09.21 - Lievell

Wednesday, September 29, 2021

2:44 PM

Ourselves - Negeri Jiwa Manusia

Ourselves - Negeri Jiwa Manusia


Ketika tubuh manusia diibaratkan seperti suatu negeri di dalamnya. Negeri yang mempunyai tanah yang sangat subur. Ada yang sudah tergarap dengan baik sehingga kita dapat menikmati ladang dan perkebunan dengan hasil panennya yang bagus. Tetapi ada juga tanah yang masih ditumbuhi tanaman liar yang sama sekali belum tersentuh oleh siapa pun, sehingga membutuhkan orang lain untuk mengelolanya. Di dasar tanahnya pun juga masih banyak harta karun yang melimpah ruah, siap untuk ditambang dan dikelola dengan baik oleh sang pemilik tubuh.

 

Negeri ini sangat sibuk. Kotanya pun juga sangat ramai. Banyak pabrik-pabrik yang menghasilkan banyak barang untuk kebutuhan sehari-hari warganya. Maka tak heran jika aliran-aliran sungainya selalu dilewati oleh kapal-kapal yang hilir mudik dari satu kota ke kota lainnya untuk berdagang.

 

Negeri ini juga sangat menyenangkan. Memiliki gedung-gedung bagus dan indah. Seringkali lukisan-lukisan dari para pelukis terkenal dipamerkan di galeri gedung ini. Kadang juga para musisi-musisi besar dan hebat juga menggelar sajian musik indah di sana. Tentunya ini dapat dinikmati oleh warga di seluruh negeri.

 

Meskipun negeri ini cukup sibuk dan ramai, tapi tidak terlalu padat. Masih ada ruang untuk warganya menikmati taman untuk bertemu, bersukaria, menari maupun menyanyi. Anak-anak pun mempunyai taman untuk bermain, sehingga gelak tawa mereka dapat terdengar dimana-mana.

 

Negeri ini juga mempunyai perpustakaan yang berisi buku-buku yang ditulis oleh para penulis hebat. Semua orang mempunyai akses penuh untuk menikmati buku-buku tersebut. Seakan-akan para penulis itu datang menghampiri dan duduk di sebelahnya  saat orang-orang itu membaca bukunya.

 

Di negeri ini terdapat juga gereja-gereja yang selalu terbuka bagi orang-orang yang ingin datang sesukanya untuk berbicara kepada Tuhan. Meskipun sebetulnya Dia sering berjalan dan memberi nasihat pada orang-orang di seluruh negeri .

 

Satu hal yang utama, negeri ini mempunyai gunung-gunung yang menawan untuk didaki. Orang-orang dapat menghirup udara di pegunungan itu. Sambil mendaki, orang-orang juga dapat melihat serta mengumpulkan bunga-bunga indah. Tentu ada rasa lelah dalam pendakian ini, tapi semuanya terbayar lunas. Kita dapat melihat pemandangan indah ke seluruh negeri ketika kita sudah sampai di puncaknya.

 


Ketika membaca perumpamaan seperti ini tentu dapat dirasakan bahwa memang jiwa manusia itu sungguh indah ya. Seolah ibu CM ini ingin bicara bahwa setiap manusia itu terlahir dengan potensi besar di dalam dirinya, selayaknya suatu negeri dengan segala potensi di dalamnya. Tentu saja potensi itu ada yang sudah dapat ditemukan dan dikelola sendiri oleh sang pemilik jiwa. Tapi ada juga yang masih belum,  mungkin, karena menunggu kesempatan atau menunggu orang lain untuk membantu menemukannya. Namun, apapun itu, memang kita perlu meyakini setiap potensi itu perlu sekali untuk dicari dan dikelola sebaik-baiknya.

 

Begitu membicarakan tentang sungai dan kota yang sibuk dan ramai, seolah CM ingin menjelaskan pikiran kita juga tidak kalah sibuknya seperti itu. Seringkali pikiran ini melompat dengan cepat dari satu hal ke hal lain. Belum selesai dengan satu pikiran, pikiran lain sudah menyusul.

 

Pikiran menjadi bertambah sibuk ketika perasaan (emosi) ikut nimbrung di dalamnya. Misalkan saja ketika harus mengambil satu keputusan. Betapa sibuknya logika dan perasaan berbicara di dalam pikiran. Ada saja dua hal yang bertentangan untuk dijadikan pertimbangan dalam memilih di setiap keputusan. Kebayang lah ya betapa logika dan emosi seolah sedang berdebat, berdiskusi, teriak-teriakkan di dalam pikiran. Sehingga, kedua hal ini seperti diibaratkan menjadi sungai dan kota-kota yang sering hilir mudik di negeri jiwa manusia itu.

