12.21 - Lievell

Monday, December 27, 2021

11:01 AM

Perjalanan 2021

Perjalanan 2021

 

Sampai juga nih di penghujung tahun 2021. Tahun yang masih juga didominasi dengan urusan Covid, dimana berita yang terdengar setiap hari pasti gak jauh-jauh dari situ. Semacam rumah makan siap saji kalau sedang menurun omsetnya lalu cepat-cepat bikin promo terbaru demi mengangkat lagi namanya, begitu juga nasibnya dengan virus ini. Beritanya mulai surut, masyarakat mulai ditakut-takuti lagi dengan kabar terpanas muncul varian terbaru yang lebih mematikan. Sontak orang-orang jadi parno lagi. Sukses jadi trending topik dunia lagi deh. Eaaa. 

 

Tapi lucunya dari manusia-manusia yang ketakutan dengan virus ini adalah begitu waktunya liburan hari raya tiba. Dengan dalih “stress bikin imun menurun” ataupun “capek sama berita Covid”, mendadak tempat wisata menjadi ramai. Orang berbondong-bondong pergi liburan dan rela membayar jutaan rupiah untuk mendapat kenyamanan sesaat. Tentu ini karena peran vaksin juga sih yang ditemukan dan disuntikkan massal di pertengahan tahun ini. Vaksin rasa obat mujarab yang dianggap mampu menameng diri. Gak heran orang merasa jemawa setelah divaksin, berasa kebal seperti Captain America yang kalau ditembak musuh gak mati-mati. Ya padahal kan gak harus begitu juga yaaa… Cukup hidup seperti biasa apa adanya. Hidup dalam ketenangan jiwa dan batin, itu sudah cukup sebetulnya.

 

Berita keluarga dan sahabat yang mendadak berpulang pun juga tidak sedikit di sepanjang tahun ini. Selalu ada saja berita yang bikin kaget dan sedih ketika mendengarnya. Paling sedih adalah ketika salah satu pasangan hidup ditinggal sendiri bersama dengan anak-anaknya ataupun kedua orang tua berpulang dan meninggalkan anaknya sendiri. Sungguh susah dibayangkan, tapi semoga saja mereka sanggup menjalaninya ya. Turut mendoakan kehidupan yang terbaik buat mereka. 🙏

 

Covid dan antek-anteknya ini beneran bikin hidup lebih hidup sih. Bikin hidup sedunia ini berubah drastis banget. Gak sedikit juga yang gulung tikar bisnisnya, usahanya bangkrut. Namun ternyata ya, banyak juga bermunculan ide bisnis baru di tengah pandemi ini. Memang manusia itu adaptif dan kreatif ya. Ketemu aja jalan keluarnya dari setiap masalah.

 

Begitu juga dengan cerita gue di tahun 2021 ini. Banyak juga yang terjadi dan membuat gue semakin bersyukur dengan pandemi ini. Hampir di sepanjang tahun ini, sebetulnya sudah dari tahun kemarin juga, gue berkutat di urusan jualan frozen food. Di bawah bendera Allella Kitchen, hampir dua mingguan sekali gue dan bapak Ali ini buka pesanan alias PO makanan. Berduaan, kadang-kadang si Boy juga diajak (baca: dipekerjakan 😜) juga untuk membantu, berkutat di dapur mini apartemen.

 

Di saat yang bersamaan, gue juga meneruskan pekerjaan dadakan yang muncul di era pandemi ini. Les online. Seiring berjalannya waktu, tidak hanya les online lagi tapi tawaran mengajar tatap muka pun mulai berdatangan. Karena sudah tidak memungkinkan lagi membelah diri antara berjualan makanan beku dan mengajar privat, pelan tapi pasti gue harus memilih salah satunya. Apalagi, sekitar bulan Oktober akhir kemarin sempat ada kabar kurang oke bagi pedagang dadakan seperti kami ini. Banyak pedagang frozen food pandemi ini mulai bermunculan yang tidak mempunyai ijin usaha menjual produk beku. Tidak sedikit juga yang terkena kasus hukum. Dengan alasan ini juga, sementara waktu, meskipun entah sampai kapan waktunya, Allella Kitchen memutuskan untuk vakum.

