06.20 - Lievell

Monday, June 29, 2020

8:11 AM

Esensi Dalam Bertuhan

Esensi Dalam Bertuhan

Dua belas tahun aku bersekolah di satu sekolah yang berbasis pendidikan Kristiani. Seperti pada umumnya sekolah dengan berbasis agama, anak-anak diminta untuk wajib mengikuti peraturan ritual agama di sekolah tersebut tanpa terkecuali apapun agama yang dianut oleh si anak. Jadilah ritual seperti melakukan ibadah kebaktian setiap minggunya, menghafalkan ayat-ayat alkitab setidaknya satu perikop dalam pelajaran agama dan juga ritual berdoa sebelum dan sesudah kelas, hukumnya wajib dilakukan dalam kegiatan persekolahan.  Apakah ritual-ritual tersebut lantas menjadikan anak-anak berkelakuan baik dalam kesehariannya?


Aku ingat sekali ketika aku berada di jenjang SMP. Kami diminta untuk mengikuti kebaktian yang dibuat di jam terakhir pelajaran sekolah dan terletak di gedung yang berbeda dari sekolah kami. Meskipun gedung kebaktian yang mana adalah gedung SD dan terletak dalam satu komplek yang sama, kami harus berjalan setidaknya 200-300 meter dari sekolah kami. Ya, kami berjalan berduyun-duyun di bawah terik matahari yang panasnya ajubileh bin jali, dengan guru yang menjaga barisan kami di depan dan di belakang agar anak-anak tidak hilang arah. Tetap saja, dalam perjalanan yang sebetulnya tidak cukup jauh itu, beberapa dari kami bisa mendadak berbelok arah dan masuk ke dalam gang-gang komplek perumahan lalu blas hilang, pulang ke rumah. Sehingga kebaktian yang diadakan sebelum pulang sekolah itu mendadak diganti jamnya menjadi pagi sebelum pelajaran dimulai agar peserta ibadah tidak mendadak hilang separuh.


Ada cerita lainnya lagi ketika kami ulangan agama dan harus menuliskan perikop ayat Alkitab. Mungkin ketika kami berusia SD, dengan nurutnya kami akan menghafal mati sampai tidak ada satu kata pun yang terlewatkan untuk nantinya kami tulis di kertas ulangan. Tetapi jangan harap dengan anak-anak menjelang usia dewasa ini, yang ada kami sibuk mengatur strategi bagaimana ayat-ayat Alkitab tersebut bisa kami ‘copy paste’ tanpa hilang satu katapun ke kertas ulangan kami. Ya, begitu banyak cara tentunya! Mulai dari membuat kertas contekan yang ditulis kecil-kecil (mata dengan silinder dan minus dilarang keras membuat contekan seperti ini) lalu kami gulung atau lipat untuk diselipkan di kaos kaki ataupun diinjak di dalam sepatu, sampai menuliskannya di atas meja kayu dengan pensil yang dilihat dengan bantuan cahaya matahari (cara ini memang akan tampak seperti orang bodoh karena kepala dan mata akan bergeser-geser untuk bisa membaca tulisan tersebut ) yang mana semua itu dilakukan dengan adrenalin tinggi tanpa ketahuan dari guru agama kami. Tujuannya tentu hanya untuk (lagi-lagi) nilai ulangan yang bagus semata.


Begitu banyak cara yang anak-anak lakukan di usia sekolah untuk bisa melepaskan diri dari ritual-ritual keagamaan. Anak-anak tampak tidak menyukai kegiatan beribadah ataupun pelajaran agama yang diberikan oleh sekolah. Tak jarang juga terjadi pemberontakan akan ritual-ritual yang sekolah sajikan. Padahal jelas sekali kalau semua peraturan-peraturan tersebut dibuat (untuk dilanggar, eh!) untuk menjadikan murid-muridnya berakhlak mulia di kemudian hari setelah selesai dari jenjang pendidikan di sekolah tersebut. Lantas, apa yang salah dari semuanya ini?


Dalam pembahasan diskusi dengan CM Jakarta beberapa hari yang lalu, ada penggalan kalimat seperti ini, “Dari tiga jenis pengetahuan yang layak dimiliki anak – pengetahuan tentang TUHAN, tentang manusia, dan tentang semesta – pengetahuan tentang TUHAN duduk peringkat pertama dalam hal arti pentingnya, tak boleh terabaikan, dan paling menentukan kebahagiaan.” Sudah jelas sekali bahwa pengetahuan tentang Tuhan ini menduduki tangga tertinggi untuk dijadikan tiang pondasi bagi anak. Mungkin yang menjadi pertanyaannya saat ini adalah, siapakah yang mengambil peran untuk mendirikan tiang pondasi tersebut untuk anak? Apakah sekolah, khususnya guru, ataukah peran orang tua yang mempunyai porsi terbesar dalam mengambil peran tersebut?


