Bersejarah.. - Lievell

Saturday, September 5, 2020

Bersejarah..

 


Siapa disini yang setuju kalau belajar Sejarah itu membosankan?


Wah, udah pasti deh banyak yang tunjuk tangan, eh gak keliatan lah ya kalau tunjuk tangan. Mungkin reaksi kalian pasti manggut-manggut sambil senyum-senyum sendiri. Ya, sama dong dengan aku!


Belajar Sejarah itu jadi momok tersendiri jaman sekolah dulu, selain belajar Matematika, Fisika, Kimia, PPKN, Bahasa Indonesia, Biologi (laah, semua pelajaran ini mah ya. :P). Benar atau benar? Rasanya hafalan paling menakutkan itu ya pelajaran Sejarah karena hafalnya harus benar, gak boleh meleset. Kebayang kan kalau nama orang salah atau tahun perang salah, kelar sudah nilai ujian kita. Pulang-pulang tinggal manyun kasih liat kertas ulangan ke orang tua. Bagus kalau hanya dipelototin aja, tapi kalau kemoceng yang mampir di betis, bah!


Pasti semua setuju ya kalau belajar Sejarah di sekolah itu membosankan (banget). Rata-rata semua buku pelajaran Sejarah berkutat dengan tanggal, tahun, nama tempat, nama orang yang semuanya itu menjadi beban tersendiri bagi kita untuk menghafalnya. Apalagi, setelah selesai ujian semua hafalan itu seperti menguap, yang sampai sekarang entah tersimpan di bagian sisi mana dari otak kita. Tidak heran kalau kita menjadi malas mengenal lebih jauh tentang sejarah. Jangankan sejarah dunia, sejarah negara kita saja pasti malas banget untuk dipelajarinya.


Menurut Charlotte Mason, sejarah itu merupakan bagian vital dari pendidikan. Hal dimana semua orang rasanya wajib dan mutlak perlu tahu tentang sesuatu yang terjadi di masa lampau supaya bisa memandang segala sesuatunya lebih adil di saat ini. Bagaimana bisa begitu?


Generasi muda saat ini sedikit banyak memilih untuk apatis akan sejarah. Mereka hanya fokus dengan hidup mereka saat ini saja dan tidak cukup perduli dengan sejarah yang terjadi di masa lalu. Rasa sentimentil pada situs-situs kuno ataupun tempat-tempat bersejarah dimana peristiwa besar terjadi pun tidak banyak menggugah pemikiran mereka akan arti pentingnya sejarah. Padahal, sikap patriotisme dalam pribadi seseorang itu sangat diperlukan. Ditambah lagi, generasi tua yang tidak memiliki cukup minat untuk menceritakan kembali sejarah di masa lampau, sehingga semakin lunturlah rasa patriotisme di generasi muda saat ini. Patriotisme yang rasional dan bijak sangat tergantung pada seseorang, apakah ia banyak membaca sejarah atau tidak.


Pada akhirnya, ini kembali ke pendidikan dasar, yaitu sekolah. Bagaimana sekolah menanggapi pelajaran Sejarah di setiap jenjang pendidikan? Ya, seperti yang kita ketahui juga, pelajaran Sejarah di sekolah pun sama sekali tidak menarik. Tahun berulang, begitupun dengan pelajaran Sejarah yang selalu dipelajari dengan gaya yang sama dan dengan buku yang kering, hanya berisikan deretan fakta-fakta yang membuat anak didik menjadi bosan untuk mempelajarinya.


Sebenarnya, anak-anak itu sangat tertarik dengan sejarah. Mereka akan bisa memperhatikan dengan konsentrasi penuh kalau saja materi yang diberikan kepada mereka adalah materi belajar yang berkualitas dengan cita rasa sastrawi daripada buku-buku kering yang berisikan deretan fakta untuk dihafal oleh anak-anak. Metode dengan prinsip sekali baca lalu meminta anak menarasikan kembali apa yang sudah dibaca oleh guru juga jauh lebih efektif. Memberikan penilaian setelah ujian tertulis justru menjadi beban tersendiri bagi anak.


Tugas guru (orang tua) sebagai fasilitator juga memiliki peran yang sangat penting. Menjadi guru yang berpengetahuan dan memiliki simpati mendalam terhadap pengetahuan itu tersendiri adalah tugas yang perlu diemban oleh sang guru dalam menumbuhkan minat anak dalam belajar. Guru tidak perlu banyak menjelaskan dan juga tidak perlu banyak menginterupsi ketika anak bernarasi.  Ya pasti pada awalnya anak akan kewalahan ketika diminta untuk bernarasi, tapi lambat laun anak-anak akan menemukan iramanya dan fasih dalam bernarasi. Tanpa disadari, anak-anak akan bisa bernarasi dengan panjang lebar. Guru pun tidak diminta memberikan komentar akan narasi anak, justru guru perlu sangat hati-hati dalam mengeluarkan pendapat.