 

Hal kedua adalah tentang perpustakaan dan taman bermain. Kedua hal yang sangat perlu untuk perkembangan akal budi seseorang. Ada kalanya akal budi ini harus diberikan yang terbaik dari yang terbaik. Asupan ide dari buku-buku bermutu yang ditulis oleh para penulis hebat. Seolah penulis-penulis itu datang dan berbicara langsung kepada kita, dalam rupa buku tentunya. Sehingga membuat akal budi terpantik dan terpatri, seperti halnya suatu perpustakaan di jiwa manusia.

 

Namun hidup itu harus seimbang. Akal budi memang perlu diasup dengan sesuatu yang baik, tapi ada kalanya hidup perlu dijalani sedikit santai. Menikmati kesenangan-kesenangan semisal pergi ke bioskop untuk menikmati film, mendengarkan musi dan juga jalan-jalan ke taman bertemu dengan orang lain untuk berbagi cerita tidaklah salah juga kok.

 

Terakhir, ketika Ibu CM membicarakan tentang gereja dan gunung. Ini seperti yang terjadi di kehidupan kita. Tidak ada kehidupan yang lurus tanpa jalan berbatu dan kerikil tajam kan. Ada kalanya hidup kita terasa berat dengan segala ujian kehidupan, selayaknya kita sedang mendaki ke puncak gunung. Dalam perjalanan mendaki ini, sering kali kita merasa lelah, capek dan menyerah. Tapi Dia tidak pernah lelah untuk mendukung kita. Ia ada dimana-mana. Ia selalu siap sedia untuk diajak bicara, diskusi dan juga menjadi tempat bersandar ketika jiwa terasa lelah. Dan, begitu kita sampai di puncak, terbayar sudah segala jatuh bangunnya kita menghadapi segala ujian kehidupan tadi.


Seperti itulah jiwa manusia yang diibaratkan selayaknya suatu negeri yang indah.

Wednesday, September 22, 2021

8:18 AM

Ourselves - Pribadi yang Hebat

Ourselves - Pribadi yang Hebat

 


Apakah kita terlahir dengan potensi yang hebat?

 

Masih dari isi pembukaan buku Ourselves, CM mencoba untuk menjelaskan tentang diri manusia.

 

Pribadi Dualitas

 

Sejatinya setiap manusia yang terlahir di dunia ini mempunyai tendesi untuk menjadi baik dan juga menjadi jahat. Pikirannya mampu berpikir untuk dua hal yang sangat berseberangan. Memunculkan banyak skenario-skenario pikiran seperti layaknya malaikat dan setan yang sedang berperang. Kadang kala pikiran diajak untuk ragu, apakah kita sanggup menjadi pribadi yang baik. Kadang kala juga, kita dibawa ke dalam perasaan yang terombang ambing. Sensitif terhadap keadaan di sekitar ataupun mempunyai rasa malu sekaligus bangga akan diri sendiri. Tugas kita sebagai pemilik dari diri ini adalah melatih pikiran untuk tidak melulu melihat diri secara subyektif tapi mampu berpikir dan berperilaku secara obyektif.

 

Pribadi yang Tidak Dicintai

 

Dalam memasuki usia remaja, kerap kali diri merasa tidak dihargai dan dicintai. Pandangan orang terhadap kita seakan menjadi sangat penting sekali. Segala perilaku dan pikiran kita banyak bergantung pada kacamata pendapat orang lain. Ketika hal-hal seperti ini tidak segera dibereskan, mungkin sekali remaja akan tumbuh  hilang arah seperti layaknya kapal yang berada di tengah lautan. Tidak jelas mau kemana arah tujuan hidupnya. Sungguh tidak heran, ketika dewasa kerap kali pribadinya terlihat menjadi sangat obesesi terhadap diri sendiri. Melihat segala sesuatunya hanya semata untuk menjadikan dirinya hebat.

