Belajar Matematika yang Menghidupkan - Lievell

Saturday, April 24, 2021

Belajar Matematika yang Menghidupkan


Diskusi mingguan bersama teman-teman CM Jakarta masuk ke dalam topik bahasan mempelajari Matematika. Lalu timbul satu pertanyan, “Apakah belajar Matematika dapat juga dipelajari secara living?” – cakep banget pertanyaan nih.


Siapa sih yang tidak menjadikan Matematika sebagai mata pelajaran yang momok banget. Bukan hanya rambut aja yang bisa dibikin keriting, Matematika sukses berat bikin setiap orang yang keluar dari sekolah itu juga jadi keriting. Banyak banget yang melambaikan tangan ke kamera deh kalau dah berurusan dengan yang namanya Matematika. Iya apa iya banget? Ngakuuuu….


Sebetulnya, mempelajari Matematika itu ternyata tidak sehoror yang ditakutkan oleh semua anak, termasuk orang tua yang pernah juga mengalaminya dulu ketika di bangku sekolah. Memang sistem di sekolah itu seolah menggegas anak untuk balapan dalam mempelajari Matematika. Paham tidak paham materi terus berjalan tanpa kenal kata berhenti. Ya, namanya juga sistem dan begitu pulalah cara kerjanya seperti yang sudah dipahami bersama, berlaku satu untuk semua – macam slogannya TV swasta gitu deh.


Ketika sudah masuk dalam urusan sistem sekolah, berarti anak siap diberlakukan sama. Siap untuk menerima materi pelajaran yang sama. Siap juga mengikuti runtutan materi yang sama juga. Namun sayangnya, tidak semua anak memiliki percepatan yang sama dalam menerima materi di sekolah. Ketika ada anak yang lamban, misalnya saja ketika anak itu tidak juga dapat menghafal perkalian padahal teman-temannya sudah hafal mati perkalian, langsung saja cap ‘bodoh’ menempel sempurna di dahi anak. Hanya karena satu masalah ia terlambat memahami konsep perkalian, tapi cap tersebut tanpa disadari sudah melekat di benak anak bahwa ia adalah anak bodoh.


Kenyataannya, setiap anak adalah born person. Tidak bisa membandingkan ‘apple to apple’ kepada setiap anak, karena ya semua anak itu unik. Setiap anak memiliki kecepatan yang berbeda dalam setiap bidang. Tidak bisa satu anak dengan anak yang lain dianggap sama. Kakak beradik saja berbeda, begitu juga dengan anak kembar yang tidak sama satu dengan lainnya meskipun mereka memiliki wajah dan bentuk tubuh yang serupa. Lalu mengharapkan anak mampu mengikuti sistem kurikulum di sekolah yang sudah terstruktur rapi itu ya tentu tidak mudah bagi setiap anak. Pastinya sewaktu-waktu akan ada satu titik dimana anak akan melamban dan tidak dapat memahami materi pelajaran.


Lantas, bagaimana kelanjutan hubungan kita dengan Matematika, apa perlu kita putus aja ini? Hahaha.


Bagaimanapun juga belajar Matematika itu ya harus. Semua yang ada di sekitar kita ini terkait erat dengan yang namanya Matematika. Kalau yang namanya ke pasar,melakukan transaksi tawar menawar (pake urat pula!) dengan pedagang di pasar, ya jelas ini terkait erat banget dengan Matematika. Tapi coba deh lihat sekitar kita, rumah yang kita tempati, makanan yang kita makan, sabun yang kita pakai dan masih banyak lagi semuanya itu adalah bentuk dari perpanjangan Matematika. Semua terkait erat dengan angka.


Kita perlu berterima kasih dengan filsuf Phytagoras yang berhasil membuat The Fresco of Spanish Chapel dari hasil temuannya mengutak-atik rumus Matematika dan salah satunya ya rumus segitiga Phytagoras itu. Di saat itu semua filsuf hanya menaruh perhatian penuh pada urusan Human Race, tapi Phytagoras menemukan hal lain bahwa semua yang ada di semesta kita terkait erat dengan yang namanya Matematika. Kebayang banget sih betapa senangnya beliau saat itu bisa menemukan hal penting seperti ini dan berguna bagi masyarakat sampai detik ini.