 

Sekitar 20 tahunan terakhir ini, hidup gue selalu berkutat dengan anak-anak. Gue lebih bisa mengobrol dengan luwes ketika bersama anak ketimbang dengan orang dewasa. Bagi gue anak-anak itu jauh lebih tulus dalam bercerita, tidak ada yang dibuat-buat dan juga tidak ada kebohongan di sana. Apalagi kalau melihat mereka bercerita dengan matanya yang berbinar-binar. Euuh, meleleh hati gue. Karena inilah gue jatuh cinta sekali dengan dunia mereka dan mengajar menjadi media gue untuk dekat dengan mereka. 

Tidak sedikit akhirnya gue terlampau sayang dengan anak-anak didik gue, seakan anak sendiri. Mengajak mereka kegiatan ini itu pun seakan mengingatkan gue ketika berkativitas dengan Fritz kecil dulu. Hihihi. Mungkin karena minat dan energi gue besar di dunia anak-anak ini ya, akhirnya gue didatangkan dengan kesempatan-kesempatan untuk mengajar beberapa anak sekaligus di sepanjang tahun ini. Berkat yang tidak terduga sebetulnya, dan tentu patut gue syukuri sih.

 

Di saat pandemi mungkin membuat sebagian orang merasa terkukung dari kebebasan berkegiatan, justru gue merasa semakin berdaya dengan di rumah saja ini. Kegiatan yang paling terasa adalah diskusi bersama teman-teman dari komunitas CM Jakarta. Diskusi yang tadinya berjalan dari taman kota ke taman kota lainnya, sejak pandemi semakin jaya di online. Diskusi yang tadinya harus bawa gembolan tas dan menggeret anak naik kendaraan umum, sekarang hanya dengan duduk santai di kasur dengan kaos kutang tanpa BH, celana pendek dan muka kusut belum mandi pun bisa ikut diskusi.

 

Mungkin bagi sebagian orang diskusi setiap Selasa jam 1 sehabis makan siang itu gak banget ya, ganggu tidur siang banget emang sih itu, tapi buat gue justru jadi semangat gue loh. Gue banyak terinspirasi dari obrolan random teman-teman ini. Sedikit banyak membuka pikiran gue, “manusia-manusia ini makan siangnya apaan ya, cespleng banget otaknya!” begitu gue bergumam dalam hati. Gimana ya, mereka ini kalau sudah berdiskusi seperti kelar makan petasan banting, obrolannya bisa saling sahut-sahutan dengan isi yang berbobot. Mana rela gue tidur siang kalau begini sih.

 

Seperti yang tadi gue bilang, pandemi bikin berdaya itu. Tahun ini juga gue punya tujuan untuk hidup gue. Bermula dari menjadi fasilitator diskusi bersama dengan dua teman lainnya, Mba Ata dan Mba Zia, gue menemani teman-teman baru yang kepengen belajar tentang CM lewat buku Cinta yang Berpikir dan Volume VI. Awalnya jiper juga sih, gue yang notabene kurang pintar berfilosofi dan kurang pintar menuangkan pikiran lewat obrolan bersama orang dewasa, merasa canggung memulainya. Tapi lambat laun gue bisa mengalahkan rasa canggung itu dan sedikit luwes. Tentu ini juga karena gue punya dua kawan yang super hebat dan teman-teman diskusi yang membuat gue belajar banyak dari mereka. Keren lah!


 

Tidak berhenti sampai situ. Tantangan baru diberikan ketika CM Jakarta mencari koordinator komunitas. Ternominasikan lah nama gue bersama dengan Ratna dan Mba Ficky yang keduanya menurut gue kandidat hebat untuk menjadi koordinator dibanding gue. Kapasitas mereka dalam memahami filosofi CM begitu kuat. Hidup mereka sepertinya udah CM based banget dah dibanding gue yang masih utilitarian ini, masih sibuk nyari duit. Wkwkwkwk. Dan entah kesambet jin dari mana, tahu-tahu gue malah menyodorkan diri sebagai KorKom alias Koordinator Komunitas. Paling gengges lagi, setelah gue menyerahkan diri ini, jabatan Korkom itu harus diemban selama 3 tahun. Ya gubraaaak……*pingsan 😖

 

Buat gue yang belum pernah memegang jabatan kepemimpinan, ini PR besar sih. Gue perlu banyak belajar dalam menjalani peran ini. Berbagi tugas, menyerahkan tugas serta melatih diri untuk tidak gampang terbawa emosi – ya entah marah, ngambek, baper ataupun sensitif, perlu banget dikelola dengan benar kan. Aku kan manusia biasa juga, Bu Ibuuuu. Semoga aja ya gue bisa berproses di sini. Doakan saya selama 3 tahun!! *sungguh kuterjebak…

