07.21 - Lievell

Monday, July 19, 2021

8:38 PM

Perjalanan 14 Hari

Perjalanan 14 Hari

Selama 14 hari kami menjalankan isolasi mandiri di unit apartemen kami. Pilihan untuk melaporkan diri ke pihak RT dan pengelola setempat kami lakukan semata demi kepentingan bersama. Bagaimana tidak? Kami tinggal bersama dengan ratusan, mungkin ribuan, manusia dalam satu lingkungan apartemen yang cukup ramai dalam kesehariannya. Bisa saja kami egois untuk tidak melaporkan kondisi kami yang terkena virus corona – sempat terlintas siiiiih #ups – dan berkeliaran kemana-mana tanpa diketahui oleh orang-orang sekitar yang berada satu lift dengan kami, memencet tombol, berdiri bersebelahan ataupun mengobrol dekat-dekat dengan kami tanpa mereka tahu bahwa kami ini sudah terjangkit virus yang lagi hype. Tapi kami dengan sadar memilih untuk tidak seperti itu – karena kami adalah keluarga yang baiiiik #senyum sampai matanya sipiiiittt….

 

Meskipun pada kenyataannya, hidup kami langsung seperti menjadi tahanan rumah. Hahaha. Bayangkan selama 2 minggu kami mendekam manis di dalam unit tanpa diperbolehkan keluar dari pintu. Membuka pintu depan hanya untuk menerima paket dan dilarang mengeluarkan barang-barang kecuali sampah. Jangankan kepala yang nongol, nafas aja takut-takut kalau buka pintu tuh, serius! Berasa nafasnya kaya nafas naga, ada apinya. Bikin siapa aja yang mau lewat takut kena nafas kami. Lebay banget yaaa :D

 

Nah karena sudah melewati 14 hari, waktunya kami cerita ngapain aja selama kami ber-isoman ria ya.

 

Apa yang terjadi dengan kami?

 

Di hari pertama sampai hari ke 7 adalah hari-hari dimana keadaan gak enak banget. Meskipun kami ini termasuk yang bergejala ringan, tapi seringan-ringannya tetep yang paling dirasa adalah lemas dan males mau ngapa-ngapain. Diantara kami bertiga, CT gue paling tinggi – angkanya 33. Si Babeh terendah, 21 dan si Boy adalah 29. Kalau menurut sepupu dari pihak si Babeh, gue adalah si ulat bulu. Maksudnya gimana? Gue lah si pembawa virus, karena CT gue paling tinggi. Wkwkwkwkwk. Yah seperti yang gue cerita di blog gue sebelumnya, gue sendiri gak tau darimana virus ini berasal. Gue hanya kira-kira, tapi bisa jadi ya karena nafsunya gue kepengen makan martabak. :P Eh tapi ini mungkin hanya mitos ya, mitos ulat bulu. Aselinya benar atau gak, gue kaga tauuu. :D

 

Gejala yang pertama gue rasa adalah tenggorokan seperti ada pasirnya gitu, lalu di hari kedua mulai muncul pilek dengan batuk dikit-dikit. Hari kedua ini gue sempet agak sumeng tapi gak tinggi, sekitar 37 koma-koma, gak inget. Di hari ketiga gue mulai gak bisa tidur, hidung rasanya sakit banget pas dipakai buat nafas – ya dipakai buat apalagi selain buat nafas yeeee. Padahal sepanjang hari ketiga itu hidung rasanya seperti keran, sering banget ingusnya keluar. Hari keempat, mulai ada batuk dan pileknya mendadak gak terlalu banyak. Nah di hari keempat ini karena hasil PCR juga sudah keluar dan dinyatakan positif, plus sudah konsultasi dengan dokter online, gue akhirnya dapat obat pilek. Barulah malam itu gue bisa tidur nyenyak dengan bantuan obat pilek itu. Rasanya langsung seperti sleeping beauty #etdaah. Padahal hari-hari sebelumnya lebih berasa mirip satpam. Maklumlah ya naluri emak-emak nongol kalau anak dan suami sakit, pasti tidur kebangun-bangun mulu meyakinkan mereka gak kenapa-napa. Pada gitu gak sih yang udah jadi emak-emak?