Aku sendiri banyak belajar mengenal Matematika sejak mulai mempelajari filosofinya Charlotte Mason. Ketika memilih homeschool pun tidak serta merta membuatku paham bagaimana mengajari si Boy berMatematika. Sempat aku berada di lubang kenistaan, halah bahasanya. :D Ketika si Boy berumur 8 tahun dan masih menggunakan materi belajar Matematika kurikulum sekolah, sempat ia nangis tersedu-sedu karena aku memaksanya menghafal perkalian dan juga memarahinya karena tidak juga paham pembagian. Padahal menurut materi, di usia segitu anak sudah harus bisa dong pembagian. Lagi-lagi ya, mamak si manusia yang punya emosi seperti gunung Merapi ini, begitu anaknya sudah nangis tersedu-sedu minta berhenti belajar, bukannya berhenti eh mamak masih ngomel panjang kali lebar kali tinggi kali diagonal dan masih tetap maksa untuk mengerjakan soal. Ampun deh! – mau jitak emaknya gak sih ini?! :D


Bersyukurnya setelah mengenal CM dan sempat juga berguru dengan seorang teman yang memang ahli dalam bidang Matematika, pelan namun pasti teknik belajar pun berubah. Dari teman ini aku banyak belajar bagaimana mengenal konsep itu perlu dan bagaimana dalam mempelajari Matematika itu tidak perlu seperti dalam area balapan layaknya Michael Schumacher di Formula 1. Pelan-pelan saja tanpa harus digegas itu perlu banget dipahami oleh orang tua dan para pengajar.  Aku pernah menulis hasil belajarku di
sini
.


Dari diskusi kemarin dan hasil dari keroyokan baca artikel tentang Matematika dari berbagai sumber yang ditulis para praktisi CM di luar sana, kira-kira begini teknisnya ketika Matematika dipelajari.


Ketika mulai mengenalkan anak usia dini dengan Matematika, kenalkan terlebih dahulu konsep konkrit sebelum mengenalkan konsep abstrak. Angka 1-10 itu abstrak bagi anak yang baru mengenal konsep Matematika. Anak belum paham relasinya angka 1 dengan bentuk konkrit 1 apel. Jadi yang perlu diperkenalkan dalam keseharian adalah benda-bendanya terlebih dahulu. “Dek, Mama punya 2 apel nih. Mama mau kasih Adek 1 apel ya. Satunya lagi buat Mama ya.” Terus berulang konsep ini dibahasakan dalam keseharian anak-anak dalam berbagai bentuk obrolan ringan dan benda di sekitar. Sehingga ketika anak mempelajari konsep angka 1-10, ia sudah bisa merelasikan bahwa 1 apel yang diberikan oleh Mama sama dengan angka 1, dan seterusnya. Cara sederhana namun ternyata anak sudah mempelajari konsepnya.


Begitupun ketika mulai mengajarkan konsep tambah dan kurang ke anak usia dini yang sudah paham relasi antara angka dan jumlah konkrit bendanya. “Dek, Mama punya 5 permen nih. Mama mau bagi permennya ah ke Adek 2 aja. Mama mau bagi juga ke Kakak 2 permen. Wah, sekarang Mama punya berapa permen nih ya?” Tentunya, jadikan ini semua bukan untuk sesuatu yang digegas. Tujuannya kan hanya supaya anak paham konsep. Buatlah seringan dan sesantai mungkin dalam obrolan sehari-sehari dengan anak. Hari ini belum paham, tenang Bun…masih ada hari esok. J


Lanjut ke usia sekolah. Layaknya rumah, pondasi itu perlu banget. Begitu juga dalam belajar Matematika. Usahakan anak paham dulu konsep pertambahan sebelum ia paham konsep pengurangan. Kenapa begitu? Ya kalau tambah-tambahan aja masih belum ajeg, gimana pondasinya kuat untuk pengurangan. Kalau anaknya bosan dengan tambah-tambahan terus gimana dong? Nah, belajar Matematikanya berapa lembar dalam sehari? Kalau belajar tambah-tambahannya 10 lembar, ya siapa yang gak bosen sih.


Durasi dalam belajar Matematika pun tidak perlu panjang. Ketika awal aku mengganti pola belajar Si Boy di usianya ke 8, aku menerapkan kembali ke awal untuk tahu dimana sebetulnya dia tidak paham. Aku memulainya kembali dari pertambahan 1-5, 1-10, 1-20, terus bertambah sampai ribuan dan ini dikerjakan hanya 10 nomor setiap hari dengan durasi dari hanya 5 menit sampai 10 menit. Ini ketika masih tambah-tambahan ya. Begitu sudah masuk di pengurangan, mulai lah ia melamban dalam mengerjakannya. Masih 10 nomor, tapi ketika mulai masuk pengurangan seperti 175-28, ia melamban. Waktu pengerjaannya pun sudah melebih 10 menit. Dan mulailah ketemu permasalahannya. Di pondasi pengurangan lah ia mulai tidak bisa. Ketika sudah tahu di situ permasalahannya, aku mulai memberikan soal-soal yang terkait dengan pengurangan. Setelah mulai mudah dilakukan olehnya, baru kami kembali maju. Ini pun selangkah demi selangkah lagi.


