Dua belas tahun aku bersekolah di satu sekolah yang berbasis
pendidikan Kristiani. Seperti pada umumnya sekolah dengan berbasis agama,
anak-anak diminta untuk wajib mengikuti peraturan ritual agama di sekolah
tersebut tanpa terkecuali apapun agama yang dianut oleh si anak. Jadilah ritual
seperti melakukan ibadah kebaktian setiap minggunya, menghafalkan ayat-ayat
alkitab setidaknya satu perikop dalam pelajaran agama dan juga ritual berdoa
sebelum dan sesudah kelas, hukumnya wajib dilakukan dalam kegiatan persekolahan.
Apakah ritual-ritual tersebut lantas
menjadikan anak-anak berkelakuan baik dalam kesehariannya?
Aku ingat sekali ketika aku berada di jenjang SMP. Kami
diminta untuk mengikuti kebaktian yang dibuat di jam terakhir pelajaran sekolah
dan terletak di gedung yang berbeda dari sekolah kami. Meskipun gedung
kebaktian yang mana adalah gedung SD dan terletak dalam satu komplek yang sama,
kami harus berjalan setidaknya 200-300 meter dari sekolah kami. Ya, kami
berjalan berduyun-duyun di bawah terik matahari yang panasnya ajubileh bin jali,
dengan guru yang menjaga barisan kami di depan dan di belakang agar anak-anak
tidak hilang arah. Tetap saja, dalam perjalanan yang sebetulnya tidak cukup
jauh itu, beberapa dari kami bisa mendadak berbelok arah dan masuk ke dalam
gang-gang komplek perumahan lalu blas hilang, pulang ke rumah. Sehingga
kebaktian yang diadakan sebelum pulang sekolah itu mendadak diganti jamnya
menjadi pagi sebelum pelajaran dimulai agar peserta ibadah tidak mendadak
hilang separuh.
Ada cerita lainnya lagi ketika kami ulangan agama dan harus
menuliskan perikop ayat Alkitab. Mungkin ketika kami berusia SD, dengan
nurutnya kami akan menghafal mati sampai tidak ada satu kata pun yang
terlewatkan untuk nantinya kami tulis di kertas ulangan. Tetapi jangan harap
dengan anak-anak menjelang usia dewasa ini, yang ada kami sibuk mengatur
strategi bagaimana ayat-ayat Alkitab tersebut bisa kami ‘copy paste’ tanpa
hilang satu katapun ke kertas ulangan kami. Ya, begitu banyak cara tentunya!
Mulai dari membuat kertas contekan yang ditulis kecil-kecil (mata dengan
silinder dan minus dilarang keras membuat contekan seperti ini) lalu kami
gulung atau lipat untuk diselipkan di kaos kaki ataupun diinjak di dalam sepatu,
sampai menuliskannya di atas meja kayu dengan pensil yang dilihat dengan
bantuan cahaya matahari (cara ini memang akan tampak seperti orang bodoh karena
kepala dan mata akan bergeser-geser untuk bisa membaca tulisan tersebut ) yang
mana semua itu dilakukan dengan adrenalin tinggi tanpa ketahuan dari guru agama
kami. Tujuannya tentu hanya untuk (lagi-lagi) nilai ulangan yang bagus semata.
Begitu banyak cara yang anak-anak lakukan di usia sekolah
untuk bisa melepaskan diri dari ritual-ritual keagamaan. Anak-anak tampak tidak
menyukai kegiatan beribadah ataupun pelajaran agama yang diberikan oleh
sekolah. Tak jarang juga terjadi pemberontakan akan ritual-ritual yang sekolah
sajikan. Padahal jelas sekali kalau semua peraturan-peraturan tersebut dibuat
(untuk dilanggar, eh!) untuk menjadikan murid-muridnya berakhlak mulia di
kemudian hari setelah selesai dari jenjang pendidikan di sekolah tersebut.
Lantas, apa yang salah dari semuanya ini?
