Siapa yang mampu menolak diskonan? Rasanya hampir tidak ada
ya.
Seperti gue yang belakangan ini tergiur dengan promo
diskonan dari merchant online. Padahal bisa dibilang gue bukan penggemar pesan
makanan secara online selama ini loh. Bisa dihitung dengan jari kayanya pesan
makanan via online tuh. Pilihan selalu jatuh ke masak sendiri ataupun datang
langsung ke restorannya. Bukan anak jajan online lah pokoknya. Jadi jangan
pernah nanya resto apa atau makanan apa yang lagi hype saat ini sama gue ya. :D
Lalu, ada satu waktu dimana gue tergiur banget buat ikutan
membeli makanan cepat saji lewat promo resto di online. Bayangkan satu ember
ayam yang isinya 9 potong, yang harganya biasanya seratus ribuan ke atas,
setelah lewat promo mendadak harganya bisa sekitar 50rban sampai 75rban. Besar
kecilnya diskonan yang didapat itu tergantung seberapa besar iman dan amal
ibadah lo sama aplikasi tersebut. Semakin sering lo belanja di sana, maka
diskonan pun semakin besar. Nah, kalau dah begini siapa sih yang gak tergiur? Langsung
deh gue cepet-cepet ikutan beli dan pejeng hasil diskonan gue di IG story.
Jelas, ini mah dalam rangka pamer ceritanya! Hohohohoo…
Selesai sampai di situ? Tentu tidak.
Hari berikutnya, ada promo lainnya lagi. Serupa, dapat
potongan diskon gila-gilaan sehingga harga makanan bisa jadi kurang dari
separuh, dan ini sudah berikut ongkos kirimnya pula. Coba, siapa yang gak
ngiler kalau dah begini?! Hampir setiap hari kerjaan gue mantengin dari satu
aplikasi ke aplikasi lainnya demi kepuasaan batin melihat yang diskonan. Waktu
habis cuma buat sekrol sana, sekrol sini. Iyes, kurang kerjaan banget emang
gue. Dan gak jarang juga hasil sekrolan itu dituntaskan, alias beneran jadi
belanja. Duh, jangan ditanya betapa bangga akan pencapaian diskon yang gue
dapatkan setelah makanannya datang. :D :D
Tapiiii…..
Apa efeknya setelah ini? Tentu, selain kantong mulai
terkuras karena jadi rajin transfer ke merchant-merchant itu, efek lainnya
adalah bertambahnya berat badan dan eksim yang semakin gatal di kaki. Gimana
nggak, makanan yang dijual kan pasti erat banget sama terigu, manis dan gurih.
Jelas banget gue gak bisa makan terigu, eksim jadi gatal dan pengen digaruk
terus. Manis, kalau udah manis orangnya ditambah makan manis, ya jadi lebih
kan. Makanya berat gue gak turun-turun, malah jadi nambah karena manis gue
kelebihan. Kalau gurih, duh, ini mah jangan ditanya lagi. Semua makanan yang dibeli
di luar, apalagi fast food dan kekinian dah pasti gurihnya tiada duanya deh.
Bikin kerongkongan gatel dan pengen minum terus.
Yah, begitulah yang terjadi ketika nalar secara impulsif
membenarkan kelakuan kita. Tanpa menilik lagi, apakah yang gue lakukan benar
atau tidak, tapi membenarkan bahwa diskonan ini nyata loh. Murah loh. Sayang
kalau gak beli. Kapan lagi. Nyesel loh nanti. Dan segudang alasan untuk
membenarkan argumen kalau gue memang harus belanja makanan dari resto yang
promonya gila-gilaan itu. Lupa dengan efeknya, lupa dengan kantong bolongnya,
lupa sama berat badan yang naik terus. Lupa semua-muanya.
Membahas soal nalar ini sangat terkait erat dengan apa yang
gue bahas kemarin bersama dengan teman-teman diskusi buku Cinta Yang Berpikir.
Selama 6 bulan terakhir, gue bersama dengan belasan ibu-ibu (dan seorang kawan
yang dengan sadar menyemplungkan diri masuk ke dalam diskusi kami padahal
menikah saja belum. Keren emang kawan gue ini!) membahas banyak hal yang
berkaitan dengan filosofi pendidikan ala Charlotte Mason. Sampailah kami di bab
terakhir dan pembahasannya pun semakin mendalam. Kami membahas tentang
bagaimana Kehendak, Nalar dan Hati Nurani mempunyai peran yang sangat penting
sekali dalam setiap kondisi dan situasi di kehidupan kita.
