09.20 - Lievell

Sunday, September 27, 2020

4:36 PM

Tua itu Pasti

Tua itu Pasti


Beberapa waktu lalu, seorang kawan yang gandrung juga dengan Drama Korea (drakor) menyodorkan satu judul yang menurutnya bagus dan dijamin gue pasti suka. Awalnya gue kurang tertarik dengan anjuran si kawan ini yang mengajukan “Dear My Friends” sebagai drakor yang wajib gue tonton. Sampai akhirnya di obrolan kami yang kesekian kalinya, dia menanyakan , “Lo dah nonton blom drakor yang gue bilang waktu itu?!” Jreeeeng!

 

Sebetulnya apa sih yang menarik dari kawanan nenek-nenek yang sudah berteman sejak usia sekolah ini sampai jadi drakor yang menurut si kawan ini wajib gue tonton? Akhirnya gue pun penasaran dan gue sempatkan waktu beberapa hari lalu untuk menontonnya.

 

Drakor satu ini berkisah tentang 5 nenek yang sudah bersahabat sejak usia sekolah. Mereka adalah Hee Ja, Joong A, Nan Hee, Young Won dan Choong Nam yang berumur kisaran 70 tahunan. Ini adalah kisah mereka berlima yang berjalan mengarungi waktu yang sudah tidak muda lagi dengan segala permasalahan hidupnya dan berharap kisah mereka ini dituliskan dalam satu buku oleh anaknya Nan Hee yang bernama Park Wan. Dia memang seorang penulis dan ibunya kepingin sekali kisah hidup teman-temannya ini bisa jadi memori untuk mereka sebelum mereka meninggalkan dunia ini. Tentunya tidak mudah untuk si ibu membujuk anaknya yang merasa akan bosan sekali harus mengintil kemana para nenek ini berkegiatan. Lucunya, tanpa ia sadari ia sudah masuk ke dalam permasalahan hidup mereka dan selalu terkait dalam setiap kisahnya mereka.

 

Cerita di dalam drakor ini memang berkisah tentang persahabatan mereka berlima, tapi porsi lebih banyak berkisah tentang kehidupan Nan Hee dan keluarga, Joong A dan keluarga serta Hee Ja dan keluarga. Sisanya diikut sertakan tapi tidak begitu banyak porsinya. Seperti Young Won yang adalah seorang aktris yang mengidap kanker payudara stadium awal. Ia adalah teman yang baik yang selalu menolong kawan-kawannya ketika mereka membutuhkannya, meskipun di awal ia diceritakan mengetahui hubungan gelap antara suami Nan Hee dengan temannya tapi tidak memberitahukan Nan Hee sebagai sahabatnya. Mereka bermusuhan lama tetapi akhirnya hubungan mereka membaik di cerita ini.

 

Peran pembantu lainnya, Choong Nam adalah nenek yang hidupnya melajang sampai tua dan sibuk menghidupi saudara, keponakan dan cucu yang membutuhkan uangnya. Ia ceritanya seorang yang kaya dan periang, suka sekali melucu nenek ini dengan suara yang serak-serak basah. “Di antara kalian yang paling menderita sakit itu aku. Tahu kenapa? Karena aku yang paling diberikan kesehatan yang baik dan umur yang panjang.”  Lucunya lagi, si nenek satu ini masih sekolah dong. Dia belum lulus SMA dan hobinya nyontek PR temennya karena ia terlalu sibuk mengurusi teman-teman tuanya. Ampun deh, kocak banget!

 

Nan Hee adalah seorang ibu tunggal yang diselingkuhi oleh suaminya 30 tahun lalu. Sejak itu ia tidak pernah menikah lagi dan memilih hidup berdua dengan anaknya, Park Wan, dari hasil usaha restoran kecil-kecilannya. Nan Hee juga masih memiliki keluarga lengkap. Ada ibu yang sudah berumur hampir 90 tahun dan seorang ayah yang usianya tentu gak berbeda jauh dari Ibu. Ini lucu deh, si Ayah ini di usia tuanya selalu mengintil kemana ibunya berjalan, berbalik dengan ketika mereka masih muda dimana si Ibu yang dulunya selalu mengikuti Ayah kemanapun karena si Ayah hobi selingkuh. Justru di usia tuanya, si Ayah jadi sibuk mengikuti kemanapun Ibu berjalan, matanya pun tidak pernah lepas dari si Ibu sambil terus membawa tabung oksigen yang terhubung dengan hidungnya dan juga gantungan huruf-huruf Hangul untuk dipelajari si Ayah. Ayahnya dikisahkan tidak bisa membaca sampai usia senja itu tapi masih punya semangat untuk belajar.  Jadi suka ada adegan kocak-kocak berantem standar ala kakek nenek gitu.