 

Hari kelima, karena sudah ada obat tidur #eh obat pilek maksudnya, gue pun nenggak obat itu lagi setelah sarapan dan sepanjang hari bawaannya kepengen bobo syantik syalala gitu loh. Mata susah banget diajak melek. Lalu, begitu berhasil melawan hasrat mau tidur lagi,eh lihat piring di tempat cucian numpuk banyak, belum ada makan siang, nasi pun belum ada di rice cooker, sedangkan si dua cowok ini malah asyik-asyikkan aja nonton depan TV. Seketika tanduk gue nongol dan merepetlah gue macam rapper. Jangan pernah remehin emak-emak ngefly karena obat pilek dan bangun karena kelaparan ya, horror!! Hahahaha.

 

Gejala di Mas Boy sendiri malah agak aneh, menurut gue sebagai emaknya. Di hari pertama, dia demam dan nangis-nangis karena gak bisa terima kenyataan kenapa sampai kena Covid 19. Biar dikata dah lebih tinggi dari gue, muka dah kaya anak abegeh, kelakuan mah tetep bocah. Syukurnya dia bisa terima setelah diajak ngobrol dan didiemin aja biar mikir. :D Tapi setelah demam di hari pertama, doi gak merasakan demam lagi. Hanya sempat sumeng di hari ketiga aja dan tidak muncul lagi besok-besoknya. Batuk pilek iya, tapi cepat banget hilangnya. Paling terasa di anak ini adalah radang tenggorokan, begitu menelan rasanya sakit banget. Plus sariawan yang besar di dinding mulut bagian kiri. Ya ampun, sensi banget sepanjang hari itu. Minim ngomong, tapi sekali ngomong kaya pengen ditelen balik masuk perut gue. Nyebelin banget pokoknya nih anak deh begitu duet sariawan dan radang tenggorokan melanda.

 

Beda lagi dengan gejala yang terjadi di Babeh. Batuk 3 hari pertama, hari keempat kepala pusing berat sampai muntah segala, hari kelima hilang penciuman, tapi di hari keenam dia sudah membaik banget. Si Babeh ini dinyatakan positif dari hasil PCR ketika hilang penciuman itu. Malamnya langsung diarahkan ke dokter yang dipakai oleh om tante gue yang saat itu juga tengah terserang Covid berjamaah seminggu sebelum kami. Berhubung dokter ini prakteknya tengah malam, jadilah malam itu si Babeh berjuang setengah mati menyetir motornya – maklum ya, tinggal di apartemen sejuta umat itu susah banget keluar parkir mobil malam-malam – dengan kesadaran yang sudah setengah-setengah itu. Gue sempet jiper juga dia kenapa-napa di jalan, tapi syukurlah masih bisa gue cium-ciumin sampai hari ini. Jadi, setelah ke dokter dan mendapat obat yang jumlahnya gak kira-kira itu, doski lah yang termasuk cukup cepat fit-nya dibanding gue dan Mas Boy.

 

Oiya, soal indera penciuman dan indera perasa, si Babeh yang paling lama mengalami hilang dua indera ini dibanding gue dan si Boy. Malah kalau boleh dibilang si Boy itu tidak mengalami sama sekali. Gue sempat dua-tiga hari mengalaminya. Aseli ya, rasanya makan gak enak banget. Makanan rasanya dominan asin, sebel banget deh karena gue gak suka asin.

