Suatu waktu di salah satu sekolah TK di bilangan Jakarta
Pusat. Sudah waktunya masuk jam istirahat, bel pun berbunyi. Selang beberapa
menit kemudian, anak-anak berhamburan keluar dari ruang kelas yang dibuka lebar
oleh para guru. Seketika itu juga seluruh taman bermain dipenuhi oleh teriakan,
cekikikan sampai tawa riang gembira dari anak-anak yang heboh bermain dan juga
berlarian kesana kemari saling kejar-kejaran. Tentu saja semua anak TK pasti
menyukai jam istirahat. Siapa yang tidak? Jam istirahat artinya main sepuasnya.
Kebetulan pula taman bermain di sekolah itu cukup komplit permainannya. Semakin
bahagia lah setiap anak yang bersekolah di sana.
Begitupun dengan si gadis kecil tomboy ini. Ia pun sangat
menyukai jam istirahat. Tanpa ragu-ragu ia akan menuju ke mainan favoritnya,
ayunan. Ia akan menunggu gilirannya dengan sabar karena ayunan di tempat
bermain bisa dihitung jumlahnya. Begitu sudah waktunya ia mendapat giliran, ia
akan mengayun ayunannya setinggi mungkin. Ia senang ketika mendapati wajahnya
diterpa oleh angin ketika ayunannya bergerak menuju ke atas. Ia akan terus
mengulang dan mengulang sampai sudah waktunya teman yang mengantri berikutnya
mengoceh untuk bergantian main. Biasalah, namanya juga anak bocah. Yang antri
tidak sabar, yang main lupa diri. Biasa kan itu. Hihihi.
Setelah puas bermain ayunan, ia akan menuju ke mainan perosotan.
Perosotan yang ada taman bermain sekolah ini bagi si gadis kecil tomboy ini
cukup keren pada saat itu. Untuk mencapai perosotan di atas sana tidak hanya
mengandalkan tangga semata, tetapi banyak cara untuk dapat sampai di atas
sebelum meluncur ke bawah. Bentuknya seperti pelatihan tentara, menurutnya. Ada
tangga tegak dari kayu yang disusun berjarak, ada pula tali tambang untuk
membantu naik ke atas. Pokoknya keren lah baginya. Begitu sampai di atas, si
gadis kecil tomboy ini pun agak berlagak seperti layaknya berhasil memenangkan
perang dengan mengambil bendera lawan, sebelum akhirnya meluncur turun dari
perosotan.
Puas dengan bermain perosotan, ia tidak serta merta berhenti
di sana. Ia akan berkeliling mencari permainan lainnya. Namun sayangnya hampir
semua permainan penuh. Ia tidak terlalu suka bermain jungkat jungkit ataupun
tempat duduk yang diputar-putar, rasanya bikin pusing. Ia pun menuju ke tiang
gelantungan yang berbentuk setengah lingkaran, atau sekarang lebih dikenal
dengan nama Monkey Bar. Mungkin ketika anak bergelantungan dari satu tiang ke
tiang lainnya jadi lebih mirip monyet gitu ya. Hahaha.
Sebetulnya si gadis kecil tomboy ini juga tidak terlalu suka
sih bermain di tiang gelantungan, selain mirip monyet #eh, sepertinya tangannya
tidak terlalu kuat menahan beban badannya – padahal badannya bukan termasuk
yang montok berisi gitu loh, cukup ramping dan tinggi tapi tidak menjulang. Ia
pun tidak suka menaiki di atasnya tiang gelantungan itu, karena cukup panik ketika
sudah sampai di pertengahan lalu bingung untuk melangkah turun. Entahlah,
pokoknya ia tidak terlalu menyenangi permainan tiang gelantungan ini. Tapi ini
ya satu-satunya yang agak sepi dari permainan yang lainnya.
Ketika ia sudah tidak terlalu minat untuk bermain lagi,
sontak matanya melihat ke tumpukan oranye di pojokan taman bermain. Seperti ada
panggilan untuk berjalan ke sana, namun urung ia lakukan. Ia sudah melihatnya
berhari-hari tapi tidak punya keberanian untuk menuju ke sana sendiri. Ia takut
dianggap aneh oleh teman-temannya. Ataupun ia takut akan dimarahi oleh ibu guru
yang mengawasi mereka.