 

Pribadi Yang Hebat

 

CM ingin menekankan di sini, betapa jiwa manusia itu sangat berharga. Kita perlu belajar untuk mengenal diri kita sendiri lebih dalam lagi. Betul, manusia punya pribadi dualitas yang menuntun kita untuk menjadi pribadi yang tidak baik. Tapi perlu disadari, kita punya kuasa untuk tidak mengikuti keinginan diri menjadi jahat. Belum lagi pikiran kadang membajak kita untuk berpikir kita ini tidak berharga, sehingga memandang diri rendah dan tidak berdaya. Membuat pribadi kita lebih banyak mengikuti pandangan orang lain ketimbang melihat ke dalam diri sendiri.

 

Seperti penulis M. Maeterlinck dari Belgium. Ia melihat sosok Emily Bronte yang hidupnya sangat biasa sekali namun bisa mempunyai jiwa yang hebat. Juga seperti Nelson Mandela, yang hidup dalam pengasingan puluhan tahun dalam sel yang sempit. Bagaimana ia mampu bertahan dan menjadi tidak gila selepas dari kondisi seperti itu? Apa sebetulnya yang membuat pribadi-pribadi itu sanggup mempunyai jiwa yang hebat meski hidupnya tidak dikelilingi oleh sesuatu yang hebat?

 

Seringkali kita memakai segala alasan untuk tidak mau keluar dari pikiran subyektif kita. Merasa lingkungan tidak mendukung kita, merasa tidak adanya kesempatan untuk berubah, merasa hidup ini sudah terlalu kejam terhadap kita, dan segudang alasan lainnya yang membuat kita tidak mau bangkit dan membenahi diri.

 

Kembali ke pertanyaan di atas tadi, apakah benar kita terlahir dengan memiliki potensi yang hebat di dalam diri kita seperti Emily Bronte ataupun seperti Nelson Mandela?

 

Sepertinya, hampir semua orang mempunyai bekal tersebut di dalam dirinya, yang tentunya siap untuk digali kapan saja. Meskipun kita tidak pernah tahu seberapa luas tangki potensi kita ini. Tentu ini karena setiap manusia dilahirkan dengan potensi yang berbeda. Lantas, pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita tahu sudah menggali segala potensi di dalam diri kita?

 

Tentu kita butuh suatu pemantik untuk menggali lebih dalam potensi diri. Kadang pemantik itu disebut dengan pengalaman yang didapat dari tahun-tahun kehidupannya. Bagaimana pengalaman hidup mampu membentuk diri menjadi pribadi yang hebat. Kadang juga pemantik tersebut datang karena atmosfer yang didapat, yang sedikit banyak berperan juga dalam pembentukan diri. Mungkin juga pemantik tersebut datang dalam rupa bacaan yang kita baca. Bacaan yang muncul dari ide-ide hidup yang ditulis oleh penulisnya. Dan bisa jadi juga, pemantik itu sudah terpapar dan telah terserap baik pada saat kita bertumbuh, yang datangnya lewat hukum alam ataupun hukum Tuhan. Apapun itu kita memang tidak pernah tahu bagian mana yang sudah memantik kita untuk bertumbuh.

 

Dalam menumbuhkan potensi diri ini, tentu banyak proses yang dijalani. Memaknai setiap masalah yang datang dan menjadikannya refleksi kehidupan menjadi salah satu proses dalam bertumbuh itu. Namun, bisa saja persepsi kita terhadap masalah yang datang itu berbeda. Cara pandang inilah yang akhirnya membentuk diri kita. Entah itu kita akan tersesat dan terjerumus menjadi manusia yang gagal ataupun gitu-gitu aja. Atau kita mampu melihat masalah itu sebagai proses pembentukan diri. Memang dibutuhkan kemauan yang kuat untuk terus belajar dan bertumbuh menjadi pribadi yang hebat.

 

Lantas, apa jadinya maksud dari pribadi yang hebat ini? Apakah seseorang yang hebat adalah orang yang terkenal dalam hidupnya, atau orang yang sukses menjadi berlimpah dalam harta?

 

Pribadi yang hebat adalah pribadi yang mampu mengenali dan mengendalikan dirinya sendiri lewat potensi yang Tuhan sudah berikan. Memahami bagaimana menggalinya dan menjadi berguna bagi sekitar. Namun tidak mengukur keberhasilan diri hanya sebatas pemenuhan validasi atas kacamata opini orang lain. Dan tentunya untuk menjadi pribadi yang hebat (the Great Self) adalah perjalanan spiritual kehidupan manusia itu sendiri.