 

Nan Hee juga memiliki seorang adik yang umurnya jauh sekali dengannya, malah bisa dibilang hampir seumur anaknya yang sudah memasuki umur 40 tahun. Adiknya ini memiliki satu kaki yang lumpuh dan harus menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan. Nan Hee ini merasa memiliki tanggung jawab berat, ia merasa harus menghidupi keluarganya. Padahal sebetulnya keluarga mereka mempunyai lahan perkebunan yang luas. Eh iya, yang bikin tercengang, si Ibu yang berusia 90 tahunan itu kalau mau berpergian kemana-mana naik ATV dong. Keren banget yak!! :D

 

Hubungan Nan Hee dan anaknya, Park Wan, sering banget berantem sebetulnya. Mereka hidup terpisah dan saling mengunjungi satu sama lainnya. Biasanya sih lebih banyak Nan Hee yang suka mengunjungi anaknya sambil membawakan stok-stok makanan untuk anaknya. Si Ibu yang sudah tahu kode password nomor pintu si anak suka main seenaknya aja datang tanpa berkabar dulu ke Park Wan. Sedangkan Park Wan merasa bĂȘte karena merasa tidak memiliki privasi, apalagi ia takut ketahuan ibunya kalau ia merokok. Ia takut ibunya melihat bungkus-bungkus rokok di tong sampah rumahnya. Beberapa kali ia harus mengganti kode password rumahnya dan ini malah bikin si Ibu jadi bĂȘte juga, ujung-ujungnya berantem. Ya gitu deh ya hubungan ibu dan anak perempuannya. Kalau dekat bau ,menjauh justru wangi. Ketika sudah cukup lama menjauh, begitu ketemu justru berantem. Adegan-adegan berantem ibu dan anak ini agak mirip-mirip dengan kisah gue juga dengan nyokap. Hahahah.

 

Park Wan sendiri adalah seorang penulis yang bekerja di kantor milik mantan pacar pertamanya yang masih cinta sama Park Wan tapi si cowok itu sebetulnya sudah berkeluarga. Ada sempat salah paham si Ibu karena merasa anaknya ini sudah merusak rumah tangga orang. Wah habis deh Park Wan digebukin ibunya. Ibunya tidak mau kalau anaknya berakhir menjadi pelakor seperti yang terjadi dengan kisah hidup ibunya yang diselingkuhi. Paham banget ini rasanya jadi si ibu.

 

Park Wan memiliki seorang mantan pacar yang gantengnya amit-amit, duh, gue demen banget sama (satu-satunya yang ganteng dan muda di sini) cowo ini. Sayangnya si mantan pacar ini, Yeon Ha, lumpuh kedua kakinya dan terpaksa harus memakai kursi roda. Yeon Ha tinggal di Slovenia, tempat mereka pernah menjalin kasih dan terpaksa Park Wan meninggalkan Yeon Ha karena lumpuh. Ini agak egois ya dilihatnya. Kenapa Park Wan dengan tega meninggalkan Yeon Ha setelah lumpuh?

 

Ajaran Ibu itu begitu kuat dan mengakar hebat di benak anak ya. Nan Hee selalu bilang ke Park Wan untuk tidak menikah dengan seorang pria lumpuh seperti pamannya Park Wan karena menyusahkan. Jadi begitu Yeon Ha lumpuh, tanpa pikir panjang Park Wan pun meninggalkan Yeon Ha dan kembali ke Korea. Hubungan cinta ini jadinya ribet sendiri. Mereka berdua masih saling sayang, tapi karena ajaran ibu untuk tidak menikahi seorang pria lumpuh terus terngiang-ngiang di Park Wan alhasil membuat mereka berdua jadi (kadang)saling menyiksa satu sama lain dengan kata-kata. Nyesek sih ini!

