Bertamu Juga Dia, Si Covid 19 - Lievell

Thursday, July 8, 2021

Bertamu Juga Dia, Si Covid 19

 


Begitu hasil PCR dikabarkan oleh pak Suami, gue sudah menduga kalau jawabannya adalah positif. Dari segala gejala yang muncul sudah mengarah ke sana soalnya. Setelah batuk-batuk ringan sampai kepala pusing seperti habis dipukul pentungan satpam, di hari keempat ini doi mulai mengeluh hilang penciuman. Minyak angin roll on yang biasa sering dioles ke bagian dalam maskernya sudah tidak tercium wanginya lagi. Dicoba dengan minyak angin lainnya yang wanginya lebih nendang, juga tidak tercium. Confirm! Bapak Ali resmi sudah menyandang sebagai penderita Covid 19.

 

Bagaimana ini bermula dan dimana kenanya? Sejujurnya susah untuk dijawab, ya kan. Namanya virus, ada dimana-mana. Tidak terlihat, tidak terdeteksi. Tapi kalau boleh mundur beberapa hari sebelumnya, kami menduganya, mungkin saja, ketika gue lagi kepengen banget makan martabak setelah pulang dari ngelesin hari itu – Rabu, 30 Juni 2021.

 

Sebetulnya sudah beberapa waktu lalu kepingin banget beli martabak, tapi seringkali urung diniatkan beli karena ukuran seporsinya luar biasa banyak untuk kami yang sedang mengurangi makanan manis – tentu karena kami memang keluarga manis lah ini, eneg boleh muntah jangan ya. :D Sayangnya, rasa kepingin itu semakin menjadi di hari Rabu itu. Jadi ketika dalam perjalanan dari parkiran menuju ke tower unit apartemen kami, kebetulan saat itu gue minta si Babeh ini bantu mencarikan tempat parkir, eh mendadak kaki maunya melangkah ke gerai martabak tempat biasa kami beli. Tentunya, sambil kasih senyum-senyum manis manja gituh ke si Babeh. Eaaaa.


 

Selagi kami menunggu, si Babeh yang emang dasarnya punya rasa pingin tahu selangit – alias kepo to the max, agak penasaran dengan kios-kios yang berada di seputaran gerai martabak ini. Kenapa 3 kios ini tutup semua ya, tanyanya ke si mas penjual martabak. Dijawab santai oleh si mas, habis disuntik vaksin kemarin jadi pada demam. Kami sama sekali tidak menaruh curiga apapun, lalu pulang dengan bahagia sambil membawa sekotak kecil martabak – iya, belinya yang ukuran mini aja, isi 4 untuk dimakan gue dan si Boy. Si Babeh lagi diet makan martabak soalnya. :D

 

Sampai keesokan harinya, sepulang dari pasar, si Babeh ini laporan kalau gerai martabak yang kemarin kami beli dan 3 kios lainnya ditempeli garis kuning seperti police line gitu. Setelah tanya pak Satpam sekitar situ ternyata keempat kios itu terkena Covid 19. Whaaatttt!!! O-O

 

Hehehe, sebetulnya sih gue gak segitu parnonya dengan urusan Covid ini. Selama kami sudah menjalankan prokes dengan benar, memakai dan tidak membuka masker sembarangan, sebisa mungkin gak keluar-keluar untuk yang tidak perlu, sampai rumah cepat-cepat mandi dan semprot-semprot disinfektan, rasanya itu sudah cukup. Mau di luar sana lagi heboh dengan tingkat angka kenaikan yang terpapar, atau segala macam urusan ini itu yang terkait dengan Covid sampai ikutan geram dan membuang energi gak kira-kira di situ, sejujurnya gue gak terlalu pusing sih. Just do what we can do aja prinsip gue. Jadi begitu ada berita kalau 4 kios itu tutup, sebenarnya gak membawa pengaruh apapun ke gue. Tetap menjalani hari seperti biasa.

 

Eh, ternyata kali ini tidak semulus itu, Esmeralda!