 

 


Friday, September 17, 2021

1:24 PM

Philosophy Education - Pendidikan dan Pikiran

Philosophy Education - Pendidikan dan Pikiran

 


Kita ini sudah sesat pikir dengan pendidikan yang kita jalani.

 

Kita menganggap pendidikan yang dikecap oleh anak-anak (kita juga dulu) sudah paling benar. Anak sudah bisa baca-tulis-hitung, sudah dianggap berhasil. Anak bisa naik kelas dengan nilai yang gemilang, sudah jemawa kalau nanti anaknya akan menjadi orang hebat. Anak sudah mahir dalam satu bidang tertentu, merasa yakin anaknya siap menghadapi masa depan.

 

Namun kenyataannya kita sudah keliru. Pendidikan yang dimaksud di sini bukanlah pengajar yang terengah-engah menyajikan materi semenarik mungkin bagi anak didiknya. Bukan juga pengajar yang harus bersusah payah mengunyahkan materi untuk mereka. Tapi pendidikan yang mempunyai konsep yang mengakar sampai ke hakikat budi.

 

Iya, budi yang perlu diasup dengan nutrisi dan ide sebagai makanan sehari-harinya. Pendidikan kita perlu mengaktifkan pikiran. Jadi bukan hanya minat dan bakat saja yang diasah karena dua hal itu dianggap hebat saat ini. Karena kita tidak lagi sedang berlomba untuk menggegas anak untuk sekadar menjadi pencari nafkah saja bagi hidupnya. Tapi kita sedang membuat anak menjadi pribadi yang utuh dan berkembang secara holistik. Sehingga nantinya ia mampu memenuhi potensi dirinya, menjalani kehidupannya dan tentunya melayani masyarakat.

 

Tulisan pembuka Ibu Charlotte Mason dalam serial bukunya yang ke 6, Towards a Philosophy of Education, ini menjadi awal kegalauan teman-teman diskusi Kamisan yang baru saja selesai membaca buku Cinta Yang Berpikir dan memulai perjalan baru dalam memasang tiang pancang pondasi filosofi pendidikan.

 

Monday, September 13, 2021

12:40 PM

Ourselves - Menemukan Diri Sendiri

Ourselves - Menemukan Diri Sendiri

 


Masih jelas di ingatan ketika mengikuti retret, entah di sekolah ataupun ketika di kuliah - karena waktu itu aktif berkegiatan di salah satu kegiatan mahasiswa yang bernafaskan keagamaan. Malam sebelum pulang dari acara tersebut pasti kami diminta berkumpul dalam satu aula besar, lampu dimatikan dan penerangan hanya berasal dari lilin yang kami pegang masing-masing. Hening, dingin, dan temaram sambil diiringi dengan musik yang mengalun pelan. Suasana dibuat syahdu sekali. Suara pembawa acara pun tidak kalah lembut, kata-kata yang mengalir dari mulutnya sedikit demi sedikit membuat kami yang duduk sambil menunduk di sana terbawa dalam larutan perasaan. Menggiring kami ke dalam ingatan-ingatan dosa yang pernah kami lakukan, khususnya terhadap orang tua kami.  Tidak lama kemudian, terdengar sayup-sayup segukan tangisan seseorang entah di mana di ruangan itu. Disusul oleh teman sebelah yang juga tidak kalah sesegukannya dari suara sebelumnya, membuat pertahanan diri sendiri pun jebol dan ikut terlarut dalam suasana. Sehingga malam itu adalah malam dimana kita berjanji untuk tidak lagi mengulang kembali dosa yang sama terhadap orang tua kita. Berjanji untuk menjadi anak yang baik, tidak mau melawan orang tua, tidak mau berkata-kata jahat lagi kepada orang tua dan segala macam janji yang berharap dapat dipegang untuk seumur hidup. Lalu, sehari dua hari berlalu, seminggu berlalu, apakah janji yang pernah kita tancapkan di hati saat itu mampu kita pegang dan buktikan?


Refleksi singkat ini sebetulnya diangkat oleh seorang teman dalam diskusi mingguan kami di CM Jakarta. Ini jadi mengingatkan ya, bahwa kita ini erat sekali dibentuk dalam sentuhan perasaan emosi yang sering diobok-obok macam Joshua kecil lagi ngobok air bareng Tukul Arwana saat itu dengan riang gembira. Entah lewat cerita, entah lewat lagu, tapi sering banget membuat kita jadi terjatuh dalam larutan perasaan yang mendalam. Ikutan sedih, lalu mewek sejadi-jadinya. Dibuat nelangsa banget deh perasaannya. Kalau dah begini tuh jadi keinget sama drakor deh, entah udah berapa ember itu kalau dikumpulin air mata gue gara-gara nonton drakor. Huahahahahahha.


