Begitu hasil PCR dikabarkan oleh pak Suami, gue sudah
menduga kalau jawabannya adalah positif. Dari segala gejala yang muncul sudah
mengarah ke sana soalnya. Setelah batuk-batuk ringan sampai kepala pusing
seperti habis dipukul pentungan satpam, di hari keempat ini doi mulai mengeluh
hilang penciuman. Minyak angin roll on yang biasa sering dioles ke bagian dalam
maskernya sudah tidak tercium wanginya lagi. Dicoba dengan minyak angin lainnya
yang wanginya lebih nendang, juga tidak tercium. Confirm! Bapak Ali resmi sudah
menyandang sebagai penderita Covid 19.
Bagaimana ini bermula dan dimana kenanya? Sejujurnya susah
untuk dijawab, ya kan. Namanya virus, ada dimana-mana. Tidak terlihat, tidak
terdeteksi. Tapi kalau boleh mundur beberapa hari sebelumnya, kami menduganya,
mungkin saja, ketika gue lagi kepengen banget makan martabak setelah pulang
dari ngelesin hari itu – Rabu, 30 Juni 2021.
Sebetulnya sudah beberapa waktu lalu kepingin banget beli
martabak, tapi seringkali urung diniatkan beli karena ukuran seporsinya luar
biasa banyak untuk kami yang sedang mengurangi makanan manis – tentu karena
kami memang keluarga manis lah ini, eneg boleh muntah jangan ya. :D Sayangnya,
rasa kepingin itu semakin menjadi di hari Rabu itu. Jadi ketika dalam
perjalanan dari parkiran menuju ke tower unit apartemen kami, kebetulan saat
itu gue minta si Babeh ini bantu mencarikan tempat parkir, eh mendadak kaki
maunya melangkah ke gerai martabak tempat biasa kami beli. Tentunya, sambil kasih
senyum-senyum manis manja gituh ke si Babeh. Eaaaa.
Selagi kami menunggu, si Babeh yang emang dasarnya punya
rasa pingin tahu selangit – alias kepo to the max, agak penasaran dengan
kios-kios yang berada di seputaran gerai martabak ini. Kenapa 3 kios ini tutup
semua ya, tanyanya ke si mas penjual martabak. Dijawab santai oleh si mas,
habis disuntik vaksin kemarin jadi pada demam. Kami sama sekali tidak menaruh
curiga apapun, lalu pulang dengan bahagia sambil membawa sekotak kecil martabak
– iya, belinya yang ukuran mini aja, isi 4 untuk dimakan gue dan si Boy. Si
Babeh lagi diet makan martabak soalnya. :D
Sampai keesokan harinya, sepulang dari pasar, si Babeh ini
laporan kalau gerai martabak yang kemarin kami beli dan 3 kios lainnya
ditempeli garis kuning seperti police line gitu. Setelah tanya pak Satpam
sekitar situ ternyata keempat kios itu terkena Covid 19. Whaaatttt!!! O-O
Hehehe, sebetulnya sih gue gak segitu parnonya dengan urusan
Covid ini. Selama kami sudah menjalankan prokes dengan benar, memakai dan tidak
membuka masker sembarangan, sebisa mungkin gak keluar-keluar untuk yang tidak
perlu, sampai rumah cepat-cepat mandi dan semprot-semprot disinfektan, rasanya
itu sudah cukup. Mau di luar sana lagi heboh dengan tingkat angka kenaikan yang
terpapar, atau segala macam urusan ini itu yang terkait dengan Covid sampai
ikutan geram dan membuang energi gak kira-kira di situ, sejujurnya gue gak
terlalu pusing sih. Just do what we can do aja prinsip gue. Jadi
begitu ada berita kalau 4 kios itu tutup, sebenarnya gak membawa pengaruh
apapun ke gue. Tetap menjalani hari seperti biasa.
Eh, ternyata kali ini tidak semulus itu, Esmeralda!