Masuk di perkalian. Urusan perkalian pun bukan perkara mudah, tapi aku mempercayakan si Boy untuk menghitung dengan caranya tersendiri. Ia tidak pernah menghafal perkalian. Ia menemukan caranya tersendiri dalam berhitung perkalian. Begini kira-kira yang aku ingat. Misalnya 8 x 6, ia akan menghitung 8 x 2 terlebih dahulu (karena ia ingat ini dengan mudah), lalu ia tambahkan 16 tiga kali. Memang ribet banget ya kelihatannya, tapi ini cara dia memahami perkalian. Setelah ribuan purnama, maksudnya saat ini di usianya 12 tahun, dengan sendirinya ia bisa melogikakan bahwa 8 x 6 = 48, tanpa perlu menghafal tabel perkalian.


Setelah selesai dengan perkalian, baru masuklah ke konsep pembagian yang tidak kalah membutuhkan waktu. Belum lagi ketika konsep ini masuk ke dalam soal cerita yang membutuhkan penalaran dari anak. Semua butuh proses dan tentunya proses memahami konsep dan nalar anak ini butuh waktu yang cepat. Ketika anak digegas dari satu materi ke materi lain tanpa ia tahu konsep dan nalarnya berjalan, tentu yang ada anak merasa tertekan. Lalu kalau sudah tertekan, apakah anak mampu memahami materi yang diberikan? Jawabannya bisa dijawab masing-masing di rumah ya, gak perlu dikumpulkan. Eaaa….


Kenapa anak perlu belajar pondasi tambah, lalu kurang, lalu kali dan terakhir pembagian? Karena keempat ini adalah pondasi dasar dalam Matematika. Ketika anak sudah paham, maka dengan mudahnya anak belajar perpanjangan materi seperti misalnya pecahan, desimal, persentase, keliling, luas bangun, volume dan sebagainya. Begitupun dengan durasi belajar dan lembar soal yang diberikan. Cukup durasi singkat namun konsisten diberikan setiap hari. Tidak perlu berlembar-lembar soal yang dikejar dalam satu waktu. Ini akan menjadikan minat anak dalam belajar Matematika tetap terjaga. Ketika anak dirasa sudah mulai lelah, berikan waktu istirahat sejenak sebelum ia memulai lagi atau kalau mamak legowo, ya dikerjakan saja besok. Dunia gak kiamat juga sih besok karena anak kita gak kelar belajar Matematikanya hari ini. :P


Selain karena sistem di sekolah yang terus berkejaran seperti dulu takut ketinggalan bis kota, pengajar pun menjadi momok tersendiri ya kenapa anak jadi hilang minat belajar Matematika. Mencari pengajar yang pintar Matematika itu mudah, tapi mencari pengajar yang tidak hanya pintar tapi juga bersemangat dalam mengajar itu yang jadi perkara saat ini. Belum tentu orang yang pintar Matematika itu mampu juga mentransfer ilmunya dengan baik ke anak murid. Justru yang terjadi adalah pengajar yang punya sejarah buruk dengan Matematika tapi dengan semangat (passion) tinggi untuk mengenal Matematika lah yang mampu mengajar muridnya.


Aku sih ngaku aja ya, dulu pas sekolah ya paling sering dikeluarin dari kelas. Ya entah bikin rusuh di kelas, atau jadi tuduhan guru karena dianggap bikin ribut di kelas, udah biasa banget berdiri di luar kelas. Jadi ya belajar Matematika mah ke laut aje jaman sekolah dulu tuh. Setiap ada PR, ya nyontek. Setiap ada ulangan, bikin contekan rumus. Eh begitu ngerjain soal ulangan lalu buka contekannya, ya buset, ini rumus dipakainya gimana?! Gubrak! :D :D


Lulus dari sekolah ya jelas banget gagal paham banget sama yang namanya Matematika. Tapi kehidupan banyak mengajarkan sih. Lucunya malah dipertemukan dengan Matematika. Setiap kali diminta mengajar les privat, lagi-lagi orang tua berharap guru yang bisa mengajarkan Matematika. Akhirnya mau tidak mau, pelan tapi pasti, mulailah aku terpapar sedikit banyak dengan Matematika. Dari yang awalnya gelap buta, pengalaman hampir 20 tahun mengajar memberikan satu pencerahan juga. Akhirnya sampai di titik, aku paham bagaimana anak menganggap Matematika sebagai momok dan berharap sekali aku mampu membantu mereka keluar dari pemikiran tersebut. Seperti pepatah umum, semua ada waktunya pada akhirnya. Semoga saja ya.


Belajar Matematika itu bukan hanya sekadar perkara mengejar nilai semata dalam pelajaran sekolah. Melatih nalar dan logika serta paham konsep itu jauh lebih penting. Bagaimana Matematika bisa menjadi hidup dalam keseharian kita, kembali ke diri masing-masing semuanya.

No comments:

Post a Comment