Lantas apakah segala hal yang disentuh dengan perasaan emosi ini mampu bertahan lama?


Coba diingat kembali, apakah sepulang dari retret lalu kita menjadi manusia yang baru? Iya, tapi tidak bertahan lebih dari seminggu lalu kita akan kembali ke habit lama yang memang sudah mengendap sempurna di dalam diri kita. Ya gak sih?


Banyak hal di kehidupan kita ini kerap sekali dibuat dengan mengedepankan ide-ide yang membuat orang lebih tersentuh secara emosi. Perasaannya yang dimainkan. Membuat logika jadi malas untuk diaktifkan. Ataupun dimatikan sama sekali. Seperti halnya ketika berbicara tentang dosa, “Tidak boleh bohong, nanti dosa dan masuk neraka loh.” Lagi-lagi situasi dibuat untuk menyentuh ke perasaan bahwa ‘berbuat dosa itu menyeramkan loh. Jadi jangan sekali-kali berbuat dosa kalau kamu tidak mau masuk neraka.’ Lalu, ketika anak mulai bertanya, “Memangnya neraka seseram apa, Ma?” Karena belum pernah masuk dan nyicipin neraka seperti apa, orang tua pun tidak bisa menjawabnya. Hanya mampu menerapkan bahwa jangan pernah sesekali bohong kalau tidak mau masuk neraka dan titik, jangan berdebat lagi soal itu. Akhirnya, anak-anak pun mencoba untuk tidak melakukan kebohongan karena ada rasa takut, bukan karena diajak berpikir lebih dalam menggunakan logikanya.


Emosi (perasaan) dan logika. Dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya erat dan berkaitan untuk dijalankan bersama. Tidak bisa mengandalkan emosi saja tapi lupa mengajak logika untuk bekerja. Bahasan yang tampak sederhana tapi sebetulnya cukup mendalam ya. Begitulah awal obrolan kami ketika membuka halaman pertama buku Ourselves, tulisannya Ibu Charlotte Mason yang ditulis di awal tahun 1900an itu. Ini adalah buku Volume ke 4 dari 6 seri bukunya. Dalam buku ini akan banyak mengajak kita untuk kenal lebih dalam tentang diri kita sendiri yang diibaratkan layaknya pemerintahan kota. Ini memang buku jadul, tapi masih sangat erat kaitannya dengan kehidupan kita sampai saat ini.


Tunggu aja tulisan berikutnya yaaaa……


Sunday, September 5, 2021

7:08 AM

The Biology of Belief - Belajar dari Cawan Petri

The Biology of Belief - Belajar dari Cawan Petri


Pujian Bagi Sel-Sel Pintar dan Murid-Murid Pintar


Di Pulau Karibia, Bruce menjadi salah satu dosen pengganti di salah satu universitas kedokteran. Pada saat itu, ia menjadi dosen pengganti ke 4 dalam satu semester. Kebayang mahasiswanya gak paham dengan apa yang dipelajarinya karena dosen-dosen yang bergantian keluar di sepanjang semester. Ketika ia memberikan tes ke mahasiswanya, sudah dapat dipastikan mereka tidak paham dan tidak bisa mengerjakannya. Melihat kesusahan mahasiswanya ini, Bruce seperti mendapat pencerahan untuk membantu mereka. Ia sendiri sadar kalau ia akan ekstra banget mengajar mereka, tapi entah mengapa ia justru merasa semangat.

 

Mata kuliah yang ia ajarkan ke mahasiswanya ini adalah ilmu Histologi yang erat kaitannya dengan sel. Ini seperti mengingatkan Bruce ke masa kecilnya, dimana ia begitu sangat tertarik ketika ia melihat sel-sel tersebut dari mikroskop. Lalu, ia menyamakan sel-sel itu seperti miniatur manusia yang mirip secara fisik maupun perilakunya. Namun sayangnya, ide menyamakan ini, antropomorfisme, tidak sejalan dengan para peneliti lainnya. Mereka menganggap menyamakan sel dengan manusia seperti dosa yang besar yang merendahkan derajat manusia.