Kenapa bernarasi, bukan menghafal?


Bernarasi justru membuat anak lebih memahami dan tidak membuat anak butuh untuk remidi, mengulang kembali materi yang sudah dipelajari. Anak-anak pun jadi lebih bisa memperhatikan secara utuh dan penuh konsentrasi di mana keduanya itu adalah naluri alamiah dan tidak butuh dipaksakan. Anak-anak jadi belajar untuk menyadari pikirannya sendiri supaya tidak mengembara melainkan fokus dengan materi yang diberikan. Membaca atau mendengarkan teks yang dibacakan dengan penuh perhatian justru membuat akal budi anak lebih bekerja.


“Bersandar pada memori akal budi, kita memvisualisasikan adegan, menerima argumen, menikmati susunan kalimat, dan membingkai semuanya dalam bahasa kita sendiri, lalu perikop atau bab tersebut kita serap dan menjadi bagian dari diri kita tak ubahnya pencernaan kita menyerap hidang yang kita lahap semalam; ini malah lebih dari makanan, karena makanan kemarin sudah nyaris tak berbekas lagi besok, tapi bacaan yang kita konsumsi dan hidupkan secara jernih, detil, dan akurat, kita narasikan langsung sejak pertama kali menyimaknya, bisa berbekas selama berbulan-bulan. Semua kuasa akalbudi dilibatkan dalam menangani makanan intelektual itu. Jadi kita sebaiknya tidak usah mendikte anak dengan rangkaian pertanyaan komprehensif, membuatkan ilustrasi-ilustrasi cantik untuk membantunya berimajinasi, mengeksplisitkan pesan moral untuk menggugah nuraninya. Semua itu akan terjadi sendirinya saat anak mencerna bacaan.” - Vol 6 pg 174


Pekerjaan setelahnya adalah mencari buku sejarah dengan cita rasa sastrawi. Bisa dibilang tidak semua negara berhasil menceritakan sejarahnya dalam bentuk sastrawi ataupun naratif yang enak dibaca oleh anak-anak. Biasanya buku sejarah diceritakan dalam bentuk deretan fakta dengan segitu banyaknya tokoh cerita dan tahun-tahun yang tentunya menjadi sangat membosankan untuk dibaca. Ini memang semacam mencari jarum dalam tumpukan jerami. Ada, tapi perlu usaha keras dalam mencarinya. Memang butuh ekstra semangat.


Melihat dari pengalaman pribadi, bertahun-tahun tidak pernah mengerti tentang sejarah negeri sendiri ataupun negara lain, kami mencoba mengaplikasikan metode ini terhadap pendidikan rumah yang kami jalani beberapa tahun terakhir ini. Membacakannya buku, hanya sekali baca, lalu memintanya menarasikan kembali ternyata menjadi sangat efektif untuk Fritz, anak kami. Berusaha untuk tetap fokus terhadap bacaan yang sedang dibacakan juga menjadi bagian yang sangat penting untuk melatih daya konsentrasinya. Selain itu, bersama-sama kami membuat catatan lini masa (time line/ Book of Century) setiap kali kami menemukan tanggal atau tahun bersejarah.


Mungkin ini terkesan terlalu santai dalam mempelajari sejarah. Tidak ada penghafalan nama, tahun, perisitiwa dan juga tidak ada ujian tertulis yang perlu dinilai, hanya perlu konsentrasi dan bernarasi. Nyatanya, setiap cerita yang diceritakan kembali justru menjadi kepingan puzzle yang tersusun rapi di dalam pikirannya yang sewaktu-waktu dapat direlasikan antara sejarah bangsa satu dengan bangsa lainnya. Seperti ketika ia mengetahui kematian Richard Wagner, salah satu komposer, terjadi di tahun yang sama dengan meletusnya gunung Krakatau di tahun 1883. Menarik ya!


Ini akan menjadi hal yang luar biasa ketika seseorang mempunyai gambaran utuh sejarah sebagai latar belakang pemikirannya. Tidak perlu harus bisa menyebutkan tempat dan tanggal peristiwanya dengan presisi setiap sejarah yang terjadi. Setidaknya kita tahu bahwa di setiap isu selalu ada banyak sekali pertimbangan dari pihak terkait sehingga ini juga bisa jadi pertimbangan bagi generasi muda agar terselamatkan dari opini yang dangkal dan aksi yang terburu-buru. Akalbudi yang sigap dan berwawasan akan menuntun pada sikap santun dan hidup bersahaja.


"Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang." - Soekarno

No comments:

Post a Comment