Setiap manusia pastilah terlahir dengan kodrat alamiah,
yaitu menjadi manusia yang bermanfaat bagi Tuhan, sesama dan juga bagi alam
semestanya. Sayangnya seiring dengan waktu kodrat tersebut tergerus dan entah
menguap kemana. Tugasnya di dunia yang seharusnya bermanfaat bagi sesama,
tergantikan dengan sibuk memikirkan dirinya sendiri. Belum lagi tugasnya
menjaga alam sekitar seperti yang diperintahkan Tuhan kepada kita, yang ada
justru sebaliknya, merusaknya, yang lagi-lagi, demi kepentingan dirinya
sendiri. Lantas yang tersisa hanyalah manusia yang seolah-olah bermanfaat bagi
Tuhan, tetapi sebenarnya tidak teraplikasi nyata dalam kehidupan
sehari-harinya. Kenapa manusia yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk termulia yang
memiliki akal dan budi bisa menjadi seperti itu?
Berkembangnya jaman membuat manusia seakan berlomba setiap
waktunya untuk membuktikan menjadi yang terbaik. Sampailah kita di era
teknlogi, dimana setiap orang bergantung penuh akan kebutuhan satu itu. Arus
teknologi ini pun semakin kencang, membawa kita mengikuti arus atau bahkan membuat
kita tenggelam semakin dalam. Belum lagi kesenangan yang tercipta ketika
teknologi ini membuai kita dengan segala sesuatu yang menyenangkan. Tanpa
disadari semuanya itu justru membuat daya fokus kita semakin dangkal, semakin
sulit untuk diajak berpikir lebih mendalam.
Berkonsentrasi menjadi tugas berat bagi otak saat ini. Daya
atensi kita pun semakin menurun seiring dengan distraksi yang kita terima dari
dunia teknologi saat ini. Bagaimana gawai berperan sebegitu besarnya dalam
kehidupan sehari-hari kita, dimana dengan mudahnya pula kita mendapati satu
dunia hanya dalam satu sentuhan saja. Maka tidak heran saat ini semakin banyak orang
dewasa yang terbuai dengan fokus kerumunan mentalitas orang banyak seperti
berlomba menjadi yang terkenal, terhebat dan bahkan yang terkaya sekalipun
lewat dunia sosial media yang sedang marak belakangan ini. Seolah-olah hanya
itu tujuan terbesarnya dalam hidup.
Tentunya ini pun sedikit banyak berdampak pada anak-anak
yang cenderung melihat pola ini dengan orang tuanya. Terpaparnya anak sejak
dini dengan layar, bukan serta merta menjadi hal yang baik untuk anak. Belakangan
ini semakin banyak sekali ditemukan kasus pada anak-anak usia dini yang
kesulitan dalam berkomunikasi dikarenakan oleh gawai. Komunikasi satu arah yang
ditampilkan melalui layar seolah menjadi teman dalam kehidupan si anak. Belum
lagi dampak lain yang ditemukan, daya atensi yang rendah yang sudah tercipta
dari sejak dini. Sungguh tidak dipungkiri banyak anak-anak ketika masuk usia
sekolah sulit untuk berkonsentrasi lebih lama karena seringnya terpapar dengan
layar di gawai.
Dalam satu workshop tentang Habit of Attention yang pernah
aku ikuti, anak-anak usia dini, sampai usia 5-6 tahun, dilarang untuk diberikan
gawai. Mereka harus dipaparkan sebanyak mungkin dengan alam, dibacakan
buku-buku yang berkualitas dan bahkan dibiarkan mencari sendiri kegiatan dalam
kesehariannya tanpa gawai. Semakin minim anak terpapar dengan gawai, semakin
panjang daya atensi si anak. Ini dibuktikan dalam satu tayangan di workshop
tersebut bagaimana seorang bayi berumur 1 tahun sibuk bermain dengan popok baru
yang dipegang, dilempar, bahkan diperhatikannya dengan seksama selama 1 jam
tanpa henti. Bagaimana daya atensi ini terkait erat dengan terpaparnya anak
dengan gawai ya.
Daya atensi rendah ini selain tercipta karena paparan gawai,
juga tidak diiringi dengan asupan jiwa. Seringkali kita lupa bahwa jiwa dan
raga ini adalah satu kesatuan dan keduanya ini harus diisi dengan asupan-asupan
yang baik. Layaknya raga yang dengan mudahnya diisi dengan sajian makanan yang
beragam bagi tubuh, jiwa pun juga seharusnya mendapat asupan yang bergizi bagi daya
berpikirnya sang otak. Kembali ke kodrat manusia di atas tadi, bagaimana kita
sebagai manusia harus tumbuh dan bermanfaat bagi Tuhan, sesama, alam semesta,
atau bahkan harus lebih tinggi daripada ketiga itu. Perlu sekali kita mendapat
pengetahuan yang beragam, yang menyajikan bukan hanya 1 atau 2 materi saja demi
menajamkan kemampuan (skill) untuk tujuan bertahan hidup semata. Pengetahuan
harus diberikan secara menyeluruh dan utuh karena semuanya itu terkait satu
dengan lainnya. Oleh karena itu sajian seperti kurikulum yang kaya sangat
dibutuhkan oleh kita semua.
Begitu juga bagi anak-anak yang memulai hidupnya. Perlu
sekali mereka mendapatkan kurikulum yang kaya, yang bukan hanya terfokus dengan
minat dan bakatnya saja lalu lupa dengan kodrat alamiahnya sebagai manusia. Pendidikan
janganlah dibedakan antara humaniora dan science, karena keduanya ini sejatinya
harus berjalan selaras yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan juga jangan
menjadi individualis yang hanya berpusat pada satu kepentingan saja, sehingga
anak terdidik hanya menjadi ‘mesin’ uang di masa depannya dengan jiwa yang
kosong. Mereka harus disajikan dengan berbagai hal yang tidak hanya menarik
untuk dirinya sendiri saja. Bukan juga durasi belajar yang panjang yang
dibutuhkan oleh anak-anak sehingga mereka cepat merasa bosan, bukan juga materi
belajar yang hanya berisikan fakta dari buku materi yang garing untuk
dipelajari, bukan juga buku yang hanya memuat materi bergambar saja sehingga
anak tidak memiliki daya imajinasi yang tinggi, tetapi buku-buku yang hidup (living
books) yang dapat memantik jiwa anak dalam mempelajari segala sesuatunya. Sajikanlah
itu semua untuk mereka dan biarkanlah mereka menikmatinya.
Notes:
Gawai bukanlah musuh, bukan sesuatu yang harus dihindari. Anak
tetap perlu diperkenalkan sesuai dengan porsinya. Jadikanlah gawai sebagai
media imunitas sehingga tidak larut dalam sosialita. J
Lanjutkaaannn...
ReplyDeleteSiaaappp!! 😘😘
Delete