 

Sebetulnya Bruce tidak salah-salah banget karena kenyataannya memang manusia adalah organisme multiseluler yang terdiri dari triliunan sel individu. Ia lalu mengajak kita untuk melihat dari perspektif yang menarik. Sel yang hidup di dalam tubuh sama seperti  kita yang hidup bersama dengan triliunan manusia lainnya di bumi. Serupa tapi dalam bentuk yang tidak sama.

 

Menariknya lagi adalah setiap sel yang ada di dalam tubuh manusia mempunyai fungsi dan tugas masing-masing. Sel-sel ini pun sangat pintar. Misalkan sel-sel tersebut diangkat keluar dari tubuh manusia, mereka bisa beradaptasi dan bertahan dengan caranya masing-masing. Selayaknya manusia yang bisa mengenal lingkungannya dan beradaptasi seiring dengan waktu.

 

Selain itu, setiap sel ini juga mampu belajar dari pengalaman dan mampu menyimpan memori. Seperti ketika ada sel baru masuk ke dalam tubuh. Sel imun langsung mengenali sel baru yang masuk. Menandai ada virus baru yang akan merusak jaringan di dalam tubuh. Antibodi langsung bekerja sebagai pertahanan pertama. Sel tersebut langsung menyimpan memori. Jika sewaktu-waktu datang kembali, maka sel dengan cepat sudah mengenali dan mampu mengatasinya. Ini bukti bahwa sel memang pintar.

 

Sayangnya, belakangan ini manusia justru mendapat satu pemikiran baru bahwa mikroorganisme yang bernama bakteri harus dibunuh dengan sabun anti bakteri ataupun antibiotik. Keduanya ini sangat tidak pandang bulu, mematikan bakteri yang memang berbahaya bagi tubuh sekaligus yang tidak berbahaya. Mengabaikan bahwa ada bakteri yang juga penting bagi tubuh.

 

Contohnya saja bakteri di sistem pencernaan. Tentu ada bakteri-bakteri yang berguna untuk menyerap vitamin dan mengolah makanan di dalam usus. Tapi karena belakangan ini juga semakin marak tren makanan yang dimodifikasi ini itu, maka bakteri di dalam usus pun mulai meronta-ronta dan butuh pertolongan. Sayangnya, pertolongan pun datang bukan dari mengubah pola makan tapi menggantinya dengan obat-obatan yang dianggap ampuh. Justru yang terjadi adalah membuat sistem pencernaan semakin amburadul.

 

Penjelasan-penjelasan Bruce yang panjang lebar betapa miripnya sel dengan manusia ini banyak membantu  mahasiswanya paham dan berhasil mengerjakan tes ulang yang diberikan Bruce, dan lulus dari mata kuliahnya.


Sel hidup berdampingan dengan kita secara kasat mata. Tidak hanya ada di dalam tubuh kita, tapi mereka juga ada di sekitar kita. Di alam, tumbuhan, hewan. Jumlahnya pun sudah pasti melebihi jumlah populasi manusia. Tapi sedikit banyak ekosistem mereka terganggu juga. Misalnya saja pemanasan global yang saat ini terjadi di bumi. Penggundulan hutan yang membuat lapisan ozon semakin menipis salah satunya. Tentu membuat sel terus berevolusi mengikuti situasi dan kondisi.

 

Dan perlu diingat bahwa penyebab utama dari semuanya ini siapa lagi kalau bukan ulahnya manusia itu sendiri. Sungguh miris.

 


Friday, September 3, 2021

12:11 PM

Piranti Bernama Nalar, Kehendak dan Nurani

Piranti Bernama Nalar, Kehendak dan Nurani

 

 

Siapa yang mampu menolak diskonan? Rasanya hampir tidak ada ya.

 

Seperti gue yang belakangan ini tergiur dengan promo diskonan dari merchant online. Padahal bisa dibilang gue bukan penggemar pesan makanan secara online selama ini loh. Bisa dihitung dengan jari kayanya pesan makanan via online tuh. Pilihan selalu jatuh ke masak sendiri ataupun datang langsung ke restorannya. Bukan anak jajan online lah pokoknya. Jadi jangan pernah nanya resto apa atau makanan apa yang lagi hype saat ini sama gue ya. :D

 

Lalu, ada satu waktu dimana gue tergiur banget buat ikutan membeli makanan cepat saji lewat promo resto di online. Bayangkan satu ember ayam yang isinya 9 potong, yang harganya biasanya seratus ribuan ke atas, setelah lewat promo mendadak harganya bisa sekitar 50rban sampai 75rban. Besar kecilnya diskonan yang didapat itu tergantung seberapa besar iman dan amal ibadah lo sama aplikasi tersebut. Semakin sering lo belanja di sana, maka diskonan pun semakin besar. Nah, kalau dah begini siapa sih yang gak tergiur? Langsung deh gue cepet-cepet ikutan beli dan pejeng hasil diskonan gue di IG story. Jelas, ini mah dalam rangka pamer ceritanya! Hohohohoo…

 

Selesai sampai di situ? Tentu tidak.