 

Karakter nenek kedua adalah Hee Ja. Ia adalah nenek yang melankolis dan memiliki tanda-tanda demensia di awal cerita. Suaminya meninggal di dalam lemari baju dalam keadaan tertidur, rumornyaa karena pintunya ditahan dengan sendok oleh Hee Ja sehingga suaminya tidak bisa keluar dari lemari baju dan mati lemas kurang oksigen. Jadilah ia hidup menjanda dan tidak ada anaknya yang mau menampungnya. Ia pun hidup sendirian di rumahnya yang cukup besar. Hanya satu anaknya yang mau mengurusnya, Bong Yi, tapi ini pun tidak tinggal serumah dengan Hee Ja.

 

Ada satu waktu ketika Hee Ja mau mengganti lampu bohlam yang mati. Pelan-pelan ia naik ke atas kursi, membuka lampu bohlam yang mati lalu turun dari kursi. Ia mengambil lampu bohlam yang baru dan pasang sarung tangan supaya tidak kesetrum waktu memasang bohlam yang baru. Waktu nonton ini gue tahan nafas takut terjadi sesuatu dalam adegannya, dan ternyata doski berhasil menggantinya sampai kembali turun ke lantai dong. Eh, pas jalan mundur sedikit tiba-tiba kakinya terkilir dan tanpa disangka lampu bohlam yang ia pasang juga pecah. Haiya, bisaan aja ini adegannya dibikin kaget pemirsah.

 

Karena tangan dan kakinya berdarah, Hee Ja mencoba menelpon anaknya, Bong Yi, untuk datang ke rumah membantunya. Bong Yi marah karena ia lagi sibuk di bengkel dan dari semalam belum tidur, ia pun minta ibunya menelpon ambulans saja. Mungkin karena ada rasa iba atau sayang dengan ibunya, meski dia menolak di awal tapi tiba-tiba dia sudah datang ke rumah ibunya dan menolong ibunya yang tidak berdaya di lantai dengan darah dimana-mana. Setelah beres, Bong Yi tidur di lantai dan disusul oleh ibunya yang ikut tiduran di lantai sambil dipeluk Bong Yi. Bong Yi pun bilang, “Dulu sewaktu aku kecil, Ibu suka memelukku sampai aku tertidur di sini.” Whoaaaah, gue mewek dong. (pas nulis ini pun mata gue ngembeng :P)

 

Dalam kisahnya ini, ada seorang kakek yang merupakan cinta pertamanya Hee Ja yang kembali hadir. Ia seorang pengacara dan masih segar bugar banget karena hidupnya sehat. Si Kakek ini, Seong Jae, suka mengikuti Hee Ja kemana-mana. Awalnya dari gereja, setiap Hee Ja ke gereja pasti ada si Kakek ini. Lalu lama-lama mulai PDKT lagi sampai sempet ngajakin jalan-jalan pakai strategi nginep dan kamarnya hanya bisa satu yang ditempati. Bisaan banget emang nih kakek.  Lucunya si Kakek ini dicerita sini adalah playboy. Ampun dijeeee, udah tuwir tapi masih suka tebar pesona ke dua nenek, Hee Ja dan Choong Nam. Ini banyak adegan lucu juga di percintaan segitiga mereka. Bikin ngakak. Yang lucunya tentunya si nenek Choong Nam dengan suara serak-serak basahnya dan ekspresi muka yang datar aja.

 

Berpindah ke karakter nenek ketiga di cerita ini, Joong A. Nenek satu ini menikah dengan seorang suami yang ampun pelitnya gak ketulungan. Nonton TV dengan lampu menyala aja diomelin karena dianggap pemborosan. Belum lagi suaminya ini, Seok Gyun, hobinya menyuruh-nyuruh layaknya bos dengan bawahannya dan semua serba dilayani. Sampai satu ketika Joong A gak tahan lagi dan milih bercerai dengan suaminya. Cerai tanpa surat, alias kabur aja gitu dan tinggal di satu rumah kecil. Suaminya  tadinya merasa masih di atas angin, masih berpikir kalau istrinya tidak akan mungkin meninggalkan dia sendirian. Suaminya masih suka marah-marah dan menelpon istrinya untuk pulang ataupun minta anak dan teman-teman Joong A datang untuk masak dan beberes rumah. Teman-temannya mau ya bantuin, kalau gue sih ogah! Hahaha.