 

Berdaya lainnya lagi, yang selama ini gue pengen banget pelajari, yaitu belajar menerjemah. Dan tahun ini gue didatangkan kesempatan itu. Meskipun di awal-awal itu sempat frustrasi, merasa terjemahan gue sering banyak salahnya ketimbang benernya, tapi semakin ke sini mulai agak pede sedikit. Sedikit loh ya. Karena menurut gurunya, tidak boleh jemawa sebagai penerjemah itu. Perasaan sombong itu kudu dibuang jauh-jauh. Jadi, bangga sedikit aja, jangan kebanyakan. Takut nanti terbang gak turun-turun lagi. 😁

 

Lainnya lagi masih terkait dengan komunitas satu ini adalah selalu mengajak belajar sesuatu yang baru. Tentu gak jauh-jauh dari buku, diskusi dan narasi. Ketiganya itu harus berjalan beriringan memang. Selama hampir setahun ini bacaan buku gue juga sedikit lebih banyak ketimbang tahun lalu. Cieeee. 😂😂 Meski bukan tukang baca buku, bisa menyelesaikan satu demi satu buku yang dibaca, rasanya udah seneng banget. Apalagi setelah selesai baca buku bisa menarasikannya dalam bentuk tulisan, semakin cakep lagi sih itu.

 

Nah, menuju beberapa bulan sebelum akhir tahun, gue bersama dengan teman-teman CM Jakarta memilih satu buku berjudul Biology of Belief. Ini menjadi buku yang mencerahkan jiwa banget sih. Bacanya aja buat gue butuh 4 bulan sendiri untuk sampai selesai. Tapi efeknya luar biasa sekali. Bagaimana ilmu itu saling terkait menurut CM, terjawab juga dalam buku ini. Keren banget lah. Tentunya grup kecil bahas buku ini masih akan menjalankan misinya di tahun depan. Uhuuuyyy. Can’t wait to explore together with them!!

 

Setelah lama gue vakum di Komunitas Sahabat – 4 tahun aja vakumnya, cuiy. Tahun ini gue memutuskan untuk kembali berkegiatan di sana. Ternyata selama 4 tahun ini banyak sekali perubahan yang terjadi. Yang paling kentara itu adalah betapa jauh ya jarak umur gue dengan kakak-kakak pendamping ini. Rata-rata mereka adalah generasi 90an, alias yang lahir di tahun 90an. Jadi semakin kelihatan banget ya tuwirnya gue diantara mereka. Tentu juga ini jadi kesenangan tersendiri sih. Gaul sama anak muda itu jadi bikin gue awet muda juga. Mahapenting ini! 😂

 

Ada misi yang gue tuju sebetulnya ketika memilih untuk kembali beraktivitas di sana. Gue mencoba mengajak teman-teman ini berkenalan dengan dunia metode Charlotte Mason dalam memberi pengajaran ke anak-anak. Memasukkan pemikiran baru ini tentu bukan hal mudah. Sudah 3 bulan terakhir ini gue membawa misi itu ke anak-anak. Sedikit demi sedikit sudah terjadi. Awalnya anak-anak agak tidak nyaman ketika diminta untuk bernarasi, tapi berjalannya waktu mereka sudah terbiasa dengan metode ini. Metode sederhana tapi penuh dengan taktik dalam menjalankannya. Apalagi bagi kakak-kakak pendamping yang selalu berganti setiap bulannya. Bukan perkara mudah untuk membimbing mereka. Dan gue tetap mau bertahan dan tidak akan menyerah untuk menjalankan misi ini. Wish me luck, gaessss….

 

Kegiatan yang dikerjakan dari tahun lalu pun masih ada beberapa juga yang masih rutin dijalankan. Salah satunya kegiatan online Fritz di rumah. Semakin banyak aja kegiatan yang dikerjakannya bersama dengan teman-teman komunitas CM. Hari-harinya pun sibuk dalam seminggu dari balik layar, yang tentunya berefek banyak dalam kemalasannya untuk bergerak. Sepertinya ini akan menjadi target tahun depan nih. Perlu banyak beraktivitas di luar ruangan.

