Sekelar menonton drama Korea berjudul Reply 1988 mendadak banyak perasaan campur aduk bergelut di hati. Drama yang berbalut komedi dengan alur tema keluarga dan persahabatan di era 80an akhir ini mampu sekali membuat gue terbawa perasaan yang mendalam dan yang paling dirasa adalah rasa kangen dengan kehidupan masa kecil gue. Benar-benar sukses membangkitkan nostalgia.
Alkisah cerita ini berawal dari 5 anak kecil yang tinggal bertetangga
satu dengan yang lainnya dalam satu gang yang bernama Ssangmundong. Dikarenakan
mereka sering bermain bersama, otomatis persahabatan pun terjalin diantara
mereka berlima. Mulai dari kecil sampai akhirnya perjalanan drakor ini dimulai
ketika mereka sudah masuk di usia 18 tahun atau setara kelas 2 SMA (sepertinya
umur mereka boros yee, umur segitu belum kelar sekolah :D). Adalah Sung
Deok-sun, Sung Sun-woo, Kim Jung-hwan, Ryu Dong-ryong dan Choi Taek nama-nama 5
sekawan yang tinggal bersama dengan keluarga mereka masing-masing di gang
tersebut.
Mereka sering sekali berkumpul bersama di rumahnya Choi Taek
atau biasa suka dipanggil dengan sebutan Taek-ki. Ia merupakan pendatang
terakhir di gang itu dan ibunya sudah meninggal sejak ia kecil. Ia pemain Baduk
yang sudah go international dan ia memutuskan tidak sekolah karena profesinya
ini. Karena ia sering kali bertanding di luar negeri, momen kepulangan dia
sekelar dari bertanding pasti ditunggu oleh teman-temannya. Dering telepon berantai
di antara rumah mereka pasti berbunyi saling memberi kabar dan dalam sekejab
mereka sudah berada di kamar Taek-ki. Kegiatan mereka selama kumpul ini, selain
menanyakan menang atau kalah dalam pertandingannya, mereka biasanya nonton film
sambil nyemil atau makan ramen kuah dalam satu panci yang dimakan rame-rame dan
diakhiri dengan menginap bersama.
Momen-momen kocak banyak terjadi selama mereka kumpul bareng
ini. Ada satu momen dimana Taek-ki kalah bertanding. Dimana semua orang
berusaha menghiburnya dengan tidak menanyakan apapun tentang kekalahannya
ataupun berusaha memberikan ini itu supaya dia tidak larut dalam kekalahannya.
Eh begitu teman-temannya ini masuk ke dalam kamarnya dan mendapati Taek-ki
sedang duduk termenung di depan papan Baduknya, gak ada kata manis ataupun
menghibur, yang ada justru dibego-begoin (dikatain bego) kenapa harus sedih
gara-gara kalah gitu doang. Namanya juga permainan pasti ada menang ada kalah,
ya diterima aja. Lo mau teriak dan mengumpat sialan, bangsat, kampret juga gak
papa kali biar hati lo lega, ya habis itu berjuang lagi. Kira-kira begitulah
mereka ngomong, dan memang itu yang diperlukan sama Taek-ki. Begitu dia
mengumpat, dia merasa lega dan justru malah bisa ketawa lepas. Apalagi
mengumpatnya itu pake diajarin dulu dan dikata-katain dulu, kurang kasar,
kurang kenceng, kurang..kurang. Sampai akhirnya dia lega setelah teriak-teriak
kaya gitu. Nah, habis itu pasti ada aja kelakuan dari dua temen ajaibnya, yaitu
si Deok-sun dan Dong-ryong, yang biasanya langsung mulai dengan joget-joget gak
jelas ala 80an gitu, yang pasti sontak ini bikin ketiga temen-temennya ngakak
gak berenti melihat mereka. Atau kebiasaan kentut sebelum tidur dari si
Dong-ryong yang bikin emosi jiwa dan biasanya berakhir digebukin rame-rame.
Bau, man!
Persahabatan ini yang mengingatkan gue dengan teman-teman di
masa kecil gue. Cerita gue gak beda jauh dari kisah di Reply 1988 ini. Gue
besar di satu komplek dan bersekolah dari SD sampai lulus SMA di sekolah
komplek juga. Otomatis teman-teman gue selama 12 tahun ya 4L, Lo Lagi Lo Lagi,
dengan pertambahan teman hanya sedikit sekali di setiap jenjang pendidikan.
Karena inilah kami cukup mengenal satu sama lain. Kami saling tahu dimana rumah
si itu, si ini, si ana, si anu berikut juga kenal dengan orang tuanya
masing-masing. Ketika telepon sudah masuk di komplek kami, kami pun saling
menghafal nomor telepon dalam sekali pencet untuk sekadar tanya PR, tanya lo
ada di rumah apa gak, ataupun ngobrol di telepon yang bikin emak babeh gue suka
teriak karena tagihan telepon bengkak. Tak jarang juga kami saling bermain
berjam-jam di rumah teman, entah sekadar mengobrol, nonton film, sampai makan
siang ataupun nyemil sore di sana. Sering juga kegiatan kami setiap sore naik
sepeda bersama keliling komplek, pernah juga ada masa main roller blade bareng,
berenang bersama di kolam renang komplek atau bahkan jalan pagi bersama di kala
libur sekolah yang berujung dengan makan bakmi.