 

Meskipun kami dalam kondisi tidak nyaman ini, hilang penciuman, hilang rasa, sariawan gede di dinding mulut, pilek, batuk dan lemas, ada satu yang sama. Biar dikata makanan rasanya amburadul di mulut, tetep loh kami masih punya nafsu makan yang besar. Hahahahaha. Perut serasa gak ada dasarnya, bawaannya lapar terus. Apa aja yang dikirim, dimasak, ada di depan mata, semua habis dalam sekejab. Ya ampun, macam gak makan berhari-hari. Pokoknya gak ada tuh yang namanya hilang nafsu makan, yang ada justru kelaparan melulu. Bersyukur sih kami masih diberikan kemudahan dalam makan.

 

Masuk minggu berikutnya, hari ke 8 sampai hari ke 14. Dimana hari-hari sudah lebih kuat, tidak ada lagi lemas yang maunya bobo-an syantik syalala gitu.  Setiap pagi selalu diawali dengan antusias yang tinggi, dengan segudang jadwal mau ini, mau itu. Pada kenyataannya, baru aja cuci-cuci sayur dan mau potong wortel, eh badan mendadak berasa capek banget. Langsung potong wortel sambil duduk gelosoran di lantai. Gitu juga kalau mau masak macem-macem, persiapannya harus disisipin dengan istirahat sebentar dulu baru bisa lanjut mengerjakan lainnya. Cuci baju dan pakaian dalam yang dikit aja berasa capek, jadi gak berani mau cuci baju sering-sering – Ah, ini sih emang disinyalir karena kemalasan bukan karena kelemesan. :D

 

Aktivitas pun masih seputar nonton – makan – leyeh-leyeh di kasur dan berulang. Begitu aja setiap harinya. Kalau makan ya jangan ditanya kan ya, tetep dengan nafsu besar. Selain itu, jangan diajak mikir berat deh. Lemot banget rasanya, susah banget diajak konsentrasi. Tapi syukurlah di minggu ini sudah agak mencair otaknya. #eh :D

 

Pelan tapi pasti kekuatan badan dan pikiran sudah berangsur-angsur menuju membaik di minggu kedua pasca pemulihan ini. Di samping itu yang gue sadari lagi adalah bagaimana keluarga dan teman sungguh sangat membantu. Paling terasa di sakit seperti ini yang sepertinya gak kelar-kelar – gue termasuk yang jarang sakit soalnya, jadi begitu sakit trus gak sehat-sehat tuh capek banget buat gue – gue jadi kangen berat dengan bokap dong. Gue kangen dengan segala bentuk perhatiannya. Gue yakin ya kalau sekarang masih ada, bokap pasti akan telepon gue berkali-kali menanyakan keadaan gue, mencarikan obat yang susah dicari kemarin itu, memastikan gue makan, memastikan gue istirahat, memastikan apa yang gue butuh dan mencarikannya sampai gue terima. Gue yakin ini.

 

Namun gue sungguh bersyukur sih, semesta seperti mengirimkan bokap melalui perpanjangan tangan dari saudara dan sepupu serta teman-teman yang baiknya ampun-ampun ke kami. Ada satu kakak tertua dari bokap yang bisa dibilang hampir setiap hari menelpon kami menanyakan keadaan kami, apakah kami makin membaik, ada gejala apa dan bagaimana perkembangannya. Ya ampun, ketika mendengar suaranya pun rasanya seperti mendapati bokap yang sedang berbicara dengan gue, suaranya pun hampir mirip – atau jangan-jangan saking kangennya gue jadi halu dengarnya mirip. Kangen tuh sampe segininya ya, bikin nyes di hati dan bikin mata ngembeng. Beneran ya, covid ini menjadikan keluarga dan teman seperti dekat di hati. Begitu terasa dan nyata perhatian dan supportnya mereka untuk kami. Bersyukur kami dikelilingi orang-orang terbaik, tersayang dan terberkati.

 

Jadi selama dua minggu ini apa saja yang kami lakukan?