 

Begitu juga dengan gue. Meskipun saat ini kegiatan dari balik layar dan luar ruangan mulai berimbang kapasitasnya, tapi gue masih merasa menjaga diri ini masih kurang dilakukan dengan rutin. Masih aja beberapa kali bolong melakukan olahraga pagi. Malas bangun pagi menjadi alasan utama yang susah sekali dilawan oleh diri. Asupan bagi tubuh pun kadang masih jadi PR tersendiri. Seringnya jatuh kedalam lubang promo gofood lagi-lagi jadi alasan pembenaran buat makan enak. Padahal tahu sendiri efeknya seperti apa ketika yang dimakan buat sesuatu yang baik bagi tubuh. Masih juga dagingnya diutamakan sih ya, mulut tetap jadi nomor satu ketimbang mikirin pencernaan. Pengen nabok diri sendiri gak sih kalau sudah begini. 😋😋

 

Sampai juga ya di akhir tahun 2021. Waktunya juga bagi kita untuk berefleksi selama setahun ini. Terima kasih semesta untuk segala hal baik dan tidak baik yang datang ke dalam hidup. Perjalanan apa yang akan datang di tahun depan, entahlah. Hanya bisa percaya, jika energi positif yang kita pikirkan dilemparkan, semesta dan beserta isinya pun akan menangkap sinyal-sinyal itu dan mengembalikannya ke hadapan kita.

 

Welcome 2022…..💃💃

Sunday, December 26, 2021

9:49 AM

Ourselves - Kesucian

Ourselves - Kesucian

 

Ada yang bilang, mendidik anak di zaman ini jauh lebih sulit ketimbang orang tua kita dulu. Ada pula yang berujar, zaman dulu orang tua hanya khawatir menjaga anak perempuannya ketimbang anak laki-lakinya. Kenapa begitu coba? Ya karena zaman disinyalir sudah berganti arahnya. Semakin banyak anak laki-laki yang tidak lagi menyukai lawan jenis, melainkan sesama jenis sekarang ini. Sehingga membuat orang tua lebih khawatir menjaga anak laki-lakinya ketimbang anak perempuan. Apakah benar bahwa tantangan di setiap zaman itu selalu berbeda?


Sepertinya apa pun zamannya, enak zamanku toh. #eh 😂😂


Jadi ingat slogan itu ya. Tapi apa pula itu eranya, setiap orang tua pasti selalu mempunyai tantangannnya tersendiri ya dalam mendidik anaknya. Andil orang tua cukup besar memang dalam mendampingi anak bertumbuh. Tentu ini sudah menjadi tugas seumur hidup ketika orang tua sudah memutuskan memiliki anak dalam kehidupan berkeluarganya. Bukan tugas mudah memang, karena memang banyak sekali orang tua yang pelan-pelan mundur dari jabatannya ini.


Entah ini karena orang tua terlampau sibuk dengan urusannya sendiri, sehingga minim komunikasi yang terjadi diantara anak dan orang tua. Ataupun orang tua yang kurang hangat terhadap anak, sehingga anak hanya menerima didikan satu arah. Perintah orang tua seperti mandat yang tidak dapat diganggu gugat keputusannya. Sehingga anak hanya pasif menerima tanpa dapat mengemukakan pendapatnya. Karena hal-hal seperti ini, akhirnya anak tumbuh dengan mencari informasi sendiri yang mereka dapat dari pihak luar. Dan tidak sedikit anak yang salah tafsir atas informasi yang didapat itu.


Seiring bertambahnya umur, tentu semakin banyak hal yang mulai menjadi pertanyaan di dirinya. Menemaninya bertumbuh menjadi kunci jawabannya. Bukan lagi perintah satu arah yang dibutuhnya, melainkan orang tua yang siap menjadi tempat diskusinya. Orang tua yang luwes dalam bertukar pikiran. Serta orang tua yang siap meluangkan waktu untuk sekedar mendengar curhatannya.


