Philosophy Education - Pendidikan Mandiri - Lievell

Friday, December 24, 2021

Philosophy Education - Pendidikan Mandiri

 

Children are born person.

 

Menjadi butir pertama yang diusung oleh ibu Charlotte Mason di dalam pemikirannya. Dijelaskan olehnya bahwa sesungguhnya anak terlahir sebagai pribadi yang utuh. Artinya, mereka bukanlah lembaran kertas putih kosong yang butuh ditulisi dengan tinta hitam ataupun dihias dengan crayon warna warni oleh orang tuanya. Tapi mereka sudah terlahir dengan budi yang terinstall sempurna di dalam dirinya.

 

Lihat saja seorang anak kecil ketika melihat kebiasan orang tuanya. Tanpa diajari anak kecil itu mempelajari apa yang sering dilakukan oleh orang tuanya ini, yang lambat laun akan ditiru olehnya. Contohnya ketika anak sering melihat orang tuanya tenggelam dalam pemakaian gadget. Tanpa perlu dibekali pengajaran bagaimana menjalankan perangkat canggih itu, dengan sering melihatnya saja dia mampu mengoperasikannya dan ujung-ujungnya ikut kecanduan seperti orang tuanya. Bagaimana dengan kebiasaan-kebiasaan lain, seperti mengupil di tempat umum, coba? Apa gak kurang gampang untuk dicontoh oleh anak-anak? 😅

 

Dengan pemikiran bahwa anak adalah lembaran kosong ini, orang tua melihat kecenderungan anak perlu dibekali dengan banyak stimuli sebagai amunisi untuk masa depannya. Merasa kurang sibuk, terlalu santai hidup sang anak, mulailah mereka diikutkan dengan banyak kegiatan ini itu. Dengan asumsi, semakin banyak kegiatan yang diberikan anak usia dini, anak akan menjadi cepat pintar. Apalagi belakangan ini semakin banyak aktivitas yang dikemas secara menarik. Dibuat seasyik mungkin supaya anak tertarik mengikutnya. Digeretlah anak kesana kemari untuk mengikuti kegiatan-kegiatan itu. Tanpa menilik lagi, apakah anaknya suka atau tidak. Jadilah banyak orang tua yang judulnya merasa sayang. Mumpung masih kecil dan anaknya mau dijejali dengan banyak hal, kenapa tidak? Kalau sudah besar mungkin beda lagi ceritanya, ya kan. -- Eh, eh, jangan sedih, gue sendiri juga pernah di masa-masa tidak pernah mau ketinggalan kegiatan ini itu kok, Jengsis… 😋😋

 

Satu waktu, pasti ada kalanya anak akan sampai di satu titik kejenuhan dengan semua agenda yang dibuat oleh orang tua. Mereka mulai mogok belajar, malas-malasan, yang sebetulnya ini sudah menjadi pertanda bentuk kelelahnnya jiwa anak. Alih-alih menyadari tanda ini, orang tua justru merasa anak butuh keseimbangan aktivitas lainnya. Ditambahkannya lagi kegiatan yang mungkin lebih menyenangkan dari sebelumnya. Nah, kalau sudah begini jatuhnya jadi ambisi orang tua bukan sih?

 

Seperti yang dibilang oleh Plato, “Dusta dalam Jiwa”. Jangan-jangan beginilah pendidikan terbaik yang diyakini oleh orang tua selama ini, sudah keliru dari awalnya. Orang tua tidak menyadari dampak dari terlalu banyak paparan yang diberikan untuk diri anak akan berpengaruh dalam karakter dan perilaku mereka. Padahal seharusnya, kedua hal ini terbangun dari dalam diri anak, bukan di luar dari dirinya.

 

Anak itu sebetulnya pembelajar mandiri. Dengan sendirinya anak mempunyai kemampuan mencerna makanannya sendiri kok, tanpa perlu bantuan pihak luar untuk mengunyahkan untuk mereka. Sama seperti tubuh yang butuh asupan terbaik, begitu juga budi yang butuh diberikan nutrisi. Jadi bukan kegiatan se-hompimpa alaeyum gambreng yang dibutuhkan oleh anak, melainkan jamuan nutrisi ide yang sebetulnya diperlukan anak dalam pendidikannya, yang dapat menyentuh jiwanya jika anak sudah meminatinya. Karena anak terlahir sebagai pribadi utuh itulah, maka sejak lahir ke dunia anak sebetulnya sudah memulai pendidikannya. Urusan orang tua ya tinggal menyediakan anak-anak sajian budi yang tercukupi kualitas dan kuantitasnya. Keduanya sama-sama penting, karena budi yang sudah tertanam di dalam diri anak itu harus selalu dibuat bekerja untuk mencerna makanannya sendiri agar fungsinya tidak menjadi gagal.

 

Pasti ujung-ujungnya selalu kembalinya ke laptop, eh ke buku. Kenapa sih harus buku? Ya menurut ngana, apakah materi belajar yang sudah dikunyahkan oleh orang lain mampu melekat lama dalam benak anak? Bukankah anak itu sudah terlahir sebagai pribadi utuh yang sanggup mencerna asupan dengan nutrisi baik? Jadi apalagi kalau bukan buku, yang ditulis dari pemikiran seseorang, yang menjadi jawabannya. Pikiran bertemu pikiran ini yang mampu memantik jiwa dan hasrat anak dalam belajar. Sehingga rasa kenyangnya pun jadi lebih paripurna. 

No comments:

Post a Comment