Keesokkan harinya, si Babeh mulai batuk-batuk ringan. Alasannya
saat itu karena habis nyemil kacang, jadi tenggorokan agak gatal. Ditambah lagi
kurang tidur akibat sok-sokan begadang nonton bola liga Eropa. Lupa doi kalau
rambut udah ubanan, umur dah kepala empat, sering masuk angin kalau begadang.
Hadeh, udah tua, Paaak! Dari dua hal ini aja stamina udah terasa berkurang,
jadilah mudah itu masuk virus-virus jahanam ke dalam tubuh.
Kebetulan juga, gue ini termasuk orang yang suka
mengandalkan feeling atau apalah namanya itu. Jadi sebetulnya ketika kaki mau
melangkah ke gerai martabak itu adalah kuncinya. Ada sebersit suara hati yang
bilang untuk tidak melangkah ke sana, ada keraguan memang. Tapi sayangnya gue
tidak nurut dengan si kata hati ini. Nah begitu duduk menunggu pesanan
martabak, kembali lagi ada feeling kuat seperti memperingatkan akan ada konsekuensi
dari pilihan gue ini. Semacam warning ya istilahnya. Ada yang suka begini juga
gak sih?
Jadi begitu si Babeh mulai batuk 3 hari berturut-turut,
seperti diingatkan kembali dari feeling ketika duduk di bangku menunggu
martabak itu. Menyesalkah? Nope. Never. Gue berusaha sebisa mungkin menerima
segala konsekuensi atas segala pilihan gue. Kan gue sendiri yang memilih untuk
menggerakkan kaki gue ke gerai martabak itu. Jadi gue dengan penuh kesadaran
tahu akan konsekuensi tidak menurut apa yang diperingatkan oleh si kata hati
ini. Duh, berat yaaa. Hahaha
Ya, intinya, gue sudah siap-siap dengan segala sesuatunya. Gue yakin juga si Babeh juga merasakan hal yang sama, ini belum sempet gue konfirmasikan langsung dengan orangnya. Tapi biasanya sih feeling kami suka sama. Bahkan yang terburuk, yaitu kami bertiga terkena Covid bersama. Dalam 3 hari
batuk-batuk ringan itu ada sempat sekali gue bahas bagaimana jika salah satu
dari kami terkena Covid, apa yang harus dilakukan, teknisnya bagaimana. Juga,
gue bertanya segala urusan dengan asuransi yang kami, langkah-langkah apa yang
kami harus jalankan. Semua hal terburuk sudah kami skenariokan dan memikirkan
jalan keluarnya. Stoik banget deh ini ya.
Dan apa yang sudah diduga terjadi. Hari Minggu masih juga
belum sembuh batuk-batuknya, padahal si Babeh sudah mencoba berbagai cara tapi
tidak berhasil. Kepala mulai pusing, ya itu, seperti dipukul pakai pentungan
satpam akibat lupa bantu ngeronda malam. Lalu, mendadak pusing hilang setelah
dimuntahkan dan diajak bobo siang bareng. Eh, gak usah mikir macem-macem. :D
Jadi pede jaya aja kalau orderan kami besok bisa terkirim dengan baik sejalan
dengan berangsur si Babeh sembuh dari batuk dan pusing. Aseli loh, ini seperti
sehat banget, gak ada sakitnya sama sekali.
Senin pagi, begitu bangun tidur, si Babeh langsung bilang
kalau penciumannya sudah tidak berfungsi baik. Roll on minyak angin yang suka
dipakai gak terasa apapun di hidungnya – kaya nenek gue deh ini jaman gue kecil
suka banget pake minyak angin. Makanya
gak boleh terlalu sebel sama kelakuan orang tua nanti dapet suami kaya gitu,
beneran loh ini. Teori ala Ethep aja ini mah. Hahaha. Wanginya gak nampol,
katanya. Pakai roll on satu lagi, sama juga, kaga nendang. Wah, gak pakai
ragu-ragu lagi, gue minta dia duduk aja di pojokan, gak boleh kemana-mana dan
gak boleh pegang apa-apa. Pakai masker dan pakai sarung tangan. Kebayang dong
dia nulis WA pake sarung tangan, ngegelesot terus dah tuh hurufnya. :P
Gue pun memutuskan untuk antar sendiri pesanan makanan di
hari itu, setidaknya ada sebagian bisa gue antar dan sampai ke pembeli.
