Wah, udah pasti deh banyak yang tunjuk tangan, eh gak
keliatan lah ya kalau tunjuk tangan. Mungkin reaksi kalian pasti
manggut-manggut sambil senyum-senyum sendiri. Ya, sama dong dengan aku!
Belajar Sejarah itu jadi momok tersendiri jaman sekolah
dulu, selain belajar Matematika, Fisika, Kimia, PPKN, Bahasa Indonesia, Biologi
(laah, semua pelajaran ini mah ya. :P). Benar atau benar? Rasanya hafalan
paling menakutkan itu ya pelajaran Sejarah karena hafalnya harus benar, gak
boleh meleset. Kebayang kan kalau nama orang salah atau tahun perang salah,
kelar sudah nilai ujian kita. Pulang-pulang tinggal manyun kasih liat kertas
ulangan ke orang tua. Bagus kalau hanya dipelototin aja, tapi kalau kemoceng
yang mampir di betis, bah!
Pasti semua setuju ya kalau belajar Sejarah di sekolah itu
membosankan (banget). Rata-rata semua buku pelajaran Sejarah berkutat dengan
tanggal, tahun, nama tempat, nama orang yang semuanya itu menjadi beban tersendiri
bagi kita untuk menghafalnya. Apalagi, setelah selesai ujian semua hafalan itu
seperti menguap, yang sampai sekarang entah tersimpan di bagian sisi mana dari
otak kita. Tidak heran kalau kita menjadi malas mengenal lebih jauh tentang
sejarah. Jangankan sejarah dunia, sejarah negara kita saja pasti malas banget
untuk dipelajarinya.
Menurut Charlotte Mason, sejarah itu merupakan bagian vital
dari pendidikan. Hal dimana semua orang rasanya wajib dan mutlak perlu tahu
tentang sesuatu yang terjadi di masa lampau supaya bisa memandang segala
sesuatunya lebih adil di saat ini. Bagaimana bisa begitu?
Generasi muda saat ini sedikit banyak memilih untuk apatis
akan sejarah. Mereka hanya fokus dengan hidup mereka saat ini saja dan tidak
cukup perduli dengan sejarah yang terjadi di masa lalu. Rasa sentimentil pada
situs-situs kuno ataupun tempat-tempat bersejarah dimana peristiwa besar
terjadi pun tidak banyak menggugah pemikiran mereka akan arti pentingnya
sejarah. Padahal, sikap patriotisme dalam pribadi seseorang itu sangat
diperlukan. Ditambah lagi, generasi tua yang tidak memiliki cukup minat untuk
menceritakan kembali sejarah di masa lampau, sehingga semakin lunturlah rasa
patriotisme di generasi muda saat ini. Patriotisme yang rasional dan bijak
sangat tergantung pada seseorang, apakah ia banyak membaca sejarah atau tidak.
Pada akhirnya, ini kembali ke pendidikan dasar, yaitu
sekolah. Bagaimana sekolah menanggapi pelajaran Sejarah di setiap jenjang
pendidikan? Ya, seperti yang kita ketahui juga, pelajaran Sejarah di sekolah
pun sama sekali tidak menarik. Tahun berulang, begitupun dengan pelajaran
Sejarah yang selalu dipelajari dengan gaya yang sama dan dengan buku yang
kering, hanya berisikan deretan fakta-fakta yang membuat anak didik menjadi
bosan untuk mempelajarinya.
Sebenarnya, anak-anak itu sangat tertarik dengan sejarah.
Mereka akan bisa memperhatikan dengan konsentrasi penuh kalau saja materi yang
diberikan kepada mereka adalah materi belajar yang berkualitas dengan cita rasa
sastrawi daripada buku-buku kering yang berisikan deretan fakta untuk dihafal
oleh anak-anak. Metode dengan prinsip sekali baca lalu meminta anak menarasikan
kembali apa yang sudah dibaca oleh guru juga jauh lebih efektif. Memberikan
penilaian setelah ujian tertulis justru menjadi beban tersendiri bagi anak.
Tugas guru (orang tua) sebagai fasilitator juga memiliki
peran yang sangat penting. Menjadi guru yang berpengetahuan dan memiliki
simpati mendalam terhadap pengetahuan itu tersendiri adalah tugas yang perlu
diemban oleh sang guru dalam menumbuhkan minat anak dalam belajar. Guru tidak
perlu banyak menjelaskan dan juga tidak perlu banyak menginterupsi ketika anak
bernarasi. Ya pasti pada awalnya anak
akan kewalahan ketika diminta untuk bernarasi, tapi lambat laun anak-anak akan
menemukan iramanya dan fasih dalam bernarasi. Tanpa disadari, anak-anak akan
bisa bernarasi dengan panjang lebar. Guru pun tidak diminta memberikan komentar
akan narasi anak, justru guru perlu sangat hati-hati dalam mengeluarkan
pendapat.
