Ada yang bilang, mendidik anak di zaman ini jauh lebih sulit ketimbang orang tua kita dulu. Ada pula yang berujar, zaman dulu orang tua hanya khawatir menjaga anak perempuannya ketimbang anak laki-lakinya. Kenapa begitu coba? Ya karena zaman disinyalir sudah berganti arahnya. Semakin banyak anak laki-laki yang tidak lagi menyukai lawan jenis, melainkan sesama jenis sekarang ini. Sehingga membuat orang tua lebih khawatir menjaga anak laki-lakinya ketimbang anak perempuan. Apakah benar bahwa tantangan di setiap zaman itu selalu berbeda?
Sepertinya apa pun zamannya, enak zamanku toh. #eh 😂😂
Jadi ingat slogan itu ya. Tapi apa pula itu eranya, setiap
orang tua pasti selalu mempunyai tantangannnya tersendiri ya dalam mendidik
anaknya. Andil orang tua cukup besar memang dalam mendampingi anak bertumbuh.
Tentu ini sudah menjadi tugas seumur hidup ketika orang tua sudah memutuskan
memiliki anak dalam kehidupan berkeluarganya. Bukan tugas mudah memang, karena
memang banyak sekali orang tua yang pelan-pelan mundur dari jabatannya ini.
Entah ini karena orang tua terlampau sibuk dengan urusannya
sendiri, sehingga minim komunikasi yang terjadi diantara anak dan orang tua.
Ataupun orang tua yang kurang hangat terhadap anak, sehingga anak hanya menerima
didikan satu arah. Perintah orang tua seperti mandat yang tidak dapat diganggu
gugat keputusannya. Sehingga anak hanya pasif menerima tanpa dapat mengemukakan
pendapatnya. Karena hal-hal seperti ini, akhirnya anak tumbuh dengan mencari
informasi sendiri yang mereka dapat dari pihak luar. Dan tidak sedikit anak yang
salah tafsir atas informasi yang didapat itu.
Seiring bertambahnya umur, tentu semakin banyak hal yang
mulai menjadi pertanyaan di dirinya. Menemaninya bertumbuh menjadi kunci
jawabannya. Bukan lagi perintah satu arah yang dibutuhnya, melainkan orang tua
yang siap menjadi tempat diskusinya. Orang tua yang luwes dalam bertukar
pikiran. Serta orang tua yang siap meluangkan waktu untuk sekedar mendengar
curhatannya.
Pernah satu waktu si Boy terlihat galau. Begitu kutanya ada apa, dia pun bercerita tentang apa yang dirasa. Ternyata eh ternyata, anak ini
sedang mengalami perasaan suka terhadap lawan jenisnya. Menurut pengakuannya,
dia sempat resah maju mundur untuk cerita, karena ada rasa takut dimarahi.
Lucunya, rasa galau ini terjadi menjelang tidur malam setelah dia menyatakan
perasaannya itu. Pantes aja dia bangun pagi-pagi dan terlihat gelagatnya aneh,
duduk kok nempelin emaknya terus kaya perangko. Ternyata ada yang galau semalaman,
dan galau gak bisa tidur malam itu gak enak ye, Boy. 😁😁
Begitu ekspresi yang kuberikan kepadanya biasa saja, bahwa
aku terima apa perasaannya, apa yang dia ungkapkan terhadap temannya, anak ini
pun langsung dengan gamblang bercerita. Ceritanya pun mendetil sekali. Ada
perasaan senang ketika dia mampu mempercayakan cerita tentang perasaannya
kepada orang tuanya. Iya, bapaknya juga duduk mendengar saat itu, dan kami
tidak memberikan ekspresi apa pun selain mendengar ceritanya. Tentu emaknya
sambil senyum-senyum dong. Hihihi…
Beda dengan reaksi yang aku dapat waktu bercerita dengan
orang tuaku dulu ketika aku mempunyai perasaan terhadap seorang laki-laki. Penghakiman
dalam rupa omelan, dampratan, cemooh sampai tidak luput dari hukuman pukul,
sabetan kemoceng sampai tamparan pernah kuterima karena ini. Sungguh bukan hal
yang enak yang aku rasakan di saat itu, tapi tidak ada jalan lain menurutku. Sehingga
membuatku merasa harus menutup rapat-rapat rahasia perasaanku dan apa saja yang
aku lakukan dengannya.
Pernah satu saat di waktu usia SMP, aku mau pergi ke mall
bersama pacar monyetku itu, aku harus diam-diam bilang mau belajar bersama,
dengan tas berisi pakaian bagus. Yang entah bagaiamana nenekku yang menjagaku
saat itu tahu rencanaku. Sontak tasku diambil dan dikeluarkan isinya, mana sebelumnya
aku sempat dilempari mainan pistol-pistolan besi milik adikku. Wah, kalau saja
saat dilempari itu aku tidak jago berkelit, kelar dah kaki gue. Bonyok! Jangan
sedih, ceritanya tidak berhenti di situ. Sepulang Mami dari kantor, nenekku itu
cerita ulah bandelku. Bukan lagi omelan yang didapat, melainkan tamparan tanpa
ampun dari Mamiku. Sejak itu, tidak ada lagi cerita yang aku bisa ceritakan ke
orang tuaku.
Bisa dibayangkan dampak dari anak yang tumbuh dengan
ketakutan untuk bercerita terhadap orang tuanya. Tidak merasa dipercaya oleh
orang tua itu sungguh tidak enak. Harus kucing-kucingan, terus berbohong dari
satu hal ke hal lainnya untuk menutupi kebohongan sebelumnya, benar-benar tidak
enak. Apalagi kalau akhirnya ketahuan dan sudah dapat ditebak apa yang diterima
anak di hari penghakiman itu. Kalau sudah begini, jelas kemana arah tujuan anak
ini bertumbuh kan ya. Sehingga pemahaman menjaga kesucian bukan lagi karena
anak paham, melainkan sebagai bentuk pemberontakan anak terhadap orang tua.
No comments:
Post a Comment