 

Akhirnya, si kakek ini tersadar akan sikapnya. Dia pelan-pelan belajar untuk masak nasi, masak untuk dirinya, cuci piring sampai cuci baju sendiri. Di kulkasnya ada kertas yang tulisannya “Menjadi Suami yang Baik”, yang sengaja diletakkan di situ oleh Choong Nam. Nenek satu ini idola gue banget deh. :D Akhirnya si kakek sifatnya dan sikapnya berubah, jadi lebih mandiri dan jadi lebih perhatian ke istrinya seperti kertas yang ditempel itu, meskipun kadang masih ada juga kelakuan ajaibnya. Ya namanya udah menua, tentu gak segampang membalikkan telapak tangan ya untuk berubah.

 

Kisah dari Joong A lainnya adalah ketika ia mengetahui anaknya yang pertama menjadi korban KDRT suaminya yang merupakan seorang profesor di universitas terkenal. Joong A merasa nyesek melihat anaknya yang mukanya biru-biru akibat digebukin dan tangan yang diperban karena patah. Padahal bisa dibilang Joong A ini rutin mengunjungi rumah anaknya dan selalu melihat si anak ini tidur di kasur sambil membelakangi Joong A, sampai-sampai Joong A sebel dan bilang dia anak pemalas karena keenakan sebagai istri hanya tiduran terus. Padahal, si anak lagi menutupi muka dan badannya yang lebam-lebam karena kelakukan suaminya. Ia takut dengan ancaman suaminya kalau sampai ibunya tahu.

 

Gue sedih banget dengan adegan ini. Gue seperti larut dengan perasaan ibu yang akhirnya tahu kalau anaknya digebukin orang sampai patah tulang. Menyayat hati banget. Syukurnya si anak ini tidak menaruh dendam dengan ibunya, Joong A, yang kadang suka kasar secara verbal mengomeli si anak yang dianggap manja ataupun tidak mengangkat telepon ketika si anak minta bantuan ibunya. Huhuhu. Untungnya si anak tersadar untuk kabur dari rumahnya dan pergi jauh sampai ke Amerika untuk kehidupan lebih baik.

 

Diantara kelima kawan ini, Joong A dan Hee Ja adalah kawan paling akrab. Mereka saling sayang satu sama lain dan saling support. Pernah di satu episode, karena Joong A sebel dengan suaminya, ia kabur tengah malam dengan Hee Ja dengan mengendarai mobil suaminya. Dua nenek ini berpergian bersama mengunjungi Ibu dari Joong A yang sudah berada di panti jompo yang jauh dari perkotaan. Dalam perjalanan tanpa disangka, Joong A menabrak seseorang. Hee Ja yang berada di kursi penumpang ikut merasa bersalah karena ia mengatakan rem berada di sebelah kanan sehingga mobil bukannya berhenti malah melaju lebih cepat. Keduanya ketakutan dan meminta Park Wan (salah satunya adegan ini yang ia turut dibawa-bawa oleh dua nenek ini untuk menolong mereka) untuk menjemput mereka karena Joong A merasa tidak mampu menyetir pulang. Dua nenek ini ketakutan setengah mati berhari-hari. Lalu ada satu momen dimana mereka akhirnya tersadar bahwa mereka harus menyerahkan diri ke polisi untuk perbuatan mereka. Ya ampun, di sini gue melihat betapa sahabat tuh bisa sampai segitunya saling sayang dan saling bergandengan tangan untuk mengakui perbuatan mereka. Syukurnya bukan orang yang mereka tabrak malam itu, melainkan rusa yang tiba-tiba lewat. Ini aja udah bikin polisi shock begitu dua nenek ini ngaku nabrak orang. Hihihi.