Pernah satu waktu si Boy terlihat galau. Begitu kutanya ada apa, dia pun bercerita tentang apa yang dirasa. Ternyata eh ternyata, anak ini sedang mengalami perasaan suka terhadap lawan jenisnya. Menurut pengakuannya, dia sempat resah maju mundur untuk cerita, karena ada rasa takut dimarahi. Lucunya, rasa galau ini terjadi menjelang tidur malam setelah dia menyatakan perasaannya itu. Pantes aja dia bangun pagi-pagi dan terlihat gelagatnya aneh, duduk kok nempelin emaknya terus kaya perangko. Ternyata ada yang galau semalaman, dan galau gak bisa tidur malam itu gak enak ye, Boy. 😁😁


Begitu ekspresi yang kuberikan kepadanya biasa saja, bahwa aku terima apa perasaannya, apa yang dia ungkapkan terhadap temannya, anak ini pun langsung dengan gamblang bercerita. Ceritanya pun mendetil sekali. Ada perasaan senang ketika dia mampu mempercayakan cerita tentang perasaannya kepada orang tuanya. Iya, bapaknya juga duduk mendengar saat itu, dan kami tidak memberikan ekspresi apa pun selain mendengar ceritanya. Tentu emaknya sambil senyum-senyum dong. Hihihi…


Beda dengan reaksi yang aku dapat waktu bercerita dengan orang tuaku dulu ketika aku mempunyai perasaan terhadap seorang laki-laki. Penghakiman dalam rupa omelan, dampratan, cemooh sampai tidak luput dari hukuman pukul, sabetan kemoceng sampai tamparan pernah kuterima karena ini. Sungguh bukan hal yang enak yang aku rasakan di saat itu, tapi tidak ada jalan lain menurutku. Sehingga membuatku merasa harus menutup rapat-rapat rahasia perasaanku dan apa saja yang aku lakukan dengannya.


Pernah satu saat di waktu usia SMP, aku mau pergi ke mall bersama pacar monyetku itu, aku harus diam-diam bilang mau belajar bersama, dengan tas berisi pakaian bagus. Yang entah bagaiamana nenekku yang menjagaku saat itu tahu rencanaku. Sontak tasku diambil dan dikeluarkan isinya, mana sebelumnya aku sempat dilempari mainan pistol-pistolan besi milik adikku. Wah, kalau saja saat dilempari itu aku tidak jago berkelit, kelar dah kaki gue. Bonyok! Jangan sedih, ceritanya tidak berhenti di situ. Sepulang Mami dari kantor, nenekku itu cerita ulah bandelku. Bukan lagi omelan yang didapat, melainkan tamparan tanpa ampun dari Mamiku. Sejak itu, tidak ada lagi cerita yang aku bisa ceritakan ke orang tuaku.


Bisa dibayangkan dampak dari anak yang tumbuh dengan ketakutan untuk bercerita terhadap orang tuanya. Tidak merasa dipercaya oleh orang tua itu sungguh tidak enak. Harus kucing-kucingan, terus berbohong dari satu hal ke hal lainnya untuk menutupi kebohongan sebelumnya, benar-benar tidak enak. Apalagi kalau akhirnya ketahuan dan sudah dapat ditebak apa yang diterima anak di hari penghakiman itu. Kalau sudah begini, jelas kemana arah tujuan anak ini bertumbuh kan ya. Sehingga pemahaman menjaga kesucian bukan lagi karena anak paham, melainkan sebagai bentuk pemberontakan anak terhadap orang tua.


Friday, December 24, 2021

4:05 PM

Philosophy Education - Pendidikan Mandiri

Philosophy Education - Pendidikan Mandiri

 

Children are born person.

 

Menjadi butir pertama yang diusung oleh ibu Charlotte Mason di dalam pemikirannya. Dijelaskan olehnya bahwa sesungguhnya anak terlahir sebagai pribadi yang utuh. Artinya, mereka bukanlah lembaran kertas putih kosong yang butuh ditulisi dengan tinta hitam ataupun dihias dengan crayon warna warni oleh orang tuanya. Tapi mereka sudah terlahir dengan budi yang terinstall sempurna di dalam dirinya.

 

Lihat saja seorang anak kecil ketika melihat kebiasan orang tuanya. Tanpa diajari anak kecil itu mempelajari apa yang sering dilakukan oleh orang tuanya ini, yang lambat laun akan ditiru olehnya. Contohnya ketika anak sering melihat orang tuanya tenggelam dalam pemakaian gadget. Tanpa perlu dibekali pengajaran bagaimana menjalankan perangkat canggih itu, dengan sering melihatnya saja dia mampu mengoperasikannya dan ujung-ujungnya ikut kecanduan seperti orang tuanya. Bagaimana dengan kebiasaan-kebiasaan lain, seperti mengupil di tempat umum, coba? Apa gak kurang gampang untuk dicontoh oleh anak-anak? 😅

 