Bertambahnya umur, persahabatan kelima kawan dari Ssangmundong
ini mulai menunjukkan saling suka satu sama lain. Ada kisah cinta segitiga
diantara mereka berlima, dimana Deok-sun, si satu-satunya perempuan di geng
mereka yang mempunyai kelakuan ajaib yang rasanya urat malunya udah putus dari
kapan tau itu, merasa GR dengan Sun-woo. Deok-sun merasa Sun-woo naksir dia.
Setiap kali Sun-woo mampir ke rumah, kelakuan si Deok-sun mirip cacing
kepanasan. Pernah dia kabur masuk kamar, begitu keluar kamar dia sudah
berdandan menor hanya karena Sun-woo mampir ke rumahnya untuk minjem apa gitu. Gilingan
memang Deok-sun, bikin ngakak abis. Eh ternyata seringnya Sun-woo mampir itu
hanya untuk melihat kakaknya Deok-sun, Kak Bo-ra lewat minjem ini itu dari
Deok-sun. Hancur sudah hatinya Deok-sun, sampai mewek karena merasa ditolak dan
kesel kenapa Sun-woo naksir kakaknya.
Di lain sisi, ternyata ada Jung-hwan dan Choi Taek yang
diam-diam naksir Deok-sun yang tentunya Deok-sun ini sama sekali gak sadar
dong. Jung-hwan si cowok cool yang irit bicara ini sebetulnya sudah beberapa
kali kasih sinyal ke Deok-sun, semisal jagain Deok-sun ketika di bus lagi padat
banget supaya Deok-sun gak terjungkal kanan kiri depan belakang, belum lagi
Jung-hwan yang diam-diam nungguin Deok-sun sepulang sekolah sambil bawa payung
karena sedang hujan, dan berbagai macam sweet small things PDKT ala-ala gitu. Menyenangkan
sih lihat momen-momen PDKTnya si Jung-hwan ini. Hihihi.
Beda lagi dengan Choi Taek. Taek-ki ini bisa dibilang hanya
pintar main Baduk aja, untuk hal lain bisa dibilang terbelakang banget. Makan
pakai sumpit aja kesusahan, sampai-sampai Dong-ryong suka gemes liat Taek-ki
gak bisa-bisa ambil daging atau mie dengan sumpit. Biasanya Deok-sun langsung
ambil garpu atau sendok begitu melihat situasi ini. Tidak bisa ikat tali
sepatu. Pernah sampai ditolong oleh Jung-hwan dan Taek-ki memilih tidak membuka-buka
lagi tali sepatu yang dibantu Jung-hwan itu. Belum lagi pernah diomelin
Deok-sun habis-habisan karena kepolosannya Taek-ki yang minjemin duit ke siapa
aja yang minta.
Dasar emang cinta itu buta ya. Meskipun Taek-ki mempunyai IQ
139, tapi dia sering banget dikerjain oleh Deok-sun yang hanya memiliki IQ 99.
Ini kocak deh. Ada satu momen dimana mereka ditinggalin di pantai oleh
teman-temannya. Deok-sun meminta dompet Taek-ki dan dilihatnya Taek-ki membawa
uang yang banyak, lalu Deok-sun bilang akan mentraktir Taek-ki dan Taek-ki
iya-iya aja. Duit duitnya siapa cobaaa. Dodol emang. Selama nunggu ini,
Deok-sun membeli snack ringan semacam Cheetos dan menawarkan Taek-ki. Ketika
Taek-ki membuka mulutnya siap disuapin Deok-sun, bukan snack yang masuk mulut
melainkan jari Deok-sun. Berkali-kali dikerjain kaya gini tapi gak
pinter-pinter juga si Taek-ki, dia tetep mangap dan berakhir dengan jari
Deok-sun yang masuk. Haizz, ini ngakak abis.
Mungkin karena care-nya Deok-sun ke Taek-ki yang bikin Taek-ki
jadi suka dengan Deok-sun ya. Momen banget ketika Deok-sun harus nemenin
Taek-ki bertanding ke Cina. Deok-sun terkaget-kaget ketika tahu kalau Taek-ki
sebelum bertanding bisa sampai gak keluar dari kamar dan gak makan. Belum lagi
dia cukup shock melihat Taek-ki ternyata merokok untuk menghilangkan stressnya
sebelum bertanding. Melihat ini dan sudah dikasih tau oleh bokapnya Taek-ki,
Deok-sun sudah menyiapkan segala keperluan Taek-ki selama bertanding. Biar
Deok-sun dodol sedodol-nya ya, dia paham juga gimana mengurus Taek-ki. Dia bawa
matras penghangat dari rumahnya – ini bikin Bo-ra emosi karena dia jadi
kedinginan menggigil karena matrasnya penghangatnya dibawa si Deok-sun :D :D, dan
ditaruh di bawah sprei tempat tidur Taek-ki di hotel karena pas musim dingin di
Cina. Deok-sun juga menyiapkan pakaiannya Taek-ki untuk bertanding, dia taruh
di mana Taek-ki bisa lihat – sampai hal kaya gini aja juga Taek-ki gak bisa, doeng
banget ini orang emang ye. Sampai beliin makanan dan bikinin telur ceplok di
dapur hotel buat Taek-ki makan. Kalau gak ada Deok-sun kelar udah hidupnya
Taek-ki kali ya. Ampun deh.