Guru di sekolah mempunyai peran dalam mendidik anak-anak dalam beragama. Pastinya dengan tekun guru akan mengajarkan semua yang berkaitan dengan keagamaan. Setidaknya seminggu sekali lah anak-anak diberikan bekal pelajaran agama dari buku teks. Dalam kesehariannya anak-anak pun diminta untuk melakukan rutinitas berdoa sebelum dan sesudah jam pelajaran sekolah agar mereka dilindungi dalam naungan Tuhan dalam belajar. Anak-anak pun tidak luput diberikan bekal ini itu yang berkaitan dengan Ketuhanan dalam kesehariannya mereka di sekolah. Tetapi, apakah hanya dengan buku teks saja anak-anak mampu mempunyai ikatan yang kuat dengan Tuhannya? Apakah dengan berdoa setiap hari anak-anak paham arti dan tujuanya dalam berdoa? Seyakin apa bekal-bekal yang diberikan oleh guru mampu membuat anak-anak ini bertahan di kehidupannya kelak selepas dari sekolah?


Seperti kata pepatah lama, “Anak adalah titipan Tuhan.” Seperti itulah tugas orang tua yang mengambil peran dalam porsi besar untuk bertanggung jawab akan titipanNya. Ikatan spiritual yang terbangun antara anak dan orang tua yang menjadi dasar untuk mendidik anak tentang Tuhan. Kasih sayang orang tua ibarat kasih sayang Tuhan untuk anaknya, sehingga sudah menjadi kewajiban utama bagi orang tua untuk mendampingi anak dalam kesehariannya untuk mengenal Tuhan lebih jauh lagi. Pertanyaan pun muncul ketika tanggung jawab ini disematkan. Bagaimana jika orang tua tidak sereligius itu dalam menjalankan agamanya, dalam melakukan ritualnya, dan dalam beribadahnya? Tentunya lepas tanggung jawab dan memberikan porsi ini kembali ke guru sekolah bukan menjadi jawabannya ya.


Perjalanan spiritual setiap keluarga bisa sangat berbeda-beda. Belajar dan bertumbuhlah dengan anak, karena sejatinya hasrat alami manusia itu mengenal sesuatu yang lebih tinggi darinya, dalam hal ini Tuhan. Pendidikan itu didapat dari atmosfer yang terbentuk dan keluarga mempunyai peran yang paling besar dalam memberikan atmosfer tersebut. Bagaimana anak bertumbuh dalam iman jika orang tua pun tidak mau bertumbuh dengan anak?


Mengenal Tuhan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, dan mengenalkan Tuhan dalam keseharian pun bisa berbeda-beda caranya. Mungkin melalui persoalan yang terjadi di sekitar dan mendiskusikannya bersama-sama dengan anak, bagaimana menyelesaikan masalah tersebut dengan mengandalkan tangan Tuhan yang bekerja dalam penyelesaiannya. Ataupun juga ketika anak bertanya tentang agama yang dianutnya, bersiaplah untuk menjadikan ini sebagai bahan diskusi yang menarik dengan anak dalam pencarian jati dirinya dengan Tuhannya.


Esensi dalam berTuhan tidak terpaku hanya di ritual dalam berdoa dan beribadah, tetapi juga dalam bersikap, pola pikir, cara pandang dan juga cara bersikap keluar terhadap teman-teman yang berbeda agama. Overdosis dalam beragama juga tidak dibenarkan. Ibarat melintasi kotak agama, anak-anak perlu juga melihat dan belajar dari kacamata agama lain sehingga mereka tidak semata tumbuh dan menjadikan agamanya  sendiri sebagai yang paling benar (I’ve been there!).

 


Saturday, June 13, 2020

9:16 AM

Kurikulum yang Kaya

Kurikulum yang Kaya

Setiap manusia pastilah terlahir dengan kodrat alamiah, yaitu menjadi manusia yang bermanfaat bagi Tuhan, sesama dan juga bagi alam semestanya. Sayangnya seiring dengan waktu kodrat tersebut tergerus dan entah menguap kemana. Tugasnya di dunia yang seharusnya bermanfaat bagi sesama, tergantikan dengan sibuk memikirkan dirinya sendiri. Belum lagi tugasnya menjaga alam sekitar seperti yang diperintahkan Tuhan kepada kita, yang ada justru sebaliknya, merusaknya, yang lagi-lagi, demi kepentingan dirinya sendiri. Lantas yang tersisa hanyalah manusia yang seolah-olah bermanfaat bagi Tuhan, tetapi sebenarnya tidak teraplikasi nyata dalam kehidupan sehari-harinya. Kenapa manusia yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk termulia yang memiliki akal dan budi bisa menjadi seperti itu?


Berkembangnya jaman membuat manusia seakan berlomba setiap waktunya untuk membuktikan menjadi yang terbaik. Sampailah kita di era teknlogi, dimana setiap orang bergantung penuh akan kebutuhan satu itu. Arus teknologi ini pun semakin kencang, membawa kita mengikuti arus atau bahkan membuat kita tenggelam semakin dalam. Belum lagi kesenangan yang tercipta ketika teknologi ini membuai kita dengan segala sesuatu yang menyenangkan. Tanpa disadari semuanya itu justru membuat daya fokus kita semakin dangkal, semakin sulit untuk diajak berpikir lebih mendalam.