 

Tentu adegan puncaknya lebih banyak mengoyak hati dan air mata. Hee Ja diceritakan mengalami demensia akut. Ia mendadak hilang setelah ia pulang dari gereja. Sebelumnya ia sering keluar pagi-pagi buta, sekitar jam 2 pagi, untuk berjalan ke gereja dan berdoa di sana sambil menangis, lalu pulang ke rumah dan tidur. Begitu pagi, ia sama sekali tidak tersadar apa yang dia lakukan setiap pagi-pagi buta itu. Dan ketika demensianya semakin parah, ia sudah berjalan jauh menuju rumah pertama dengan suaminya yang terletak di satu desa yang  jauh. Ia berjalan berhari-hari tanpa makan, tanpa alas kaki dan dengan bantal di belakang seperti sedang menggendong anak. Ternyata diingatannya saat itu, ia sedang membawa anak sulungnya yang sudah meninggal akibat sakit parah.

 

Semua sahabatnya mencarinya, bahkan si pengacara pun meminta kenalan polisi yang bisa membantunya lewat CCTV di jalan. Sampai akhirnya mereka berhasil menemukan Hee Ja yang berjalan di bawah rindangnya pepohonan menuju rumah pertamanya dengan sang suaminya dulu. Begitu ditemukan, reaksinya adalah marah dengan Joong A karena tidak mau membantunya ke rumah sakit sampai anaknya meninggal di gendongan Hee Ja. Sampai-sampai Hee Ja menolak melihat wajah Joong A berhari-hari, tapi Joong A dengan sabarnya menunggu sampai akhirnya Hee Ja tersadar sendiri alias kembali ke pikiran sadarnya saat ini dan malu dengan perbuatannya. Tetap dong dimaafkan oleh Joong A, si sahabat karibnya. Waah, ini syedih gak ketulungan nontonnya.

 

Di tempat yang berbeda, Nan Hee yang sebetulnya mau mengantar ibunya berobat ke rumah sakit justru mendapati kalau ia sudah sampai di stadium akhir kanker hati. Park Wan yang akhirnya mengetahui hal ini langsung menemani hari-hari ibunya. Meskipun kadang ibu anak ini bertengkar, tetap saja ikatan batin itu kuat ya. Rasa sayang diantaranya pun tidak akan bisa bohong, meskipun Park Wan dan Nan Hee bukan orang yang terbuka satu sama lainnya. Jelas terlihat dari gesture, mereka saling menyayangi. Ibunya tentu takut setengah mati, begitupun dengan Park Wan. Ah, ini pun udah sampai mewek berkali-kali yang ditanggapi dengan gelengan kepala dari si Boy. :D

 

Sungguh drakor yang menurut gue layak untuk ditonton dan dijadikan refleksi hidup. Saat ini gue berterima kasih sekali dengan kawan gue yang satu itu yang memaksa gue untuk menonton ini. Susah untuk disebutkan satu-satu moral apa yang terkandung di dalam tontonan ini, pastinya semua realita kehidupan jelas digambarkan dalam drakor satu ini. Tua itu pasti, tinggal bagaimana kita berbaik hati menerima kenyataan hidup yang akan disajikan oleh Tuhan Maha Pengasih untuk kita di masa tua nanti.


Saturday, September 5, 2020

1:57 PM

Bersejarah..

Bersejarah..

 


Siapa disini yang setuju kalau belajar Sejarah itu membosankan?


Wah, udah pasti deh banyak yang tunjuk tangan, eh gak keliatan lah ya kalau tunjuk tangan. Mungkin reaksi kalian pasti manggut-manggut sambil senyum-senyum sendiri. Ya, sama dong dengan aku!


Belajar Sejarah itu jadi momok tersendiri jaman sekolah dulu, selain belajar Matematika, Fisika, Kimia, PPKN, Bahasa Indonesia, Biologi (laah, semua pelajaran ini mah ya. :P). Benar atau benar? Rasanya hafalan paling menakutkan itu ya pelajaran Sejarah karena hafalnya harus benar, gak boleh meleset. Kebayang kan kalau nama orang salah atau tahun perang salah, kelar sudah nilai ujian kita. Pulang-pulang tinggal manyun kasih liat kertas ulangan ke orang tua. Bagus kalau hanya dipelototin aja, tapi kalau kemoceng yang mampir di betis, bah!