Disamping itu, si Babeh udah gue suruh PCR untuk memastikan dia positif atau negatif.
Si Boy yang ada di rumah gue kasih tugas untuk ganti sprei kami dan memintanya
untuk memberikan kamarnya untuk dijadikan tempat isoman sang Babeh. Jadi begitu
selesai dari PCR, gue minta doi untuk diam-diam manis di kamar si Boy.
Sore itu begitu gue selesai dengan pengiriman makanan –
riskan memang sih ya masih anter-anter makanan ini, gue dapat kabar bahwa si
Babeh positif. Sejujurnya, tidak ada rasa khawatir ataupun takut dengan situasi
ini. Apapun yang terjadi ya harus dihadapi, tinggal bagaimana pengaplikasiannya
aja atas apa obrolan kami waktu itu. Satu dua hal memang tidak sesuai dengan
rencana kami di awal, tapi tetap kami terima dan mencoba cari cara lain supaya
semua enak dan nyaman dalam menjalani ini.
Sayangnya, virus sudah terlanjur menyebar. Dalam kurun waktu
sehari, di hari Selasa pagi Si Boy mulai demam cukup tinggi. Mendadak dia
nangis. Begitu ditanya, rupanya dia kesal dengan Babehnya yang membuat semua
ini terjadi dan mengharuskan dia harus menjalankan PCR untuk tahu apakah kami
berdua positif atau tidak. Pelan-pelan gue jelasin bahwa tidak semua hal sesuai
dengan mau kita, ada hal yang memang harus terjadi dan harus kita terima. Dia
pun cukup dewasa untuk bisa mengolah apa yang gue jelaskan, so ketika gue ajak
untuk PCR pun dia hadapi dengan tenang. Meskipun dia harus menghadapi rasa
takutnya ketika PCR, setelah dicolok-colok hidung dan mulutnya yang katanya gak
enak banget itu, dia tetap say thank you ke petugasnya. “Makasih ya, Om.” –
Mama mendadak senang, ya ampun anak gue dah gedeeee…..
Selanjutnya berkabar ke Ketua RT di lingkungan kami ini.
Sejak Covid melanda, pengurus RT di apartemen sini cukup sigap untuk mengambil
langkah lockdown di unit masing-masing bagi yang terkena Covid. Kami merasa
harus berkabar dengan mereka demi kebaikan bersama ya. Dan mulailah kami
diminta untuk tidak keluyuran kemana-mana dan segala paket atau hantaran harus
dititip di lobby lalu dibawakan oleh mereka satu persatu ke unit kami
masing-masing. Luar biasa sih pelayanannya.
Belum lagi dukungan dari teman-teman yang luar biasa
baiknya. Bersyukur saja rasanya gak cukup deh. Beneran baik-baik banget ini
teman-teman gue dan teman-teman si Babeh yang dengan sigap membantu dan
menyediakan segala kebutuhan kami. Merinding rasanya dengan kebaikan yang
diberikan. Kami tidak bisa dapat obat, dalam waktu kurang 1 jam, obat sudah
tersedia dan sedang dikirim. Kami dikirimi begitu banyak makanan, sayur, buah,
vitamin dan segala macam lah kebutuhan yang ampun gak bisa disebutkan
satu-satu. Belum lagi yang mendukung kami dalam bentuk lainnya, wah, luar biasa
banget. Terima kasih …terima kasih….kalian sungguh baik. Mungkin bukan kami
yang dapat membantu kalian satu persatu kembali, tapi setidaknya Tuhan tahu hati dan perbuatan
kalian untuk kami ini luar biasa indahnya.
Ya, sampai juga kami di bagian dimana kami sangat tidak
menyangka harus menjalaninya. Betul, cepat atau lambat hal ini pasti akan
datang, ini hanyalah masalah waktu aja. Semoga kita dapat melewatinya dengan
baik dan menjadi pemenang atas virus ini. God bless!
No comments:
Post a Comment