Berkonsentrasi menjadi tugas berat bagi otak saat ini. Daya atensi kita pun semakin menurun seiring dengan distraksi yang kita terima dari dunia teknologi saat ini. Bagaimana gawai berperan sebegitu besarnya dalam kehidupan sehari-hari kita, dimana dengan mudahnya pula kita mendapati satu dunia hanya dalam satu sentuhan saja. Maka tidak heran saat ini semakin banyak orang dewasa yang terbuai dengan fokus kerumunan mentalitas orang banyak seperti berlomba menjadi yang terkenal, terhebat dan bahkan yang terkaya sekalipun lewat dunia sosial media yang sedang marak belakangan ini. Seolah-olah hanya itu tujuan terbesarnya dalam hidup.


Tentunya ini pun sedikit banyak berdampak pada anak-anak yang cenderung melihat pola ini dengan orang tuanya. Terpaparnya anak sejak dini dengan layar, bukan serta merta menjadi hal yang baik untuk anak. Belakangan ini semakin banyak sekali ditemukan kasus pada anak-anak usia dini yang kesulitan dalam berkomunikasi dikarenakan oleh gawai. Komunikasi satu arah yang ditampilkan melalui layar seolah menjadi teman dalam kehidupan si anak. Belum lagi dampak lain yang ditemukan, daya atensi yang rendah yang sudah tercipta dari sejak dini. Sungguh tidak dipungkiri banyak anak-anak ketika masuk usia sekolah sulit untuk berkonsentrasi lebih lama karena seringnya terpapar dengan layar di gawai.


Dalam satu workshop tentang Habit of Attention yang pernah aku ikuti, anak-anak usia dini, sampai usia 5-6 tahun, dilarang untuk diberikan gawai. Mereka harus dipaparkan sebanyak mungkin dengan alam, dibacakan buku-buku yang berkualitas dan bahkan dibiarkan mencari sendiri kegiatan dalam kesehariannya tanpa gawai. Semakin minim anak terpapar dengan gawai, semakin panjang daya atensi si anak. Ini dibuktikan dalam satu tayangan di workshop tersebut bagaimana seorang bayi berumur 1 tahun sibuk bermain dengan popok baru yang dipegang, dilempar, bahkan diperhatikannya dengan seksama selama 1 jam tanpa henti. Bagaimana daya atensi ini terkait erat dengan terpaparnya anak dengan gawai ya.


Daya atensi rendah ini selain tercipta karena paparan gawai, juga tidak diiringi dengan asupan jiwa. Seringkali kita lupa bahwa jiwa dan raga ini adalah satu kesatuan dan keduanya ini harus diisi dengan asupan-asupan yang baik. Layaknya raga yang dengan mudahnya diisi dengan sajian makanan yang beragam bagi tubuh, jiwa pun juga seharusnya mendapat asupan yang bergizi bagi daya berpikirnya sang otak. Kembali ke kodrat manusia di atas tadi, bagaimana kita sebagai manusia harus tumbuh dan bermanfaat bagi Tuhan, sesama, alam semesta, atau bahkan harus lebih tinggi daripada ketiga itu. Perlu sekali kita mendapat pengetahuan yang beragam, yang menyajikan bukan hanya 1 atau 2 materi saja demi menajamkan kemampuan (skill) untuk tujuan bertahan hidup semata. Pengetahuan harus diberikan secara menyeluruh dan utuh karena semuanya itu terkait satu dengan lainnya. Oleh karena itu sajian seperti kurikulum yang kaya sangat dibutuhkan oleh kita semua.


Begitu juga bagi anak-anak yang memulai hidupnya. Perlu sekali mereka mendapatkan kurikulum yang kaya, yang bukan hanya terfokus dengan minat dan bakatnya saja lalu lupa dengan kodrat alamiahnya sebagai manusia. Pendidikan janganlah dibedakan antara humaniora dan science, karena keduanya ini sejatinya harus berjalan selaras yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan juga jangan menjadi individualis yang hanya berpusat pada satu kepentingan saja, sehingga anak terdidik hanya menjadi ‘mesin’ uang di masa depannya dengan jiwa yang kosong. Mereka harus disajikan dengan berbagai hal yang tidak hanya menarik untuk dirinya sendiri saja. Bukan juga durasi belajar yang panjang yang dibutuhkan oleh anak-anak sehingga mereka cepat merasa bosan, bukan juga materi belajar yang hanya berisikan fakta dari buku materi yang garing untuk dipelajari, bukan juga buku yang hanya memuat materi bergambar saja sehingga anak tidak memiliki daya imajinasi yang tinggi, tetapi buku-buku yang hidup (living books) yang dapat memantik jiwa anak dalam mempelajari segala sesuatunya. Sajikanlah itu semua untuk mereka dan biarkanlah mereka menikmatinya.


 

Notes:

Gawai bukanlah musuh, bukan sesuatu yang harus dihindari. Anak tetap perlu diperkenalkan sesuai dengan porsinya. Jadikanlah gawai sebagai media imunitas sehingga tidak larut dalam sosialita. J