Dengan pemikiran bahwa anak adalah lembaran kosong ini, orang tua melihat kecenderungan anak perlu dibekali dengan banyak stimuli sebagai amunisi untuk masa depannya. Merasa kurang sibuk, terlalu santai hidup sang anak, mulailah mereka diikutkan dengan banyak kegiatan ini itu. Dengan asumsi, semakin banyak kegiatan yang diberikan anak usia dini, anak akan menjadi cepat pintar. Apalagi belakangan ini semakin banyak aktivitas yang dikemas secara menarik. Dibuat seasyik mungkin supaya anak tertarik mengikutnya. Digeretlah anak kesana kemari untuk mengikuti kegiatan-kegiatan itu. Tanpa menilik lagi, apakah anaknya suka atau tidak. Jadilah banyak orang tua yang judulnya merasa sayang. Mumpung masih kecil dan anaknya mau dijejali dengan banyak hal, kenapa tidak? Kalau sudah besar mungkin beda lagi ceritanya, ya kan. -- Eh, eh, jangan sedih, gue sendiri juga pernah di masa-masa tidak pernah mau ketinggalan kegiatan ini itu kok, Jengsis… 😋😋

 

Satu waktu, pasti ada kalanya anak akan sampai di satu titik kejenuhan dengan semua agenda yang dibuat oleh orang tua. Mereka mulai mogok belajar, malas-malasan, yang sebetulnya ini sudah menjadi pertanda bentuk kelelahnnya jiwa anak. Alih-alih menyadari tanda ini, orang tua justru merasa anak butuh keseimbangan aktivitas lainnya. Ditambahkannya lagi kegiatan yang mungkin lebih menyenangkan dari sebelumnya. Nah, kalau sudah begini jatuhnya jadi ambisi orang tua bukan sih?

 

Seperti yang dibilang oleh Plato, “Dusta dalam Jiwa”. Jangan-jangan beginilah pendidikan terbaik yang diyakini oleh orang tua selama ini, sudah keliru dari awalnya. Orang tua tidak menyadari dampak dari terlalu banyak paparan yang diberikan untuk diri anak akan berpengaruh dalam karakter dan perilaku mereka. Padahal seharusnya, kedua hal ini terbangun dari dalam diri anak, bukan di luar dari dirinya.

 

Anak itu sebetulnya pembelajar mandiri. Dengan sendirinya anak mempunyai kemampuan mencerna makanannya sendiri kok, tanpa perlu bantuan pihak luar untuk mengunyahkan untuk mereka. Sama seperti tubuh yang butuh asupan terbaik, begitu juga budi yang butuh diberikan nutrisi. Jadi bukan kegiatan se-hompimpa alaeyum gambreng yang dibutuhkan oleh anak, melainkan jamuan nutrisi ide yang sebetulnya diperlukan anak dalam pendidikannya, yang dapat menyentuh jiwanya jika anak sudah meminatinya. Karena anak terlahir sebagai pribadi utuh itulah, maka sejak lahir ke dunia anak sebetulnya sudah memulai pendidikannya. Urusan orang tua ya tinggal menyediakan anak-anak sajian budi yang tercukupi kualitas dan kuantitasnya. Keduanya sama-sama penting, karena budi yang sudah tertanam di dalam diri anak itu harus selalu dibuat bekerja untuk mencerna makanannya sendiri agar fungsinya tidak menjadi gagal.

 

Pasti ujung-ujungnya selalu kembalinya ke laptop, eh ke buku. Kenapa sih harus buku? Ya menurut ngana, apakah materi belajar yang sudah dikunyahkan oleh orang lain mampu melekat lama dalam benak anak? Bukankah anak itu sudah terlahir sebagai pribadi utuh yang sanggup mencerna asupan dengan nutrisi baik? Jadi apalagi kalau bukan buku, yang ditulis dari pemikiran seseorang, yang menjadi jawabannya. Pikiran bertemu pikiran ini yang mampu memantik jiwa dan hasrat anak dalam belajar. Sehingga rasa kenyangnya pun jadi lebih paripurna. 

Wednesday, December 15, 2021

9:49 PM

Ourselves - Kegelisahan dan Istirahat

Ourselves - Kegelisahan dan Istirahat


Bergerak itu naluri alami yang dimiliki oleh setiap manusia. Lihat saja anak kecil yang suka bergerak ke sana kemari, yang kadang membuat orang tuanya menggelengkan kepala dan berujar, “Tidak ada habis-habisnya tenaga anak ini.” Justru begitulah yang sebaiknya terjadi pada anak-anak. Mereka harus dan perlu untuk bergerak. Energi yang terus ada stoknya setiap harinya perlu untuk dikeluarkan. Dan akan lebih banyak hal yang bermanfaat lagi jika anak-anak ini mengeluarkan energinya dengan diajak bergerak ke alam bebas.

