Kita ini sudah sesat pikir dengan pendidikan yang kita
jalani.
Kita menganggap pendidikan yang dikecap oleh anak-anak (kita
juga dulu) sudah paling benar. Anak sudah bisa baca-tulis-hitung, sudah
dianggap berhasil. Anak bisa naik kelas dengan nilai yang gemilang, sudah
jemawa kalau nanti anaknya akan menjadi orang hebat. Anak sudah mahir dalam
satu bidang tertentu, merasa yakin anaknya siap menghadapi masa depan.
Namun kenyataannya kita sudah keliru. Pendidikan yang
dimaksud di sini bukanlah pengajar yang terengah-engah menyajikan materi
semenarik mungkin bagi anak didiknya. Bukan juga pengajar yang harus bersusah
payah mengunyahkan materi untuk mereka. Tapi pendidikan yang mempunyai konsep
yang mengakar sampai ke hakikat budi.
Iya, budi yang perlu diasup dengan nutrisi dan ide sebagai
makanan sehari-harinya. Pendidikan kita perlu mengaktifkan pikiran. Jadi bukan
hanya minat dan bakat saja yang diasah karena dua hal itu dianggap hebat saat
ini. Karena kita tidak lagi sedang berlomba untuk menggegas anak untuk sekadar
menjadi pencari nafkah saja bagi hidupnya. Tapi kita sedang membuat anak
menjadi pribadi yang utuh dan berkembang secara holistik. Sehingga nantinya ia
mampu memenuhi potensi dirinya, menjalani kehidupannya dan tentunya melayani
masyarakat.
Tulisan pembuka Ibu Charlotte Mason dalam serial bukunya
yang ke 6, Towards a Philosophy of Education, ini menjadi awal kegalauan
teman-teman diskusi Kamisan yang baru saja selesai membaca buku Cinta Yang
Berpikir dan memulai perjalan baru dalam memasang tiang pancang pondasi
filosofi pendidikan.
No comments:
Post a Comment