Hal-hal semacam ini, cinta-cintaan monyet, juga terjadi di
area komplek gue semasa gue SMP-SMA. Cerita si ini lagi PDKT ke si itu, lalu
pacaran, putus dan PDKT dengan siapa lagi, udah menjadi cerita yang hilir mudik
di telinga kami. Kadang merasa komplek gue tinggal ini mirip kisahnya Beverly
Hills 90210, halah! Saking segitu banyaknya kisah romantis picisan ala-ala anak
abegeh saat itu yang bertebaran di seantero komplek. Lucu kalau diingat.
Komplek itu saksi bisu banget mengenang cerita cinta monyet kami semua.
Selain kisah persahabatan kelima kawan tadi, yang gak kalah
seru adalah kisah masing-masing keluarga dan antar tetangga di gang Ssangmundong.
Masing-masing mempunyai kisah tersendiri yang gak kalah kocak dan mengharu
biru. Beberapa kali gue nangis mengingat kisah-kisah keluarga mereka mirip
dengan kisah keluarga gue sendiri. Ya setiap keluarga pasti punya kisahnya
masing-masing dan melalui drama ini setidaknya ada irisan yang sama dan
terelasi dengan keluarga kita sendiri.
Seperti ketika Bo-ra mau belajar hukum dan harus masuk
asrama. Ibu dan kedua adiknya mengantar Bo-ra dengan sedih di depan rumah,
sedangkan Ayahnya memilih sok cuek dengan pergi kerja di hari itu seolah-olah
ini hal biasa aja kok, gak perlu bersedih. Eh ternyata Ayahnya tidak berangkat
kerja, malah nungguin Bo-ra lewat di pinggir jalan lalu memberhentikan mobil
Bo-ra dan memberikan obat-obatan untuk di asrama nanti. Ah, sedihnya momen ini.
Ayah yang sayang banget dengan anak sulungnya yang notabene serupa tapi tak
sama wataknya ini. Ditambah lagi ketika Deok-sun diminta Ibunya mengantar
kepiting untuk ransum kakaknya di asrama. Deok-sun sempat kesal karena harus
berjalan jauh demi Bo-ra, tetapi begitu sampai disana ia melihat kamar asrama
Bo-ra yang kecil banget. Seketika Deok-sun langsung memeluk Bo-ra dan menangis.
Biar gimanapun siblings still siblings ya, meskipun kesel tapi kalau lihat
saudaranya susah tetap saja sedih. Ah…
Dan tentunya di balik kisah-kisah mellow masing-masing
keluarga, banyak juga hal-hal kocak yang bikin ngakak setiap nontonnya.
Kelakuan para suami istri, ayah ibu dari kelima kawan itu, yang konyolnya ampun
deh. Paling gokil sebetulnya keluarga Jung-hwan. Kebayang gak sih anaknya cool
abis gitu, irit bicara, tapi emak bapaknya koplak abis. Ada-ada aja kelakuan
mereka. Pernah sotoy bokapnya benerin setrikaan emaknya, sedikit-sedikit tali kabelnya
dipotong sampai akhirnya kabelnya tinggal 30 cm doang. Emaknya udah emosi aja
itu. Apalagi pas dipakai buat nyetrika, yang ada mejanya yang harus digeser
sana sini supaya bisa ke-strika pakaiannya. Bikin tambah emosi si emak, kocak
ini.
Begitu banyak nostalgia ketika menonton drama satu ini.
Sukses banget membuat gue tertawa terbahak-bahak sampai guling-guling di kasur
dan juga menangis sesegukan bersamaan. Ceritanya sangat ringan tapi nyata dalam
kehidupan sehari-hari di tahun-tahun itu. Bagaimana persahabatan antar teman
terjalin hanya dengan main bersama tanpa sibuk oleh gadget. Menghabiskan
berjam-jam di rumah teman sambil dengerin lagu sambil tiduran di kasur atau
lantai dan bercerita ini itu. Sampai tiba waktunya kami semua sibuk dengan
urusan masing-masing dan satu persatu meninggalkan komplek untuk
menjelajahi dunia masa depan. Memori tetap terkenang sepanjang masa,
meskipun momen tersebut hanya menjadi kisah yang melekat di ingatan.
Kosambi Baru, biarlah tetap menjadi saksi bisu perjalanan
hidup gue di tahun 90an.
No comments:
Post a Comment