 

Namun sayangnya, semakin bertambahnya umur dan menjadi manusia dewasa, bergerak ini tidak lagi menjadi kewajiban yang perlu dilakukan. Slogan “mager” ataupun “kaum rebahan” menjadi sering digaungkan seakan itu sesuatu yang memang benar untuk dijalankan. Padahal sebetulnya, ada kegelisahan dalam diri jika tubuh tidak digerakkan. Tubuh akan merasa tidak nyaman karena ada energi yang tidak keluar dari dalam tubuh. Aliran darah pun tidak mengalirkan oksigen dengan baik. Dan kebiasaan ini jika terus dijalankan, tentu saja akan mendatangkan malapetaka di kemudian hari.

 

Selain tubuh yang tidak nyaman, pikiran pun terganggu. Apalagi jika bukan karena ada oksigen yang mampet mengalir ke otak. Sehingga membuat pikiran ikutan mogok untuk diajak berpikir. Jika sudah begini, jangankan diajak untuk bergerak, diajak mikir berat pun ogah. Kegelisahan dalam diri pun akan menjadi-jadi, ya itu, karena ada kebutuhan bergerak yang kurang dilakukan.

 

Ada yang kurang aktif bergerak, namun ada juga yang senang sekali menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan dalam kesehariannya. Bahkan terlalu aktif, sampai-sampai tidak ada waktu untuk menghela nafas saking sibuknya. Seperti yang terjadi dengan anak-anak yang sering kebablasan dalam bermain, sehingga ingin bermain terus-terusan. Lupa waktu. Selain itu banyak juga orang tua yang gatal melihat anaknya seakan tidak ada kegiatan yang dikerjakan. Anaknya diikutkan berbagai aktivitas ini dan itu, yang lantas lupa menilik kembali sebenarnya apa tujuan utama dalam beraktivitas itu? Jangan heran saat ini banyak sekali anak-anak yang tumbuh tanpa inisiatif mencari kegiatan untuk menyibukkan dirinya sendiri. Dan semakin banyak juga anak-anak, maupun orang dewasa, yang tidak tahan dengan satu kegiatan untuk jangka waktu yang lama.

 

Apakah ini juga menjadi masalah? Tentu ini bisa mendatangkan masalah tersendiri jika menjadi aktif sudah merugikan diri sendiri. Apalagi ketika menjalankan banyak kegiatan ini itu kebablasan hanya untuk memuaskan ambisi semata. Belum lagi jika ada terselip niat untuk menyombongkan diri karena ingin dianggap hebat dan merasa butuh dipuji. Ini sudah menjadi tanda-tanda kegelisahan aktif bergerak yang sudah mendadak ngelunjak menjadi tuan bagi diri kita.

 

Setelah hari-hari yang melelahkan, tubuh pasti memberikan sinyal agar ia diberikan waktu untuk istirahat. Diam dan rehat menjadi pilihan yang bijaksana dalam menanggapinya. Jangan juga menjadi merasa bersalah karena membiarkan tubuh beristirahat. Berikan waktu lah meski sejenak. Namun di samping itu, jangan juga menjadikan istirahat ini sebagai alasan untuk bermalas-malasan. Lalu membiarkan nalar untuk merasionalisasikan segala macam alasan. Nalar kan suka begitu, seringnya mengajak pikiran untuk tawar menawar agar dibenarkan.

 

Ah, susahnya hidup ya. Terlalu aktif, terasa salah. Menjadi malas pun juga salah. Lantas, apa sih sebetulnya yang perlu dilakukan?

 

Kenali diri sendiri menjadi kunci jawabannya. Peka akan kebutuhan tubuh. Jika memang dirasa tubuh sudah terlalu aktif, boleh lah untuk membiarkannya beristirahat. Tentu ketika rehat pun tidak ada rasa menyesal karena memberikan tubuh kesenangan sementara. Tetapi perlu diingat juga, energi di dalam tubuh itu stoknya selalu baru setiap hari dan butuh untuk dibakar, dengan cara digerakkan. Bukan terbuai dengan kemalasan sebagai kaum rebahan tadi.

