Masih jelas di ingatan ketika mengikuti retret, entah di sekolah
ataupun ketika di kuliah - karena waktu itu aktif berkegiatan di salah satu kegiatan
mahasiswa yang bernafaskan keagamaan. Malam sebelum pulang dari acara tersebut
pasti kami diminta berkumpul dalam satu aula besar, lampu dimatikan dan
penerangan hanya berasal dari lilin yang kami pegang masing-masing. Hening,
dingin, dan temaram sambil diiringi dengan musik yang mengalun pelan. Suasana
dibuat syahdu sekali. Suara pembawa acara pun tidak kalah lembut, kata-kata
yang mengalir dari mulutnya sedikit demi sedikit membuat kami yang duduk sambil
menunduk di sana terbawa dalam larutan perasaan. Menggiring kami ke dalam
ingatan-ingatan dosa yang pernah kami lakukan, khususnya terhadap orang tua
kami. Tidak lama kemudian, terdengar
sayup-sayup segukan tangisan seseorang entah di mana di ruangan itu. Disusul
oleh teman sebelah yang juga tidak kalah sesegukannya dari suara sebelumnya,
membuat pertahanan diri sendiri pun jebol dan ikut terlarut dalam suasana.
Sehingga malam itu adalah malam dimana kita berjanji untuk tidak lagi mengulang
kembali dosa yang sama terhadap orang tua kita. Berjanji untuk menjadi anak
yang baik, tidak mau melawan orang tua, tidak mau berkata-kata jahat lagi kepada
orang tua dan segala macam janji yang berharap dapat dipegang untuk seumur
hidup. Lalu, sehari dua hari berlalu, seminggu berlalu, apakah janji yang pernah
kita tancapkan di hati saat itu mampu kita pegang dan buktikan?
Refleksi singkat ini sebetulnya diangkat oleh seorang teman
dalam diskusi mingguan kami di CM Jakarta. Ini jadi mengingatkan ya, bahwa kita
ini erat sekali dibentuk dalam sentuhan perasaan emosi yang sering diobok-obok
macam Joshua kecil lagi ngobok air bareng Tukul Arwana saat itu dengan riang
gembira. Entah lewat cerita, entah lewat lagu, tapi sering banget membuat kita
jadi terjatuh dalam larutan perasaan yang mendalam. Ikutan sedih, lalu mewek
sejadi-jadinya. Dibuat nelangsa banget deh perasaannya. Kalau dah begini tuh
jadi keinget sama drakor deh, entah udah berapa ember itu kalau dikumpulin air mata
gue gara-gara nonton drakor. Huahahahahahha.
Lantas apakah segala hal yang disentuh dengan perasaan emosi
ini mampu bertahan lama?
Coba diingat kembali, apakah sepulang dari retret lalu kita
menjadi manusia yang baru? Iya, tapi tidak bertahan lebih dari seminggu lalu
kita akan kembali ke habit lama yang memang sudah mengendap sempurna di dalam diri
kita. Ya gak sih?
Banyak hal di kehidupan kita ini kerap sekali dibuat dengan
mengedepankan ide-ide yang membuat orang lebih tersentuh secara emosi.
Perasaannya yang dimainkan. Membuat logika jadi malas untuk diaktifkan. Ataupun
dimatikan sama sekali. Seperti halnya ketika berbicara tentang dosa, “Tidak
boleh bohong, nanti dosa dan masuk neraka loh.” Lagi-lagi situasi dibuat untuk
menyentuh ke perasaan bahwa ‘berbuat dosa itu menyeramkan loh. Jadi jangan
sekali-kali berbuat dosa kalau kamu tidak mau masuk neraka.’ Lalu, ketika anak
mulai bertanya, “Memangnya neraka seseram apa, Ma?” Karena belum pernah masuk
dan nyicipin neraka seperti apa, orang tua pun tidak bisa menjawabnya. Hanya
mampu menerapkan bahwa jangan pernah sesekali bohong kalau tidak mau masuk
neraka dan titik, jangan berdebat lagi soal itu. Akhirnya, anak-anak pun
mencoba untuk tidak melakukan kebohongan karena ada rasa takut, bukan karena
diajak berpikir lebih dalam menggunakan logikanya.
Emosi (perasaan) dan logika. Dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya erat dan berkaitan untuk dijalankan bersama. Tidak bisa
mengandalkan emosi saja tapi lupa mengajak logika untuk bekerja. Bahasan yang
tampak sederhana tapi sebetulnya cukup mendalam ya. Begitulah awal obrolan kami
ketika membuka halaman pertama buku Ourselves, tulisannya Ibu Charlotte Mason
yang ditulis di awal tahun 1900an itu. Ini adalah buku Volume ke 4 dari 6 seri
bukunya. Dalam buku ini akan banyak mengajak kita untuk kenal lebih dalam
tentang diri kita sendiri yang diibaratkan layaknya pemerintahan kota. Ini
memang buku jadul, tapi masih sangat erat kaitannya dengan kehidupan kita
sampai saat ini.
Tunggu aja tulisan berikutnya yaaaa……
No comments:
Post a Comment