondong mengantri di supermarket, mendadak sekolah di Jakarta diminta untuk meliburkan murid-murid mereka guna memutus rantai penyebaran Corona atau yang sering disebut dengan Covid-19. Lagi-lagi hal ini jadi perbincangan. Mulai dari akan bagaimanakah sistem pendidikan selanjutnya ketika di rumah, lalu penilaian akan dibuat seperti apa, belum lagi yang menjelang UN sampai akhirnya di ujung pertanyaan, apakah uang sekolah bisa didiskon?


Seperti ramalan jadi kenyataan ketika Presiden Jokowi melantik Nadiem menjadi Menteri Pendidikan, dimana sekolah akan online, begitupun dengan pembayarannya yang sesuai applikasi Gojek. Sekolah pun akan berlangsung seperti lelucon yang menjadi kenyataan. Lucu namun miris.


Sekolah saat ini betul menjalani pendidikan secara online. Anak-anak diberi materi oleh guru kelasnya untuk dikerjakan di rumah dengan orang tuanya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi? Ya, tentu saja setelah pendidikan dipindahkan tugasnya menjadi orang tua yang bertanggung jawab penuh, orang tua berteriak semua. Mereka tidak siap menanggung semua ‘beban’ ini tiba-tiba, dibalik alasan mereka harus bekerja, menyelesaikan urusan rumah tangga (memasak, nyuci baju, setrika dsb), tidak ada waktu me time lagi sampai dengan alasan merasa rugi karena sudah membayar uang sekolah full di awal, bahkan merasa tidak terima ketika ditagih dengan uang sekolah bulanan atau bahkan tahunan karena harus mengajar sendiri anak-anaknya tanpa bantuan guru.


Barang tentu ini jadi dilema tersendiri bagi pihak sekolah, guru, orang tua bahkan anak-anak sekalipun. Selain orang tua yang merasa stress karena ter”beban”i dengan satu tanggung jawab baru (which is sebetulnya ini sudah jadi tanggung jawab di awal ketika memiliki anak. Ketika pihak sekolah sebagai wakil orang tua tidak bisa lagi membantu anak dalam pendidikan, sudah wajib takdirnya orang tua mau menerima tanggung jawab mendidik anaknya sendiri), anak pun kena getahnya. Setiap hari yang dihadapi mereka hanya tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan hanya demi nilai semata, sampai-sampai orang tua lupa apa sebetulnya hal dasar dari pendidikan selain nilai semu yang dikejar. Tujuan pemerintah merumahkan anak-anak dari sekolah, seharusnya bisa jadi ajang bagi keluarga untuk kembali melihat ke dalam. Ini justru bisa jadi momen tersendiri bagi orang tua untuk lebih berperan bagi anaknya. Bukan lagi nilai-nilai sekolah yang perlu dijunjung tinggi sehingga lupa apa artinya kebersamaan saat ini.


Selain orang tua dan anak, pihak sekolah sebagai wakil orang tua dan juga sebagai pihak pebisnis disini, merasa ketar ketir dengan keputusan pemerintah ini. Mereka tetap harus menjalankan ‘bisnis’ mereka, tapi tidak tahu sistem apa yang harus digunakan ketika situasi di luar kendali mereka. Jadilah pihak guru yang terkena dampaknya.


Sebagai orang yang pernah bekerja di sekolah, aku dapat merasakan bagaimana situasi guru saat ini. Pernah lihat di salah satu postingan teman yang bekerja sebagai kepala sekolah di salah satu sekolah ternama bagaimana guru dalam menyiapkan pendidikan online harus bekerja semaksimal mungkin agar materi-materi tersebut sampai ke tangan orang tua dan bisa diajarkan ke anak-anak. Peran guru disini betul-betul menjadi tonggak keberhasilan bagi pihak sekolah, orang tua bahkan anak muridnya. Belum lagi sambil dipikirkan apakah tahun ajaran baru para guru ini masih akan mendapat pendapatan penuh atau tidak, bahkan memikirkan apakah jasa mereka masih akan tetap dipakai oleh sekolah tersebut atau tidak. Salut padamu, Para Guru, teman sejawatku!


Kalau bicara tentang pandemic yang terjadi ini sudah barang tentu banyak yang mengkritisi, dari mulai pendidikan anak, kerja pemerintah yang dinilai setengah-setengah menanggulanginya sampai ke bisnis yang mulai lesu. Bayangkan saja para masyarakat kelas bawah yang pendapatannya harian, sudah barang tentu hal ini paling berdampak ke mereka. Mereka lebih memilih tetap berjualan, sambil berharap ada pembeli, ketimbang harus berdiam diri di rumah menunggu pandemic selesai. Urusan perut jelas lebih utama bagi mereka saat ini. Lebih baik mati karena Covid-19 ketimbang mati karena kelaparan, begitu ujar mereka ketika diwawancara di daerah Kota. Hidup ini berat, Jenderal!


Tentu sudut pandang ini sedikit berbeda ketika yang menyikapinya dari pihak para Homeschooler. Kami yang sudah sejak awal tahu langkah kami dalam membersamai anak, ketika mendapati berita harus lebih banyak berdiam diri di rumah, tentu saja ini bukan menjadi masalah besar. Kami terbiasa 24 jam /7 hari dengan anak-anak dan tidak pernah merasa menjadi halangan untuk kami berdiam diri di rumah selama itu. Setidaknya ini yang terjadi di aku dan Fritz, tentu beda dengan bapaknya yang terbiasa dengan kerja lapangan.


Satu lagi yang dapat diamati dari pandemic ini, semesta seolah memaksa manusia untuk refleksi. Manusia diminta untuk rehat sejenak dari kesibukan duniawinya. Sibuk bekerja sampai lupa waktu dengan kesehatannya, kebersamaan dengan keluarganya, bahkan sampai lupa dengan dirinya sendiri dan alam sekitar. Manusia diminta untuk bersantai sejenak dan lebih menyadari serta menikmati hari demi hari dengan penuh kesadaran, bukan lagi sibuk dengan urusannya masing-masing.


Sadari alam sekitar. Langit jauh lebih cerah dari hari-hari biasanya. Burung-burung bercuit lebih sering. Bunga jauh lebih kelihatan indah dari biasanya. Bahkan udara pun jauh lebih enak dihirup ketimbang sebelumnya. Ya, biarkan bumi rehat. Bumi sudah tua dan butuh istirahat sejenak dari rutinitas manusia setelah dipakai secara berlebihan.


Oleh karena itu, masih banyak yang bisa disyukuri dari keadaan saat ini ketimbang menggerutu dengan hal-hal yang tiada guna. Sadari setiap nafas kehidupan kita adalah anugerah tersendiri yang Tuhan kasih secara gratis, begitu juga dengan detak jantung yang masih bekerja sampai saat ini. Biarlah hal kecil namun berarti bisa menjadi rasa syukur kita di tengah situasi saat ini.