Pasti semua setuju ya kalau belajar Sejarah di sekolah itu membosankan (banget). Rata-rata semua buku pelajaran Sejarah berkutat dengan tanggal, tahun, nama tempat, nama orang yang semuanya itu menjadi beban tersendiri bagi kita untuk menghafalnya. Apalagi, setelah selesai ujian semua hafalan itu seperti menguap, yang sampai sekarang entah tersimpan di bagian sisi mana dari otak kita. Tidak heran kalau kita menjadi malas mengenal lebih jauh tentang sejarah. Jangankan sejarah dunia, sejarah negara kita saja pasti malas banget untuk dipelajarinya.


Menurut Charlotte Mason, sejarah itu merupakan bagian vital dari pendidikan. Hal dimana semua orang rasanya wajib dan mutlak perlu tahu tentang sesuatu yang terjadi di masa lampau supaya bisa memandang segala sesuatunya lebih adil di saat ini. Bagaimana bisa begitu?


Generasi muda saat ini sedikit banyak memilih untuk apatis akan sejarah. Mereka hanya fokus dengan hidup mereka saat ini saja dan tidak cukup perduli dengan sejarah yang terjadi di masa lalu. Rasa sentimentil pada situs-situs kuno ataupun tempat-tempat bersejarah dimana peristiwa besar terjadi pun tidak banyak menggugah pemikiran mereka akan arti pentingnya sejarah. Padahal, sikap patriotisme dalam pribadi seseorang itu sangat diperlukan. Ditambah lagi, generasi tua yang tidak memiliki cukup minat untuk menceritakan kembali sejarah di masa lampau, sehingga semakin lunturlah rasa patriotisme di generasi muda saat ini. Patriotisme yang rasional dan bijak sangat tergantung pada seseorang, apakah ia banyak membaca sejarah atau tidak.


Pada akhirnya, ini kembali ke pendidikan dasar, yaitu sekolah. Bagaimana sekolah menanggapi pelajaran Sejarah di setiap jenjang pendidikan? Ya, seperti yang kita ketahui juga, pelajaran Sejarah di sekolah pun sama sekali tidak menarik. Tahun berulang, begitupun dengan pelajaran Sejarah yang selalu dipelajari dengan gaya yang sama dan dengan buku yang kering, hanya berisikan deretan fakta-fakta yang membuat anak didik menjadi bosan untuk mempelajarinya.


Sebenarnya, anak-anak itu sangat tertarik dengan sejarah. Mereka akan bisa memperhatikan dengan konsentrasi penuh kalau saja materi yang diberikan kepada mereka adalah materi belajar yang berkualitas dengan cita rasa sastrawi daripada buku-buku kering yang berisikan deretan fakta untuk dihafal oleh anak-anak. Metode dengan prinsip sekali baca lalu meminta anak menarasikan kembali apa yang sudah dibaca oleh guru juga jauh lebih efektif. Memberikan penilaian setelah ujian tertulis justru menjadi beban tersendiri bagi anak.


Tugas guru (orang tua) sebagai fasilitator juga memiliki peran yang sangat penting. Menjadi guru yang berpengetahuan dan memiliki simpati mendalam terhadap pengetahuan itu tersendiri adalah tugas yang perlu diemban oleh sang guru dalam menumbuhkan minat anak dalam belajar. Guru tidak perlu banyak menjelaskan dan juga tidak perlu banyak menginterupsi ketika anak bernarasi.  Ya pasti pada awalnya anak akan kewalahan ketika diminta untuk bernarasi, tapi lambat laun anak-anak akan menemukan iramanya dan fasih dalam bernarasi. Tanpa disadari, anak-anak akan bisa bernarasi dengan panjang lebar. Guru pun tidak diminta memberikan komentar akan narasi anak, justru guru perlu sangat hati-hati dalam mengeluarkan pendapat.


Kenapa bernarasi, bukan menghafal?