 

Ya seperti tadi yang sudah disebutkan, setiap pagi segudang jadwal sudah direncanakan, tapi kenyataannya ya bubar jalan. Dengan alasan lemah badan dan lemah otak tadi – bilang aja males yaaa, kami memilih menjalani hari tanpa jadwal di setiap harinya. Kami lepaskan segala beban pikiran dan menikmati hari dari waktu ke waktu. Tidak mikir apa-apa selain menyenangkan hati dan pikiran, relaksasi tanpa henti judulnya deh. Just enjoy the days without any schedule.

 

Tapi gak mudah juga sih menjalani hari tanpa beban pikiran dimana belakangan ini berita yang mengarah ke negatif berseliweran di dunia maya. Lagi-lagi sih ya, ini semua kan pilihan ya. Kita sendiri yang paham dengan diri kita sendiri ini mudah termakan atau tidak dengan hal-hal seperti itu. Kalau gue pribadi sih memang sejak awal pandemi sudah memutuskan untuk tidak mau terpengaruh dan tidak pernah mau mengikuti berita-berita seperti itu. Jadi mau seperti apapun beritanya, gue memilih untuk tidak mendengar. Terserah apa kata orang ya, tapi gue memilih untuk seperti itu. Bukan karena parno juga, tapi untuk apa membuang energi untuk sesuatu yang bikin imunitas kita melemah kan?

 

Lain halnya dengan si Babeh, doi sangat menikmati isomannya ini dengan teman-temannya yang aseli super abis deh. Super tenaganya, karena ditengah kerja mereka bisa dong sempatin waktu ber-VC (video call) ria yang gak cuma sekali, tapi 3x – makan obat aja kalah, boooo. Super berisik, ternyata bapak-bapak kalau udah VCan itu gosipan juga kaya emak-emak, tapi dengan suara bass, bukan suara cemprengnya ala emak-emak. Super cepat, begitu kami gak dapat obat, dalam sejam obat sudah hadir di unit kami. Luar biasa banget emang bapack-bapack itu yaaaa. Salut!

 

Selanjutnya, mau cerita apa yang kami konsumsi selama dua minggu ini. Masih tetap bertahan kan baca ceritanya? Hihihii

 

Sebelum kami dinyatakan positif dan harus isoman, kami sebetulnya sudah menyiapkan diri untuk tidak keluar rumah selama seminggu. Ceritanya mau menikmati liburan setelah selesai dengan PO makanan kami. Eh ternyata malah beneran harus isoman karena positif. Jadi, kami sudah menyiapkan beberapa hal seperti belanja sayur online, telur 2 tray, buah-buahan, air isi ulang 4 galon dan beberapa vitamin yang memang kami beli. Lalu, begitu gejala semakin jelas dan memutuskan tidak jadi mengirim paket-paket makanan kami, semakin terasa bahwa kami seperti sedang menyiapkan diri untuk isoman. Isian kulkas dan kebutuhan rasanya cukup lah untuk isoman kami. Besok-besok jangan suka bikin rencana aneh-aneh deh ya. Kalau bagus hasilnya, lah kalau jadinya liburan ala isoman gini mah gak keren dah.

 

Nah sepanjang isoman ini kami berusaha banget masak. Gejala kami ini hampir serupa sedang terkena radang tenggorokan, batuk dan pilek tapi versi dua kali lipat lebih berat dari biasanya, maka sangat nyaman banget ketika makanan yang kami asup adalah makanan berupa kuah-kuahan dan tumis-tumisan. Tentu sebisa mungkin kami mengurangi sesuatu yang berminyak, goreng-gorengan dan juga makanan pedas, tujuannya ya supaya tidak memicu virusnya tetap bersarang di tubuh.  Namun ya beberapa kali kalau kami dikirimi makanan yang gorengan dan karbo banget, kami makan juga. Ya namanya kelaparan terus, apa juga masuk ke perut. Nothing left behind, prinsipnya gitu emang! Hohohoho.