Namun rasa ingin tahunya ini seperti tidak dapat terbendung
lagi. Ia pun mulai memikirkan satu rencana dan hari itu harus segera ia
jalankan. Bel selesai istirahat berbunyi. Ketika anak-anak sibuk berlarian
meninggalkan taman bermain menuju ke kelas masing-masing, ia pun ikut berlari.
Tetapi ia tidak berlari seperti teman-temannya, ia berlari ke arah tumpukan
oranye itu. Tidak ada yang memperhatikannya, bahkan ibu guru pun tidak karena
sibuk mengangon anak-anak kembali ke kelas. Lalu ia pun jongkok di tumpukan
oranye tersebut. Ia melihat ke kanan, ke kiri, ke belakang. Tidak ada orang
yang melihat ke arahnya. Lalu jari-jari kecilnya mengambil sebongkah potongan oranye
kecil dari tanah dan menjilatnya.
Bweeehh!! Si gadis kecil tomboy ini langsung melepeh
bongkahan kecil yang berhasil terjilat oleh lidahnya. Rasanya kok tidak sama
seperti yang dipikirkannya. Ini tidak enak, menurutnya. Lalu ia cepat-cepat
membuang bongkahan potongan oranye tadi sembarangan dan lari secepat mungkin
menuju kelasnya. Untung saja ia belum ketinggalan dari barisan terakhir, dan
gurunya belum sadar kalau ia tertinggal. Ibu guru pun langsung mengunci kelas
mereka setelah memastikan tidak ada murid yang tertinggal di luar kelas.
Ah, apa sih yang dipikirkannya sehingga ia meniatkan diri
untuk berencana dan mencoba potongan kecil oranye itu. Jangan sampai ada yang
melihatnya dan mentertawakan kebodohannya. Kebodohan ini biar disimpan saja
sendiri sampai kapanpun. Tidak boleh ada yang tahu ini. Pikirnya sambil
berjalan menuju ke kursi kecilnya, sambil melirik ke sekeliling kelas takut ada
yang menyadari apa yang dilakukannya. Untungnya rahasia ini aman sampai hari
ini.
Nah, saat ini mungkin waktunya pengakuan.
Mungkin sudah bisa menebak siapa si gadis kecil tomboy itu.
Iyes, gue!!!!! :P :P :P
Dan kalian bisa tebak apa yang gue jilat di hari itu? Yaaaa.
Keponya anak kecil yang lugu menyamakan batu bata dengan oncom yang pernah
dimasak Emak –panggilan nenek dari pihak nyokap. Bayangan gue saat itu warnanya
yang oranye sungguh menggugah selera, rasanya sama enaknya dan sedapnya. Entah
apa ya nama masakannya, tapi kalau sekarang diingat-ingat mungkin saat itu Emak
masak Toge Goreng yang pakai oncom orens-orens itu. Kebayang kan enaknya,
sampai bisa dilirik berhari-hari itu tumpukan batu bata berwarna oranye di
pojokan taman bermain, seakan-akan memanggil untuk dikunyah dan dimakan.
“Satu ide datang, memercikkan api di benak kita, dan
tiba-tiba sudut pandang kita telah diperbaharui. Kita menyebut pengalaman ini
dengan banyak nama: inspirasi, pencerahan, a-ha moment, eureka. Minat
intelektual kita digugah, hati kita diperkaya, pendirian kita dibentuk, dan
karakter kita dibangun.” – Cinta Yang Berpikir, hal 41.
Layaknya sebuah ide, ada rasa ingin tahu sampai diniatkan
membuat rencana agar bisa mencoba batu bata apakah sama dengan rasa oncom yang
menggugah selera saat itu. Kalau dipikir sih, kok bisa ya sampai terpikir
seperti itu. Agak ajaib memang pikirannya. Tapi, jangan salahkan ide anak kecil
yang baru hidup di dunia beberapa tahun lah ya. Anggap saja itu lugu, sampai punya
rasa ingin tahu yang tinggi. Meski emang agak kebablasan sih. Hahahahaha…..
No comments:
Post a Comment