Bernarasi justru membuat anak lebih memahami dan tidak membuat anak butuh untuk remidi, mengulang kembali materi yang sudah dipelajari. Anak-anak pun jadi lebih bisa memperhatikan secara utuh dan penuh konsentrasi di mana keduanya itu adalah naluri alamiah dan tidak butuh dipaksakan. Anak-anak jadi belajar untuk menyadari pikirannya sendiri supaya tidak mengembara melainkan fokus dengan materi yang diberikan. Membaca atau mendengarkan teks yang dibacakan dengan penuh perhatian justru membuat akal budi anak lebih bekerja.


“Bersandar pada memori akal budi, kita memvisualisasikan adegan, menerima argumen, menikmati susunan kalimat, dan membingkai semuanya dalam bahasa kita sendiri, lalu perikop atau bab tersebut kita serap dan menjadi bagian dari diri kita tak ubahnya pencernaan kita menyerap hidang yang kita lahap semalam; ini malah lebih dari makanan, karena makanan kemarin sudah nyaris tak berbekas lagi besok, tapi bacaan yang kita konsumsi dan hidupkan secara jernih, detil, dan akurat, kita narasikan langsung sejak pertama kali menyimaknya, bisa berbekas selama berbulan-bulan. Semua kuasa akalbudi dilibatkan dalam menangani makanan intelektual itu. Jadi kita sebaiknya tidak usah mendikte anak dengan rangkaian pertanyaan komprehensif, membuatkan ilustrasi-ilustrasi cantik untuk membantunya berimajinasi, mengeksplisitkan pesan moral untuk menggugah nuraninya. Semua itu akan terjadi sendirinya saat anak mencerna bacaan.” - Vol 6 pg 174


Pekerjaan setelahnya adalah mencari buku sejarah dengan cita rasa sastrawi. Bisa dibilang tidak semua negara berhasil menceritakan sejarahnya dalam bentuk sastrawi ataupun naratif yang enak dibaca oleh anak-anak. Biasanya buku sejarah diceritakan dalam bentuk deretan fakta dengan segitu banyaknya tokoh cerita dan tahun-tahun yang tentunya menjadi sangat membosankan untuk dibaca. Ini memang semacam mencari jarum dalam tumpukan jerami. Ada, tapi perlu usaha keras dalam mencarinya. Memang butuh ekstra semangat.


Melihat dari pengalaman pribadi, bertahun-tahun tidak pernah mengerti tentang sejarah negeri sendiri ataupun negara lain, kami mencoba mengaplikasikan metode ini terhadap pendidikan rumah yang kami jalani beberapa tahun terakhir ini. Membacakannya buku, hanya sekali baca, lalu memintanya menarasikan kembali ternyata menjadi sangat efektif untuk Fritz, anak kami. Berusaha untuk tetap fokus terhadap bacaan yang sedang dibacakan juga menjadi bagian yang sangat penting untuk melatih daya konsentrasinya. Selain itu, bersama-sama kami membuat catatan lini masa (time line/ Book of Century) setiap kali kami menemukan tanggal atau tahun bersejarah.


Mungkin ini terkesan terlalu santai dalam mempelajari sejarah. Tidak ada penghafalan nama, tahun, perisitiwa dan juga tidak ada ujian tertulis yang perlu dinilai, hanya perlu konsentrasi dan bernarasi. Nyatanya, setiap cerita yang diceritakan kembali justru menjadi kepingan puzzle yang tersusun rapi di dalam pikirannya yang sewaktu-waktu dapat direlasikan antara sejarah bangsa satu dengan bangsa lainnya. Seperti ketika ia mengetahui kematian Richard Wagner, salah satu komposer, terjadi di tahun yang sama dengan meletusnya gunung Krakatau di tahun 1883. Menarik ya!


Ini akan menjadi hal yang luar biasa ketika seseorang mempunyai gambaran utuh sejarah sebagai latar belakang pemikirannya. Tidak perlu harus bisa menyebutkan tempat dan tanggal peristiwanya dengan presisi setiap sejarah yang terjadi. Setidaknya kita tahu bahwa di setiap isu selalu ada banyak sekali pertimbangan dari pihak terkait sehingga ini juga bisa jadi pertimbangan bagi generasi muda agar terselamatkan dari opini yang dangkal dan aksi yang terburu-buru. Akalbudi yang sigap dan berwawasan akan menuntun pada sikap santun dan hidup bersahaja.


"Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang." - Soekarno