 

Ditambah lagi asupan lainnya berupa jus sayur dan buah yang kami konsumsi hampir setiap hari, jamu empon-empon ala Pak Jokowi yang bahan-bahannya jahe, kunyit, temulawak, secang, sereh dan gula jawa yang langsung dikirim oleh teman kami di komunitas, buah-buahan seperti apel, kiwi, melon, semangka, buah naga, pepaya, pisang dan nanas sebagai snack ketika lapar mendadak, rebusan obat tradisional Cina yang bahannya dikirim oleh temannya si Babeh – duh jangan tanya rasanya pahit banget, air kelapa ijo yang mampu bikin adem badan yang dikirim oleh adik kandungnya bokap – terasa banget seperti bokap deh ini, dan terakhir adalah minum vitamin yang kami terima beberapa juga dari teman-teman kami.

 

Berhubung kami ini tidak boleh keluar dari unit, jadilah untuk mendapatkan sinar matahari, kami hanya bisa berjemur sebentar di balkon yang ukurannya seuprit alias mini. Ini pun harus kejar-kejaran dengan waktu. Ya syukurnya masih sempat berjemur meski dalam 14 hari hanya dua kali aja sih yang beneran jemur. Dibalik lemas ada rasa malas. :P

 

Begitulah hari-hari yang kami lalui selama 14 hari kami isolasi mandiri. Dan selama 14 hari juga kami mengalami banyak kabar menyedihkan yang tentu tidak dapat kami hindari dan sedikit banyak mempengaruhi kami. Beberapa teman  yang kami kenal dan pernah dekat, serta saudara yang harus berjuang dengan virus yang sama dengan kami tapi dengan kondisi yang berbeda dan tidak dapat bertahan sehingga harus meninggalkan kami. Sungguh ironi perjalanan pandemi dan virus ini.

 

Virus ini bukan untuk ditakuti dan dihindari, karena sejujurnya mau sampai kapanpun kita akan terus hidup berdampingan dengan Covid 19 dan suatu waktu pasti akan terkena. Namun kita perlu bijak dalam menghadapinya. Kenali diri kita sendiri seperti apa. Apakah ada penyakit bawaan (komorbid) yang kita derita? Jika ada, apa yang harus dilakukan dengan penyakit bawaan kita ini, sehingga nanti begitu terjangkit virus Covid 19 kita sudah lebih siap menghadapinya. Memang mudah untuk dijelaskan tapi susah dijalankan ketika virus ini menghinggapi kita. Tapi setidaknya, dengan kita paham dengan diri kita sendiri, kita jadi paham apa yang dibutuhkan oleh diri kita.

 

Selain itu, di saat yang genting seperti ini dimana oksigen susah dicari, rumah sakit penuh dimana-mana, dan pertolongan susah didapatkan, kenali lingkungan sekitar kita. Berakrab-akrab ria-lah dengan tetangga, berhubungan baiklah dengan ketua RT setempat, kumpulkanlah informasi sebanyak-banyaknya tentang lingkungan kita. Siapa lagi yang mampu menolong kita selain orang yang tinggal berdekatan dengan kita sewaktu-waktu kita memerlukannya.

 

Dan yang terakhir, hiduplah dengan sehat. Karena kita tidak tahu kapan virus ini mendekat dan seberapa siap badan kita menerima virus ini. Jadi, perbanyak asupan yang sehat untuk jiwa maupun raga, untuk badan dan juga untuk pikiran kita.

 

Semangat bagi yang sedang menjalani hari-hari isoman dan juga yang sedang berjuang menghadapi Covid 19. Kami bisa, kalian pun juga pasti bisa.

 

 

 


Thursday, July 8, 2021

6:43 PM

Bertamu Juga Dia, Si Covid 19

Bertamu Juga Dia, Si Covid 19

 


Begitu hasil PCR dikabarkan oleh pak Suami, gue sudah menduga kalau jawabannya adalah positif. Dari segala gejala yang muncul sudah mengarah ke sana soalnya. Setelah batuk-batuk ringan sampai kepala pusing seperti habis dipukul pentungan satpam, di hari keempat ini doi mulai mengeluh hilang penciuman. Minyak angin roll on yang biasa sering dioles ke bagian dalam maskernya sudah tidak tercium wanginya lagi. Dicoba dengan minyak angin lainnya yang wanginya lebih nendang, juga tidak tercium. Confirm! Bapak Ali resmi sudah menyandang sebagai penderita Covid 19.