 

Keesokkan harinya, si Babeh mulai batuk-batuk ringan. Alasannya saat itu karena habis nyemil kacang, jadi tenggorokan agak gatal. Ditambah lagi kurang tidur akibat sok-sokan begadang nonton bola liga Eropa. Lupa doi kalau rambut udah ubanan, umur dah kepala empat, sering masuk angin kalau begadang. Hadeh, udah tua, Paaak! Dari dua hal ini aja stamina udah terasa berkurang, jadilah mudah itu masuk virus-virus jahanam ke dalam tubuh.

 

Kebetulan juga, gue ini termasuk orang yang suka mengandalkan feeling atau apalah namanya itu. Jadi sebetulnya ketika kaki mau melangkah ke gerai martabak itu adalah kuncinya. Ada sebersit suara hati yang bilang untuk tidak melangkah ke sana, ada keraguan memang. Tapi sayangnya gue tidak nurut dengan si kata hati ini. Nah begitu duduk menunggu pesanan martabak, kembali lagi ada feeling kuat seperti memperingatkan akan ada konsekuensi dari pilihan gue ini. Semacam warning ya istilahnya. Ada yang suka begini juga gak sih?

 

Jadi begitu si Babeh mulai batuk 3 hari berturut-turut, seperti diingatkan kembali dari feeling ketika duduk di bangku menunggu martabak itu. Menyesalkah? Nope. Never. Gue berusaha sebisa mungkin menerima segala konsekuensi atas segala pilihan gue. Kan gue sendiri yang memilih untuk menggerakkan kaki gue ke gerai martabak itu. Jadi gue dengan penuh kesadaran tahu akan konsekuensi tidak menurut apa yang diperingatkan oleh si kata hati ini. Duh, berat yaaa. Hahaha

 

Ya, intinya, gue sudah siap-siap dengan segala sesuatunya. Gue yakin juga si Babeh juga merasakan hal yang sama, ini belum sempet gue konfirmasikan langsung dengan orangnya. Tapi biasanya sih feeling kami suka sama. Bahkan yang terburuk, yaitu kami bertiga terkena Covid bersama. Dalam 3 hari batuk-batuk ringan itu ada sempat sekali gue bahas bagaimana jika salah satu dari kami terkena Covid, apa yang harus dilakukan, teknisnya bagaimana. Juga, gue bertanya segala urusan dengan asuransi yang kami, langkah-langkah apa yang kami harus jalankan. Semua hal terburuk sudah kami skenariokan dan memikirkan jalan keluarnya. Stoik banget deh ini ya.

 

Dan apa yang sudah diduga terjadi. Hari Minggu masih juga belum sembuh batuk-batuknya, padahal si Babeh sudah mencoba berbagai cara tapi tidak berhasil. Kepala mulai pusing, ya itu, seperti dipukul pakai pentungan satpam akibat lupa bantu ngeronda malam. Lalu, mendadak pusing hilang setelah dimuntahkan dan diajak bobo siang bareng. Eh, gak usah mikir macem-macem. :D Jadi pede jaya aja kalau orderan kami besok bisa terkirim dengan baik sejalan dengan berangsur si Babeh sembuh dari batuk dan pusing. Aseli loh, ini seperti sehat banget, gak ada sakitnya sama sekali.

 

Senin pagi, begitu bangun tidur, si Babeh langsung bilang kalau penciumannya sudah tidak berfungsi baik. Roll on minyak angin yang suka dipakai gak terasa apapun di hidungnya – kaya nenek gue deh ini jaman gue kecil suka banget pake minyak angin.  Makanya gak boleh terlalu sebel sama kelakuan orang tua nanti dapet suami kaya gitu, beneran loh ini. Teori ala Ethep aja ini mah. Hahaha. Wanginya gak nampol, katanya. Pakai roll on satu lagi, sama juga, kaga nendang. Wah, gak pakai ragu-ragu lagi, gue minta dia duduk aja di pojokan, gak boleh kemana-mana dan gak boleh pegang apa-apa. Pakai masker dan pakai sarung tangan. Kebayang dong dia nulis WA pake sarung tangan, ngegelesot terus dah tuh hurufnya. :P

 

Gue pun memutuskan untuk antar sendiri pesanan makanan di hari itu, setidaknya ada sebagian bisa gue antar dan sampai ke pembeli. Disamping itu, si Babeh udah gue suruh PCR untuk memastikan dia positif atau negatif. Si Boy yang ada di rumah gue kasih tugas untuk ganti sprei kami dan memintanya untuk memberikan kamarnya untuk dijadikan tempat isoman sang Babeh. Jadi begitu selesai dari PCR, gue minta doi untuk diam-diam manis di kamar si Boy.