Ketiga piranti ini menjadi pusat dalam menuntun kita untuk
berpikir dan bertindak. Nalar contohnya. Ia adalah piranti paling netral. Ia
bekerja ketika akal pikiran kita menuntunnya ke suatu ide. Misalnya seperti
promo tadi. Sifatnya sebetulnya netral bagi gue. Tapi ketika ada keinginan kuat
untuk mengikuti nafsu, maka nalar seolah membenarkan banyak alasan sehingga gue
pun jatuh dan terbuai dengan promo tersebut. “Gak apa-apa lah beli, kan
sesekali.” “Kapan lagi, kan jarang belanja online.” “Si Boy pasti suka deh
kalau gue beliin.” Lihat, segitu banyak alasan untuk membenarkan bahwa promo
ini “ya harus dibeli!’ Nalar diarahkan untuk condong menyetujui alasan-alasan
yang dikemukakan.
Ini sekadar contoh masalah promo. Sederhana memang, tapi
semakin sering nalar diajak membenarkan segala alasan, maka akal pikiran kita
lama kelamaan tidak dapat lagi berpikir mana yang benar, mana yang perlu, mana
yang butuh, dan mana yang tidak. Garisnya menjadi tidak kentara atau bahkan
menjadi hilang sama sekali. Sehingga tidak dapat lagi memutuskan hal-hal yang
prinsipil, melainkan menjadi ikut dengan kerumunan. Ketika ada promo makanan A
enak, semua akan berbondong-bondong membeli makanan tersebut. Ketika ada diskon
tas bermerek atau skincare ternama, semua akan membeli karena takut tidak
menjadi sama dengan yang lain.
Setelah itu, ada Kehendak yang menjadi teman dari nalar.
Kehendak ini terbagi menjadi dua, yang aku ingini (I want) dan yang aku
kehendaki (I will). Mungkin terkesan sama ketika membaca keduanya. Tapi
sebetulnya ini berbeda. Ketika berbicara tentang ‘I want’ – yang aku ingini,
secara tidak langsung inilah yang membenarkan semua alasan dari nalar ketika
gue terbuai dengan promo tadi. Lantas, apa bedanya dengan ‘I will’ – yang aku
kehendaki? Sebuah fakta bahwa ketika gue terbuai dengan promo tersebut banyak
efek yang terjadi setelahnya – kantong bolong, eksim menjadi, berat badan naik.
Gue abai dengan fakta ini karena masih mengikuti keinginan (I want) tadi itu
tapi melupakan apa yang seharusnya gue kehendaki (I will) – berhenti membeli
makanan promo online karena sudah tidak sesuai dengan prinsip (kantong bolong
karena kebanyakan jajan) dan eksim menjadi-jadi (gatal-gatal itu gak enak
banget tau!!) plus sebel banget melihat timbangan yang meroket.
Teman berikutnya adalah Hati Nurani. Semua orang sudah pasti
tahu lah apa itu hati nurani. Tapi jika kita bicara tentang promo online tadi, dimana
kaitannya dengan hati nurani? Semakin sering belanja online untuk sesuatu yang
bersifat ‘I want’ saja, maka otomatis gue mengeluarkan uang untuk sesuatu yang
sebetulnya tidak baik untuk kesehatan jantung Bapak Ali dong ya. Dia semakin
deg-deg serrrr karena uangnya terpakai demi kepuasaan batin istrinya yang doyan
nyemil gak jelas ini. Ditambah lagi dimana rasa kasih sayang gue terhadap diri
gue sendiri. Nyaman memangnya melihat kaki penuh luka akibat digaruk-garuk
karena memenuhi hasrat untuk mendapat diskon besar?
Betapa ketiga piranti ini menjadi sangat penting dalam
kehidupan kita, tidak dapat dipisahkan ataupun bekerja sendiri-sendiri. Ketika
ada orang yang hanya mengandalkan keinginan yang kuat dan berdaya nalar tapi
tidak punya hati nurani, maka orang ini akan menjadi koruptor, maling, copet,
tukang boong, tukang tipu – karena segala cara disahkan aja buat orang ini.
Lalu, ketika ada orang yang punya kehendak kuat dan berhati nurani, maka orang
ini bakalan capek sendiri. Sering banget terkuras energinya karena tidak cukup
pintar untuk menemukan solusi. Dan yang terakhir, ketika ada orang yang hanya
punya nalar dan berhati nurani, akhirnya tumbuh jadi orang yang frustrasi
karena gak cukup gigih untuk menyelesaikan masalah-masalah hidupnya.
Jadi kebayang ya hubungan Nalar, Kehendak dan Hati Nurani ini. Mereka bertiga itu sudah seperti semacam sohib – sohiiiib, angkatannya ketauan banget yeeee – dari sejak lahir, mungkin. Dan ketiganya ini perlu banget diasah di dalam diri kita maupun anak-anak kita. Untuk hal kecil semacam promo online aja gue bisa – aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi – gitu, apalagi anak-anak yang masih belum mengerti banyak di kehidupan mereka. Tentu ini jadi tugas kita sebagai orang tua ya untuk membantu mereka melatih ketiga piranti ini. Bukan hanya mereka, kita pun juga perlu dilatih. Supaya tidak ada lagi korban-korban promo diskonan makanan seperti gue. #eh
No comments:
Post a Comment