 

Bagaimana ini bermula dan dimana kenanya? Sejujurnya susah untuk dijawab, ya kan. Namanya virus, ada dimana-mana. Tidak terlihat, tidak terdeteksi. Tapi kalau boleh mundur beberapa hari sebelumnya, kami menduganya, mungkin saja, ketika gue lagi kepengen banget makan martabak setelah pulang dari ngelesin hari itu – Rabu, 30 Juni 2021.

 

Sebetulnya sudah beberapa waktu lalu kepingin banget beli martabak, tapi seringkali urung diniatkan beli karena ukuran seporsinya luar biasa banyak untuk kami yang sedang mengurangi makanan manis – tentu karena kami memang keluarga manis lah ini, eneg boleh muntah jangan ya. :D Sayangnya, rasa kepingin itu semakin menjadi di hari Rabu itu. Jadi ketika dalam perjalanan dari parkiran menuju ke tower unit apartemen kami, kebetulan saat itu gue minta si Babeh ini bantu mencarikan tempat parkir, eh mendadak kaki maunya melangkah ke gerai martabak tempat biasa kami beli. Tentunya, sambil kasih senyum-senyum manis manja gituh ke si Babeh. Eaaaa.


 

Selagi kami menunggu, si Babeh yang emang dasarnya punya rasa pingin tahu selangit – alias kepo to the max, agak penasaran dengan kios-kios yang berada di seputaran gerai martabak ini. Kenapa 3 kios ini tutup semua ya, tanyanya ke si mas penjual martabak. Dijawab santai oleh si mas, habis disuntik vaksin kemarin jadi pada demam. Kami sama sekali tidak menaruh curiga apapun, lalu pulang dengan bahagia sambil membawa sekotak kecil martabak – iya, belinya yang ukuran mini aja, isi 4 untuk dimakan gue dan si Boy. Si Babeh lagi diet makan martabak soalnya. :D

 

Sampai keesokan harinya, sepulang dari pasar, si Babeh ini laporan kalau gerai martabak yang kemarin kami beli dan 3 kios lainnya ditempeli garis kuning seperti police line gitu. Setelah tanya pak Satpam sekitar situ ternyata keempat kios itu terkena Covid 19. Whaaatttt!!! O-O

 

Hehehe, sebetulnya sih gue gak segitu parnonya dengan urusan Covid ini. Selama kami sudah menjalankan prokes dengan benar, memakai dan tidak membuka masker sembarangan, sebisa mungkin gak keluar-keluar untuk yang tidak perlu, sampai rumah cepat-cepat mandi dan semprot-semprot disinfektan, rasanya itu sudah cukup. Mau di luar sana lagi heboh dengan tingkat angka kenaikan yang terpapar, atau segala macam urusan ini itu yang terkait dengan Covid sampai ikutan geram dan membuang energi gak kira-kira di situ, sejujurnya gue gak terlalu pusing sih. Just do what we can do aja prinsip gue. Jadi begitu ada berita kalau 4 kios itu tutup, sebenarnya gak membawa pengaruh apapun ke gue. Tetap menjalani hari seperti biasa.

 

Eh, ternyata kali ini tidak semulus itu, Esmeralda!

 

Keesokkan harinya, si Babeh mulai batuk-batuk ringan. Alasannya saat itu karena habis nyemil kacang, jadi tenggorokan agak gatal. Ditambah lagi kurang tidur akibat sok-sokan begadang nonton bola liga Eropa. Lupa doi kalau rambut udah ubanan, umur dah kepala empat, sering masuk angin kalau begadang. Hadeh, udah tua, Paaak! Dari dua hal ini aja stamina udah terasa berkurang, jadilah mudah itu masuk virus-virus jahanam ke dalam tubuh.