 

Sore itu begitu gue selesai dengan pengiriman makanan – riskan memang sih ya masih anter-anter makanan ini, gue dapat kabar bahwa si Babeh positif. Sejujurnya, tidak ada rasa khawatir ataupun takut dengan situasi ini. Apapun yang terjadi ya harus dihadapi, tinggal bagaimana pengaplikasiannya aja atas apa obrolan kami waktu itu. Satu dua hal memang tidak sesuai dengan rencana kami di awal, tapi tetap kami terima dan mencoba cari cara lain supaya semua enak dan nyaman dalam menjalani ini.

 

Sayangnya, virus sudah terlanjur menyebar. Dalam kurun waktu sehari, di hari Selasa pagi Si Boy mulai demam cukup tinggi. Mendadak dia nangis. Begitu ditanya, rupanya dia kesal dengan Babehnya yang membuat semua ini terjadi dan mengharuskan dia harus menjalankan PCR untuk tahu apakah kami berdua positif atau tidak. Pelan-pelan gue jelasin bahwa tidak semua hal sesuai dengan mau kita, ada hal yang memang harus terjadi dan harus kita terima. Dia pun cukup dewasa untuk bisa mengolah apa yang gue jelaskan, so ketika gue ajak untuk PCR pun dia hadapi dengan tenang. Meskipun dia harus menghadapi rasa takutnya ketika PCR, setelah dicolok-colok hidung dan mulutnya yang katanya gak enak banget itu, dia tetap say thank you ke petugasnya. “Makasih ya, Om.” – Mama mendadak senang, ya ampun anak gue dah gedeeee…..

 

Selanjutnya berkabar ke Ketua RT di lingkungan kami ini. Sejak Covid melanda, pengurus RT di apartemen sini cukup sigap untuk mengambil langkah lockdown di unit masing-masing bagi yang terkena Covid. Kami merasa harus berkabar dengan mereka demi kebaikan bersama ya. Dan mulailah kami diminta untuk tidak keluyuran kemana-mana dan segala paket atau hantaran harus dititip di lobby lalu dibawakan oleh mereka satu persatu ke unit kami masing-masing. Luar biasa sih pelayanannya.

 

Belum lagi dukungan dari teman-teman yang luar biasa baiknya. Bersyukur saja rasanya gak cukup deh. Beneran baik-baik banget ini teman-teman gue dan teman-teman si Babeh yang dengan sigap membantu dan menyediakan segala kebutuhan kami. Merinding rasanya dengan kebaikan yang diberikan. Kami tidak bisa dapat obat, dalam waktu kurang 1 jam, obat sudah tersedia dan sedang dikirim. Kami dikirimi begitu banyak makanan, sayur, buah, vitamin dan segala macam lah kebutuhan yang ampun gak bisa disebutkan satu-satu. Belum lagi yang mendukung kami dalam bentuk lainnya, wah, luar biasa banget. Terima kasih …terima kasih….kalian sungguh baik. Mungkin bukan kami yang dapat membantu kalian satu persatu kembali, tapi setidaknya Tuhan tahu hati dan perbuatan kalian untuk kami ini luar biasa indahnya.

 

Ya, sampai juga kami di bagian dimana kami sangat tidak menyangka harus menjalaninya. Betul, cepat atau lambat hal ini pasti akan datang, ini hanyalah masalah waktu aja. Semoga kita dapat melewatinya dengan baik dan menjadi pemenang atas virus ini. God bless!

No comments:

Post a Comment