Children are born person.
Lihat saja seorang anak kecil ketika melihat kebiasan orang
tuanya. Tanpa diajari anak kecil itu mempelajari apa yang sering dilakukan oleh
orang tuanya ini, yang lambat laun akan ditiru olehnya. Contohnya ketika anak
sering melihat orang tuanya tenggelam dalam pemakaian gadget. Tanpa perlu dibekali
pengajaran bagaimana menjalankan perangkat canggih itu, dengan sering
melihatnya saja dia mampu mengoperasikannya dan ujung-ujungnya ikut kecanduan
seperti orang tuanya. Bagaimana dengan kebiasaan-kebiasaan lain, seperti
mengupil di tempat umum, coba? Apa gak kurang gampang untuk dicontoh oleh
anak-anak? 😅
Dengan pemikiran bahwa anak adalah lembaran kosong ini, orang
tua melihat kecenderungan anak perlu dibekali dengan banyak stimuli sebagai amunisi untuk masa depannya. Merasa kurang sibuk, terlalu santai hidup sang anak,
mulailah mereka diikutkan dengan banyak kegiatan ini itu. Dengan asumsi,
semakin banyak kegiatan yang diberikan anak usia dini, anak akan menjadi cepat
pintar. Apalagi belakangan ini semakin banyak aktivitas yang dikemas secara
menarik. Dibuat seasyik mungkin supaya anak tertarik mengikutnya. Digeretlah
anak kesana kemari untuk mengikuti kegiatan-kegiatan itu. Tanpa menilik lagi,
apakah anaknya suka atau tidak. Jadilah banyak orang tua yang judulnya merasa sayang. Mumpung masih kecil dan anaknya mau dijejali dengan banyak hal,
kenapa tidak? Kalau sudah besar mungkin beda lagi ceritanya, ya kan. -- Eh, eh,
jangan sedih, gue sendiri juga pernah di masa-masa tidak pernah mau ketinggalan
kegiatan ini itu kok, Jengsis… 😋😋
Seperti yang dibilang oleh Plato, “Dusta dalam Jiwa”. Jangan-jangan
beginilah pendidikan terbaik yang diyakini oleh orang tua selama ini, sudah keliru dari awalnya. Orang tua tidak menyadari dampak dari
terlalu banyak paparan yang diberikan untuk diri anak akan berpengaruh dalam
karakter dan perilaku mereka. Padahal seharusnya, kedua hal ini terbangun dari
dalam diri anak, bukan di luar dari dirinya.
Anak itu sebetulnya pembelajar mandiri. Dengan sendirinya anak mempunyai kemampuan mencerna makanannya sendiri kok, tanpa perlu bantuan pihak luar untuk mengunyahkan untuk mereka. Sama seperti tubuh yang butuh asupan terbaik, begitu juga budi yang butuh diberikan nutrisi. Jadi bukan kegiatan se-hompimpa alaeyum gambreng yang dibutuhkan oleh anak, melainkan jamuan nutrisi ide yang sebetulnya diperlukan anak dalam pendidikannya, yang dapat menyentuh jiwanya jika anak sudah meminatinya. Karena anak terlahir sebagai pribadi utuh itulah, maka sejak lahir ke dunia anak sebetulnya sudah memulai pendidikannya. Urusan orang tua ya tinggal menyediakan anak-anak sajian budi yang tercukupi kualitas dan kuantitasnya. Keduanya sama-sama penting, karena budi yang sudah tertanam di dalam diri anak itu harus selalu dibuat bekerja untuk mencerna makanannya sendiri agar fungsinya tidak menjadi gagal.
Pasti ujung-ujungnya selalu kembalinya ke laptop, eh ke buku.
Kenapa sih harus buku? Ya menurut ngana, apakah materi belajar yang sudah
dikunyahkan oleh orang lain mampu melekat lama dalam benak anak? Bukankah anak
itu sudah terlahir sebagai pribadi utuh yang sanggup mencerna asupan dengan
nutrisi baik? Jadi apalagi kalau bukan buku, yang ditulis dari pemikiran
seseorang, yang menjadi jawabannya. Pikiran bertemu pikiran ini yang mampu
memantik jiwa dan hasrat anak dalam belajar. Sehingga rasa kenyangnya pun jadi lebih
paripurna.
No comments:
Post a Comment