 

Kebetulan juga, gue ini termasuk orang yang suka mengandalkan feeling atau apalah namanya itu. Jadi sebetulnya ketika kaki mau melangkah ke gerai martabak itu adalah kuncinya. Ada sebersit suara hati yang bilang untuk tidak melangkah ke sana, ada keraguan memang. Tapi sayangnya gue tidak nurut dengan si kata hati ini. Nah begitu duduk menunggu pesanan martabak, kembali lagi ada feeling kuat seperti memperingatkan akan ada konsekuensi dari pilihan gue ini. Semacam warning ya istilahnya. Ada yang suka begini juga gak sih?

 

Jadi begitu si Babeh mulai batuk 3 hari berturut-turut, seperti diingatkan kembali dari feeling ketika duduk di bangku menunggu martabak itu. Menyesalkah? Nope. Never. Gue berusaha sebisa mungkin menerima segala konsekuensi atas segala pilihan gue. Kan gue sendiri yang memilih untuk menggerakkan kaki gue ke gerai martabak itu. Jadi gue dengan penuh kesadaran tahu akan konsekuensi tidak menurut apa yang diperingatkan oleh si kata hati ini. Duh, berat yaaa. Hahaha

 

Ya, intinya, gue sudah siap-siap dengan segala sesuatunya. Gue yakin juga si Babeh juga merasakan hal yang sama, ini belum sempet gue konfirmasikan langsung dengan orangnya. Tapi biasanya sih feeling kami suka sama. Bahkan yang terburuk, yaitu kami bertiga terkena Covid bersama. Dalam 3 hari batuk-batuk ringan itu ada sempat sekali gue bahas bagaimana jika salah satu dari kami terkena Covid, apa yang harus dilakukan, teknisnya bagaimana. Juga, gue bertanya segala urusan dengan asuransi yang kami, langkah-langkah apa yang kami harus jalankan. Semua hal terburuk sudah kami skenariokan dan memikirkan jalan keluarnya. Stoik banget deh ini ya.

 

Dan apa yang sudah diduga terjadi. Hari Minggu masih juga belum sembuh batuk-batuknya, padahal si Babeh sudah mencoba berbagai cara tapi tidak berhasil. Kepala mulai pusing, ya itu, seperti dipukul pakai pentungan satpam akibat lupa bantu ngeronda malam. Lalu, mendadak pusing hilang setelah dimuntahkan dan diajak bobo siang bareng. Eh, gak usah mikir macem-macem. :D Jadi pede jaya aja kalau orderan kami besok bisa terkirim dengan baik sejalan dengan berangsur si Babeh sembuh dari batuk dan pusing. Aseli loh, ini seperti sehat banget, gak ada sakitnya sama sekali.

 

Senin pagi, begitu bangun tidur, si Babeh langsung bilang kalau penciumannya sudah tidak berfungsi baik. Roll on minyak angin yang suka dipakai gak terasa apapun di hidungnya – kaya nenek gue deh ini jaman gue kecil suka banget pake minyak angin.  Makanya gak boleh terlalu sebel sama kelakuan orang tua nanti dapet suami kaya gitu, beneran loh ini. Teori ala Ethep aja ini mah. Hahaha. Wanginya gak nampol, katanya. Pakai roll on satu lagi, sama juga, kaga nendang. Wah, gak pakai ragu-ragu lagi, gue minta dia duduk aja di pojokan, gak boleh kemana-mana dan gak boleh pegang apa-apa. Pakai masker dan pakai sarung tangan. Kebayang dong dia nulis WA pake sarung tangan, ngegelesot terus dah tuh hurufnya. :P

 

Gue pun memutuskan untuk antar sendiri pesanan makanan di hari itu, setidaknya ada sebagian bisa gue antar dan sampai ke pembeli. Disamping itu, si Babeh udah gue suruh PCR untuk memastikan dia positif atau negatif. Si Boy yang ada di rumah gue kasih tugas untuk ganti sprei kami dan memintanya untuk memberikan kamarnya untuk dijadikan tempat isoman sang Babeh. Jadi begitu selesai dari PCR, gue minta doi untuk diam-diam manis di kamar si Boy.