 

Selain itu, diperlukan juga refleksi diri. Terus menerus bertanya kepada diri sendiri, apakah ini yang kubutuhkan? Apakah hari ini aku sudah cukup bergerak? Apakah hari ini terlalu aktif? Apakah kegiatan ini untuk diriku? Apa yang dicari dari ini? Untuk kepuasaan diriku? Untuk dianggap hebat? Ingin dipuji? Dan berbagai pertanyaan yang hanya mampu dijawab jujur oleh diri sendiri. 


6:13 AM

Menulis Kenangan di Buku Harian

Menulis Kenangan di Buku Harian

 Tahun 2021 diawali dengan memulai kembali rajin menulis di buku harian. Satu kegiatan yang sudah lama banget sebetulnya ditinggalkan. Kira-kira jaman SMA lah masih rajin, tapi sejak masuk kuliah mulai bolong-bolong dan akhirnya bablas sampai sekarang. Sempat sih beberapa kali nulis di laptop atau di binder gitu, eh bertahan hanya sehari dua hari habis itu niatnya hilang ditelan bumi. 😁 Nah sejak meniatkan diri menulis lagi di buku harian, sampai dibela-belain beli buku khusus, mulai deh rajin setiap hari ditulis. Segala apa juga diceritakan di situ. Dari yang seru banget harinya sampai yang receh macam semalam habis mimpi pacaran sama Johnny Depp, yang mukanya masih muda yee bukan yang dah peot seperti sekarang, juga ditulis. Dan kebayang dong waktu nulisnya gue bisa sampe mesem-mesem sendiri gitu. 😂😂


Tujuan memulai kebiasaan menulis di buku harian ini sebetulnya sederhana sih. Pastinya setiap hari itu ada sesuatu yang bisa diceritakan, meski hanya hari biasa aja. Tapi menurut gue, si tipe ekstrovert yang gemar bercerita apa aja dan gak bakal berhenti kalau gak disumpel mulutnya pakai makanan, setiap hari itu punya kenangan tersendiri dan sayang banget untuk dilewatkan momennya, gitu. Mau dibagi ke media sosial, takut yang baca eneg. “Lo rajin banget sih nyetatus, Tep!” Bisa-bisa gue di unfollow berjamaah karena terlalu rajin posting. Selain itu juga, gue mau membebaskan jiwa teman-teman yang saban hari was-was karena takut diteror sama curhatan panjang dari gue. Ditambah lagi, gue juga harus menyayangi nyawa pasangan hidup gue. Kasian kan kalau dia terlalu sering mendengarkan curhatan gue. 😋😋


Dengan rajin menulis di buku harian, sebenarnya gue jadi terlatih untuk menguntai kata menjadi kalimat yang baik sih. Apalagi gue sering banget gagal mensinkronisasikan otak dengan mulut. Kayanya di otak itu sudah pengen ngomong gini, eh begitu diucapkan susunan kalimatnya jadi amburadul. Nah, seiring dengan sering menulis di buku harian, pelan-pelan gue jadi bisa mengatur tutur bahasa gue sehingga terdengar lebih cakep susunannya. Tsaaah. 😜


Disamping itu, gue pernah dengar atau baca di mana gitu, kalau menulis mampu membantu untuk mengurai emosi. Apalagi kalau ditambah menulisnya dengan tangan, bukan dengan laptop. Jadi semacam terapi juga ya menulis buku harian ini. Dan benar loh. Sedikit banyak gue jadi mampu melepaskan emosi tanpa harus membebankan ke orang di luar diri gue. Meski pegal juga sih kadang-kadang kalau lagi curhat itu, secara nulisnya pakai otot yang dah puluhan tahun gak diajak menulis. Wkwkwkwk.😂😂


Sayangnya, melatih konsistensi itu tidak mudah, Sis… 


Menulis buku harian ini pun terpaksa berhenti di bulan Juli, tepat gue terkena Covid dan mulai merasa tidak mampu lagi menjalankan rutinitas menulis buku harian. Tapi sepertinya gue akan kembali lagi menulis, karena gue bisa merasakan begitu banyak hal positif terjadi yang gue dapat dari menulis kenangan di buku harian....


** Ini terakhir kali gue membuat doodling di awal bulan Agustus, tapi tentu aja tidak ada curhatan-curhatan gue yang ditulis setelahnya.