Ourselves - Menemukan Diri Sendiri - Lievell

Monday, September 13, 2021

Ourselves - Menemukan Diri Sendiri

 


Masih jelas di ingatan ketika mengikuti retret, entah di sekolah ataupun ketika di kuliah - karena waktu itu aktif berkegiatan di salah satu kegiatan mahasiswa yang bernafaskan keagamaan. Malam sebelum pulang dari acara tersebut pasti kami diminta berkumpul dalam satu aula besar, lampu dimatikan dan penerangan hanya berasal dari lilin yang kami pegang masing-masing. Hening, dingin, dan temaram sambil diiringi dengan musik yang mengalun pelan. Suasana dibuat syahdu sekali. Suara pembawa acara pun tidak kalah lembut, kata-kata yang mengalir dari mulutnya sedikit demi sedikit membuat kami yang duduk sambil menunduk di sana terbawa dalam larutan perasaan. Menggiring kami ke dalam ingatan-ingatan dosa yang pernah kami lakukan, khususnya terhadap orang tua kami.  Tidak lama kemudian, terdengar sayup-sayup segukan tangisan seseorang entah di mana di ruangan itu. Disusul oleh teman sebelah yang juga tidak kalah sesegukannya dari suara sebelumnya, membuat pertahanan diri sendiri pun jebol dan ikut terlarut dalam suasana. Sehingga malam itu adalah malam dimana kita berjanji untuk tidak lagi mengulang kembali dosa yang sama terhadap orang tua kita. Berjanji untuk menjadi anak yang baik, tidak mau melawan orang tua, tidak mau berkata-kata jahat lagi kepada orang tua dan segala macam janji yang berharap dapat dipegang untuk seumur hidup. Lalu, sehari dua hari berlalu, seminggu berlalu, apakah janji yang pernah kita tancapkan di hati saat itu mampu kita pegang dan buktikan?


Refleksi singkat ini sebetulnya diangkat oleh seorang teman dalam diskusi mingguan kami di CM Jakarta. Ini jadi mengingatkan ya, bahwa kita ini erat sekali dibentuk dalam sentuhan perasaan emosi yang sering diobok-obok macam Joshua kecil lagi ngobok air bareng Tukul Arwana saat itu dengan riang gembira. Entah lewat cerita, entah lewat lagu, tapi sering banget membuat kita jadi terjatuh dalam larutan perasaan yang mendalam. Ikutan sedih, lalu mewek sejadi-jadinya. Dibuat nelangsa banget deh perasaannya. Kalau dah begini tuh jadi keinget sama drakor deh, entah udah berapa ember itu kalau dikumpulin air mata gue gara-gara nonton drakor. Huahahahahahha.


Lantas apakah segala hal yang disentuh dengan perasaan emosi ini mampu bertahan lama?


Coba diingat kembali, apakah sepulang dari retret lalu kita menjadi manusia yang baru? Iya, tapi tidak bertahan lebih dari seminggu lalu kita akan kembali ke habit lama yang memang sudah mengendap sempurna di dalam diri kita. Ya gak sih?


Banyak hal di kehidupan kita ini kerap sekali dibuat dengan mengedepankan ide-ide yang membuat orang lebih tersentuh secara emosi. Perasaannya yang dimainkan. Membuat logika jadi malas untuk diaktifkan. Ataupun dimatikan sama sekali. Seperti halnya ketika berbicara tentang dosa, “Tidak boleh bohong, nanti dosa dan masuk neraka loh.” Lagi-lagi situasi dibuat untuk menyentuh ke perasaan bahwa ‘berbuat dosa itu menyeramkan loh. Jadi jangan sekali-kali berbuat dosa kalau kamu tidak mau masuk neraka.’ Lalu, ketika anak mulai bertanya, “Memangnya neraka seseram apa, Ma?” Karena belum pernah masuk dan nyicipin neraka seperti apa, orang tua pun tidak bisa menjawabnya. Hanya mampu menerapkan bahwa jangan pernah sesekali bohong kalau tidak mau masuk neraka dan titik, jangan berdebat lagi soal itu. Akhirnya, anak-anak pun mencoba untuk tidak melakukan kebohongan karena ada rasa takut, bukan karena diajak berpikir lebih dalam menggunakan logikanya.


Emosi (perasaan) dan logika. Dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya erat dan berkaitan untuk dijalankan bersama. Tidak bisa mengandalkan emosi saja tapi lupa mengajak logika untuk bekerja. Bahasan yang tampak sederhana tapi sebetulnya cukup mendalam ya. Begitulah awal obrolan kami ketika membuka halaman pertama buku Ourselves, tulisannya Ibu Charlotte Mason yang ditulis di awal tahun 1900an itu. Ini adalah buku Volume ke 4 dari 6 seri bukunya. Dalam buku ini akan banyak mengajak kita untuk kenal lebih dalam tentang diri kita sendiri yang diibaratkan layaknya pemerintahan kota. Ini memang buku jadul, tapi masih sangat erat kaitannya dengan kehidupan kita sampai saat ini.


Tunggu aja tulisan berikutnya yaaaa……


No comments:

Post a Comment