 

Sore itu begitu gue selesai dengan pengiriman makanan – riskan memang sih ya masih anter-anter makanan ini, gue dapat kabar bahwa si Babeh positif. Sejujurnya, tidak ada rasa khawatir ataupun takut dengan situasi ini. Apapun yang terjadi ya harus dihadapi, tinggal bagaimana pengaplikasiannya aja atas apa obrolan kami waktu itu. Satu dua hal memang tidak sesuai dengan rencana kami di awal, tapi tetap kami terima dan mencoba cari cara lain supaya semua enak dan nyaman dalam menjalani ini.

 

Sayangnya, virus sudah terlanjur menyebar. Dalam kurun waktu sehari, di hari Selasa pagi Si Boy mulai demam cukup tinggi. Mendadak dia nangis. Begitu ditanya, rupanya dia kesal dengan Babehnya yang membuat semua ini terjadi dan mengharuskan dia harus menjalankan PCR untuk tahu apakah kami berdua positif atau tidak. Pelan-pelan gue jelasin bahwa tidak semua hal sesuai dengan mau kita, ada hal yang memang harus terjadi dan harus kita terima. Dia pun cukup dewasa untuk bisa mengolah apa yang gue jelaskan, so ketika gue ajak untuk PCR pun dia hadapi dengan tenang. Meskipun dia harus menghadapi rasa takutnya ketika PCR, setelah dicolok-colok hidung dan mulutnya yang katanya gak enak banget itu, dia tetap say thank you ke petugasnya. “Makasih ya, Om.” – Mama mendadak senang, ya ampun anak gue dah gedeeee…..

 

Selanjutnya berkabar ke Ketua RT di lingkungan kami ini. Sejak Covid melanda, pengurus RT di apartemen sini cukup sigap untuk mengambil langkah lockdown di unit masing-masing bagi yang terkena Covid. Kami merasa harus berkabar dengan mereka demi kebaikan bersama ya. Dan mulailah kami diminta untuk tidak keluyuran kemana-mana dan segala paket atau hantaran harus dititip di lobby lalu dibawakan oleh mereka satu persatu ke unit kami masing-masing. Luar biasa sih pelayanannya.

 

Belum lagi dukungan dari teman-teman yang luar biasa baiknya. Bersyukur saja rasanya gak cukup deh. Beneran baik-baik banget ini teman-teman gue dan teman-teman si Babeh yang dengan sigap membantu dan menyediakan segala kebutuhan kami. Merinding rasanya dengan kebaikan yang diberikan. Kami tidak bisa dapat obat, dalam waktu kurang 1 jam, obat sudah tersedia dan sedang dikirim. Kami dikirimi begitu banyak makanan, sayur, buah, vitamin dan segala macam lah kebutuhan yang ampun gak bisa disebutkan satu-satu. Belum lagi yang mendukung kami dalam bentuk lainnya, wah, luar biasa banget. Terima kasih …terima kasih….kalian sungguh baik. Mungkin bukan kami yang dapat membantu kalian satu persatu kembali, tapi setidaknya Tuhan tahu hati dan perbuatan kalian untuk kami ini luar biasa indahnya.

 

Ya, sampai juga kami di bagian dimana kami sangat tidak menyangka harus menjalaninya. Betul, cepat atau lambat hal ini pasti akan datang, ini hanyalah masalah waktu aja. Semoga kita dapat melewatinya dengan baik dan menjadi pemenang atas virus ini. God bless!