Dalam pembahasan diskusi dengan CM Jakarta beberapa hari
yang lalu, ada penggalan kalimat seperti ini, “Dari tiga jenis pengetahuan yang
layak dimiliki anak – pengetahuan tentang TUHAN, tentang manusia, dan tentang
semesta – pengetahuan tentang TUHAN duduk peringkat pertama dalam hal arti
pentingnya, tak boleh terabaikan, dan paling menentukan kebahagiaan.” Sudah
jelas sekali bahwa pengetahuan tentang Tuhan ini menduduki tangga tertinggi
untuk dijadikan tiang pondasi bagi anak. Mungkin yang menjadi pertanyaannya
saat ini adalah, siapakah yang mengambil peran untuk mendirikan tiang pondasi
tersebut untuk anak? Apakah sekolah, khususnya guru, ataukah peran orang tua yang
mempunyai porsi terbesar dalam mengambil peran tersebut?
Guru di sekolah mempunyai peran dalam mendidik anak-anak
dalam beragama. Pastinya dengan tekun guru akan mengajarkan semua yang
berkaitan dengan keagamaan. Setidaknya seminggu sekali lah anak-anak diberikan
bekal pelajaran agama dari buku teks. Dalam kesehariannya anak-anak pun diminta
untuk melakukan rutinitas berdoa sebelum dan sesudah jam pelajaran sekolah agar
mereka dilindungi dalam naungan Tuhan dalam belajar. Anak-anak pun tidak luput
diberikan bekal ini itu yang berkaitan dengan Ketuhanan dalam kesehariannya
mereka di sekolah. Tetapi, apakah hanya dengan buku teks saja anak-anak mampu
mempunyai ikatan yang kuat dengan Tuhannya? Apakah dengan berdoa setiap hari
anak-anak paham arti dan tujuanya dalam berdoa? Seyakin apa bekal-bekal yang
diberikan oleh guru mampu membuat anak-anak ini bertahan di kehidupannya kelak
selepas dari sekolah?
Seperti kata pepatah lama, “Anak adalah titipan Tuhan.”
Seperti itulah tugas orang tua yang mengambil peran dalam porsi besar untuk
bertanggung jawab akan titipanNya. Ikatan spiritual yang terbangun antara anak
dan orang tua yang menjadi dasar untuk mendidik anak tentang Tuhan. Kasih
sayang orang tua ibarat kasih sayang Tuhan untuk anaknya, sehingga sudah
menjadi kewajiban utama bagi orang tua untuk mendampingi anak dalam
kesehariannya untuk mengenal Tuhan lebih jauh lagi. Pertanyaan pun muncul
ketika tanggung jawab ini disematkan. Bagaimana jika orang tua tidak sereligius
itu dalam menjalankan agamanya, dalam melakukan ritualnya, dan dalam
beribadahnya? Tentunya lepas tanggung jawab dan memberikan porsi ini kembali ke
guru sekolah bukan menjadi jawabannya ya.
Perjalanan spiritual setiap keluarga bisa sangat
berbeda-beda. Belajar dan bertumbuhlah dengan anak, karena sejatinya hasrat
alami manusia itu mengenal sesuatu yang lebih tinggi darinya, dalam hal ini
Tuhan. Pendidikan itu didapat dari atmosfer yang terbentuk dan keluarga
mempunyai peran yang paling besar dalam memberikan atmosfer tersebut. Bagaimana
anak bertumbuh dalam iman jika orang tua pun tidak mau bertumbuh dengan anak?
Mengenal Tuhan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, dan
mengenalkan Tuhan dalam keseharian pun bisa berbeda-beda caranya. Mungkin
melalui persoalan yang terjadi di sekitar dan mendiskusikannya bersama-sama dengan
anak, bagaimana menyelesaikan masalah tersebut dengan mengandalkan tangan Tuhan
yang bekerja dalam penyelesaiannya. Ataupun juga ketika anak bertanya tentang
agama yang dianutnya, bersiaplah untuk menjadikan ini sebagai bahan diskusi
yang menarik dengan anak dalam pencarian jati dirinya dengan Tuhannya.
Esensi dalam berTuhan tidak terpaku hanya di ritual dalam
berdoa dan beribadah, tetapi juga dalam bersikap, pola pikir, cara pandang dan
juga cara bersikap keluar terhadap teman-teman yang berbeda agama. Overdosis
dalam beragama juga tidak dibenarkan. Ibarat melintasi kotak agama, anak-anak
perlu juga melihat dan belajar dari kacamata agama lain sehingga mereka tidak
semata tumbuh dan menjadikan agamanya sendiri
sebagai yang paling benar (I’ve been there!).
No comments:
Post a Comment