Kenapa bernarasi, bukan menghafal?
Bernarasi justru membuat anak lebih memahami dan tidak
membuat anak butuh untuk remidi, mengulang kembali materi yang sudah
dipelajari. Anak-anak pun jadi lebih bisa memperhatikan secara utuh dan penuh
konsentrasi di mana keduanya itu adalah naluri alamiah dan tidak butuh dipaksakan.
Anak-anak jadi belajar untuk menyadari pikirannya sendiri supaya tidak
mengembara melainkan fokus dengan materi yang diberikan. Membaca atau
mendengarkan teks yang dibacakan dengan penuh perhatian justru membuat akal
budi anak lebih bekerja.
“Bersandar pada memori akal budi, kita memvisualisasikan adegan, menerima argumen, menikmati susunan kalimat, dan membingkai semuanya dalam bahasa kita sendiri, lalu perikop atau bab tersebut kita serap dan menjadi bagian dari diri kita tak ubahnya pencernaan kita menyerap hidang yang kita lahap semalam; ini malah lebih dari makanan, karena makanan kemarin sudah nyaris tak berbekas lagi besok, tapi bacaan yang kita konsumsi dan hidupkan secara jernih, detil, dan akurat, kita narasikan langsung sejak pertama kali menyimaknya, bisa berbekas selama berbulan-bulan. Semua kuasa akalbudi dilibatkan dalam menangani makanan intelektual itu. Jadi kita sebaiknya tidak usah mendikte anak dengan rangkaian pertanyaan komprehensif, membuatkan ilustrasi-ilustrasi cantik untuk membantunya berimajinasi, mengeksplisitkan pesan moral untuk menggugah nuraninya. Semua itu akan terjadi sendirinya saat anak mencerna bacaan.” - Vol 6 pg 174
Pekerjaan setelahnya adalah mencari buku sejarah dengan cita
rasa sastrawi. Bisa dibilang tidak semua negara berhasil menceritakan
sejarahnya dalam bentuk sastrawi ataupun naratif yang enak dibaca oleh
anak-anak. Biasanya buku sejarah diceritakan dalam bentuk deretan fakta dengan
segitu banyaknya tokoh cerita dan tahun-tahun yang tentunya menjadi sangat
membosankan untuk dibaca. Ini memang semacam mencari jarum dalam tumpukan
jerami. Ada, tapi perlu usaha keras dalam mencarinya. Memang butuh ekstra
semangat.
Melihat dari pengalaman pribadi, bertahun-tahun tidak pernah
mengerti tentang sejarah negeri sendiri ataupun negara lain, kami mencoba mengaplikasikan
metode ini terhadap pendidikan rumah yang kami jalani beberapa tahun terakhir
ini. Membacakannya buku, hanya sekali baca, lalu memintanya menarasikan kembali
ternyata menjadi sangat efektif untuk Fritz, anak kami. Berusaha untuk tetap
fokus terhadap bacaan yang sedang dibacakan juga menjadi bagian yang sangat
penting untuk melatih daya konsentrasinya. Selain itu, bersama-sama kami
membuat catatan lini masa (time line/ Book of Century) setiap kali kami
menemukan tanggal atau tahun bersejarah.
Mungkin ini terkesan terlalu santai dalam mempelajari
sejarah. Tidak ada penghafalan nama, tahun, perisitiwa dan juga tidak ada ujian
tertulis yang perlu dinilai, hanya perlu konsentrasi dan bernarasi. Nyatanya,
setiap cerita yang diceritakan kembali justru menjadi kepingan puzzle yang
tersusun rapi di dalam pikirannya yang sewaktu-waktu dapat direlasikan antara
sejarah bangsa satu dengan bangsa lainnya. Seperti ketika ia mengetahui
kematian Richard Wagner, salah satu komposer, terjadi di tahun yang sama dengan
meletusnya gunung Krakatau di tahun 1883. Menarik ya!
Ini akan menjadi hal yang luar biasa ketika seseorang mempunyai gambaran utuh sejarah sebagai latar belakang pemikirannya. Tidak perlu harus bisa menyebutkan tempat dan tanggal peristiwanya dengan presisi setiap sejarah yang terjadi. Setidaknya kita tahu bahwa di setiap isu selalu ada banyak sekali pertimbangan dari pihak terkait sehingga ini juga bisa jadi pertimbangan bagi generasi muda agar terselamatkan dari opini yang dangkal dan aksi yang terburu-buru. Akalbudi yang sigap dan berwawasan akan menuntun pada sikap santun dan hidup bersahaja.
"Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang." - Soekarno
No comments:
Post a Comment