 

Hari berikutnya, ada promo lainnya lagi. Serupa, dapat potongan diskon gila-gilaan sehingga harga makanan bisa jadi kurang dari separuh, dan ini sudah berikut ongkos kirimnya pula. Coba, siapa yang gak ngiler kalau dah begini?! Hampir setiap hari kerjaan gue mantengin dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya demi kepuasaan batin melihat yang diskonan. Waktu habis cuma buat sekrol sana, sekrol sini. Iyes, kurang kerjaan banget emang gue. Dan gak jarang juga hasil sekrolan itu dituntaskan, alias beneran jadi belanja. Duh, jangan ditanya betapa bangga akan pencapaian diskon yang gue dapatkan setelah makanannya datang. :D :D

 

Tapiiii…..

 

Apa efeknya setelah ini? Tentu, selain kantong mulai terkuras karena jadi rajin transfer ke merchant-merchant itu, efek lainnya adalah bertambahnya berat badan dan eksim yang semakin gatal di kaki. Gimana nggak, makanan yang dijual kan pasti erat banget sama terigu, manis dan gurih. Jelas banget gue gak bisa makan terigu, eksim jadi gatal dan pengen digaruk terus. Manis, kalau udah manis orangnya ditambah makan manis, ya jadi lebih kan. Makanya berat gue gak turun-turun, malah jadi nambah karena manis gue kelebihan. Kalau gurih, duh, ini mah jangan ditanya lagi. Semua makanan yang dibeli di luar, apalagi fast food dan kekinian dah pasti gurihnya tiada duanya deh. Bikin kerongkongan gatel dan pengen minum terus.

 

Yah, begitulah yang terjadi ketika nalar secara impulsif membenarkan kelakuan kita. Tanpa menilik lagi, apakah yang gue lakukan benar atau tidak, tapi membenarkan bahwa diskonan ini nyata loh. Murah loh. Sayang kalau gak beli. Kapan lagi. Nyesel loh nanti. Dan segudang alasan untuk membenarkan argumen kalau gue memang harus belanja makanan dari resto yang promonya gila-gilaan itu. Lupa dengan efeknya, lupa dengan kantong bolongnya, lupa sama berat badan yang naik terus. Lupa semua-muanya.

 

Membahas soal nalar ini sangat terkait erat dengan apa yang gue bahas kemarin bersama dengan teman-teman diskusi buku Cinta Yang Berpikir. Selama 6 bulan terakhir, gue bersama dengan belasan ibu-ibu (dan seorang kawan yang dengan sadar menyemplungkan diri masuk ke dalam diskusi kami padahal menikah saja belum. Keren emang kawan gue ini!) membahas banyak hal yang berkaitan dengan filosofi pendidikan ala Charlotte Mason. Sampailah kami di bab terakhir dan pembahasannya pun semakin mendalam. Kami membahas tentang bagaimana Kehendak, Nalar dan Hati Nurani mempunyai peran yang sangat penting sekali dalam setiap kondisi dan situasi di kehidupan kita.

 

Ketiga piranti ini menjadi pusat dalam menuntun kita untuk berpikir dan bertindak. Nalar contohnya. Ia adalah piranti paling netral. Ia bekerja ketika akal pikiran kita menuntunnya ke suatu ide. Misalnya seperti promo tadi. Sifatnya sebetulnya netral bagi gue. Tapi ketika ada keinginan kuat untuk mengikuti nafsu, maka nalar seolah membenarkan banyak alasan sehingga gue pun jatuh dan terbuai dengan promo tersebut. “Gak apa-apa lah beli, kan sesekali.” “Kapan lagi, kan jarang belanja online.” “Si Boy pasti suka deh kalau gue beliin.” Lihat, segitu banyak alasan untuk membenarkan bahwa promo ini “ya harus dibeli!’ Nalar diarahkan untuk condong menyetujui alasan-alasan yang dikemukakan.

 

Ini sekadar contoh masalah promo. Sederhana memang, tapi semakin sering nalar diajak membenarkan segala alasan, maka akal pikiran kita lama kelamaan tidak dapat lagi berpikir mana yang benar, mana yang perlu, mana yang butuh, dan mana yang tidak. Garisnya menjadi tidak kentara atau bahkan menjadi hilang sama sekali. Sehingga tidak dapat lagi memutuskan hal-hal yang prinsipil, melainkan menjadi ikut dengan kerumunan. Ketika ada promo makanan A enak, semua akan berbondong-bondong membeli makanan tersebut. Ketika ada diskon tas bermerek atau skincare ternama, semua akan membeli karena takut tidak menjadi sama dengan yang lain.

 

Setelah itu, ada Kehendak yang menjadi teman dari nalar. Kehendak ini terbagi menjadi dua, yang aku ingini (I want) dan yang aku kehendaki (I will). Mungkin terkesan sama ketika membaca keduanya. Tapi sebetulnya ini berbeda. Ketika berbicara tentang ‘I want’ – yang aku ingini, secara tidak langsung inilah yang membenarkan semua alasan dari nalar ketika gue terbuai dengan promo tadi. Lantas, apa bedanya dengan ‘I will’ – yang aku kehendaki? Sebuah fakta bahwa ketika gue terbuai dengan promo tersebut banyak efek yang terjadi setelahnya – kantong bolong, eksim menjadi, berat badan naik. Gue abai dengan fakta ini karena masih mengikuti keinginan (I want) tadi itu tapi melupakan apa yang seharusnya gue kehendaki (I will) – berhenti membeli makanan promo online karena sudah tidak sesuai dengan prinsip (kantong bolong karena kebanyakan jajan) dan eksim menjadi-jadi (gatal-gatal itu gak enak banget tau!!) plus sebel banget melihat timbangan yang meroket.

 

Teman berikutnya adalah Hati Nurani. Semua orang sudah pasti tahu lah apa itu hati nurani. Tapi jika kita  bicara tentang promo online tadi, dimana kaitannya dengan hati nurani? Semakin sering belanja online untuk sesuatu yang bersifat ‘I want’ saja, maka otomatis gue mengeluarkan uang untuk sesuatu yang sebetulnya tidak baik untuk kesehatan jantung Bapak Ali dong ya. Dia semakin deg-deg serrrr karena uangnya terpakai demi kepuasaan batin istrinya yang doyan nyemil gak jelas ini. Ditambah lagi dimana rasa kasih sayang gue terhadap diri gue sendiri. Nyaman memangnya melihat kaki penuh luka akibat digaruk-garuk karena memenuhi hasrat untuk mendapat diskon besar?

 

Betapa ketiga piranti ini menjadi sangat penting dalam kehidupan kita, tidak dapat dipisahkan ataupun bekerja sendiri-sendiri. Ketika ada orang yang hanya mengandalkan keinginan yang kuat dan berdaya nalar tapi tidak punya hati nurani, maka orang ini akan menjadi koruptor, maling, copet, tukang boong, tukang tipu – karena segala cara disahkan aja buat orang ini. Lalu, ketika ada orang yang punya kehendak kuat dan berhati nurani, maka orang ini bakalan capek sendiri. Sering banget terkuras energinya karena tidak cukup pintar untuk menemukan solusi. Dan yang terakhir, ketika ada orang yang hanya punya nalar dan berhati nurani, akhirnya tumbuh jadi orang yang frustrasi karena gak cukup gigih untuk menyelesaikan masalah-masalah hidupnya.


Jadi kebayang ya hubungan Nalar, Kehendak dan Hati Nurani ini. Mereka bertiga itu sudah seperti semacam sohib – sohiiiib, angkatannya ketauan banget yeeee – dari sejak lahir, mungkin. Dan ketiganya ini perlu banget diasah di dalam diri kita maupun anak-anak kita. Untuk hal kecil semacam promo online aja gue bisa – aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi – gitu, apalagi anak-anak yang masih belum mengerti banyak di kehidupan mereka. Tentu ini jadi tugas kita sebagai orang tua ya untuk membantu mereka melatih ketiga piranti ini. Bukan hanya mereka, kita pun juga perlu dilatih. Supaya tidak ada lagi korban-korban promo diskonan makanan seperti gue. #eh