Belakangan ini satu dunia dihadapkan dengan satu pandemi
penyakit yang bernama Corona. Penyebarannya cukup cepat, menyerupai flu
sepertinya, tapi mematikan banyak manusia. Awalnya penyakit ini dikabarkan
datang dari China, lalu menyebar seiring manusia berpindah tempat dari satu
lokasi ke lokasi lain, dari satu kota ke kota lain dan bahkan berpindah dari
satu negara ke negara lain.
Awalnya di Indonesia sendiri tidak terdeteksi. Ya kalau ini sih sempat ada meme-meme lucu kenapa penyakit tersebut tidak sampai ke Indonesia. Pada saat itu pas sekali dengan sering-seringnya Jakarta kebanjiran, dimana anak-anak kecil membuat daerah banjir jadi ajang permainan mereka. Belum lagi dengan jajanan pinggir jalan ala Indonesia yang bercampur dengan debu kendaraan bermotor yang lalu lalang. Tentunya saja ini menguatkan asumsi kalau Corona merasa takut datang ke Indonesia.
Lalu sekitar pertengahan bulan Maret mendadak ditemukan 2 orang yang terjangkit penyakit Corona. Selesai Presiden Jokowi mengumumkan berita ini, seketika itu juga masyarakat di Indonesia kalap. Mereka semua mengantri di supermarket, membeli apa yang sebetulnya tidak perlu. Mereka berduyun-duyun memborong semua yang bisa mereka beli untuk persediaan. Dalam sekejab, semua supermarket kehabisan stok mereka.
Bahkan ada juga yang viral ketika salah satu bapak-bapak Tionghoa dengan seragam kebesarannya, celana pendek, kaos polo licin dengan tas di pinggangnya, mengantri di salah satu supermarket dengan tumpukan kardus Indomie melebihi tinggi badannya. Sontak kejadian ini menjadi perbincangan warga +62 lah ya, dari yang nyumpahin si Ngkoh kanker usus karena menyetok Indomie segitu banyaknya,sampai isu menyulut penjarahan pun melonjak. Usut punya usut, ternyata si Ngkoh ini emang setiap hari membeli Indomie dari supermarket tersebut dan setiap belanja ya dengan porsi seperti itu. Ya begitulah berita itu menyebar lewat sosmed, dan secepat itulah jari dan lidah mengeluarkan komen-komen.
Setelah pengumuman berita tersebut, selain masyarakat berbondong-bondong mengantri di supermarket, mendadak sekolah di Jakarta diminta untuk meliburkan murid-murid mereka guna memutus rantai penyebaran Corona atau yang sering disebut dengan Covid-19. Lagi-lagi hal ini jadi perbincangan. Mulai dari akan bagaimanakah sistem pendidikan selanjutnya ketika di rumah, lalu penilaian akan dibuat seperti apa, belum lagi yang menjelang UN sampai akhirnya di ujung pertanyaan, apakah uang sekolah bisa didiskon?
Seperti ramalan jadi kenyataan ketika Presiden Jokowi melantik Nadiem menjadi Menteri Pendidikan, dimana sekolah akan online, begitupun dengan pembayarannya yang sesuai applikasi Gojek. Sekolah pun akan berlangsung seperti lelucon yang menjadi kenyataan. Lucu namun miris.
Sekolah saat ini betul menjalani pendidikan secara online. Anak-anak diberi materi oleh guru kelasnya untuk dikerjakan di rumah dengan orang tuanya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi? Ya, tentu saja setelah pendidikan dipindahkan tugasnya menjadi orang tua yang bertanggung jawab penuh, orang tua berteriak semua. Mereka tidak siap menanggung semua ‘beban’ ini tiba-tiba, dibalik alasan mereka harus bekerja, menyelesaikan urusan rumah tangga (memasak, nyuci baju, setrika dsb), tidak ada waktu me time lagi sampai dengan alasan merasa rugi karena sudah membayar uang sekolah full di awal, bahkan merasa tidak terima ketika ditagih dengan uang sekolah bulanan atau bahkan tahunan karena harus mengajar sendiri anak-anaknya tanpa bantuan guru.
Barang tentu ini jadi dilema tersendiri bagi pihak sekolah, guru, orang tua bahkan anak-anak sekalipun. Selain orang tua yang merasa stress karena ter”beban”i dengan satu tanggung jawab baru (which is sebetulnya ini sudah jadi tanggung jawab di awal ketika memiliki anak. Ketika pihak sekolah sebagai wakil orang tua tidak bisa lagi membantu anak dalam pendidikan, sudah wajib takdirnya orang tua mau menerima tanggung jawab mendidik anaknya sendiri), anak pun kena getahnya. Setiap hari yang dihadapi mereka hanya tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan hanya demi nilai semata, sampai-sampai orang tua lupa apa sebetulnya hal dasar dari pendidikan selain nilai semu yang dikejar. Tujuan pemerintah merumahkan anak-anak dari sekolah, seharusnya bisa jadi ajang bagi keluarga untuk kembali melihat ke dalam. Ini justru bisa jadi momen tersendiri bagi orang tua untuk lebih berperan bagi anaknya. Bukan lagi nilai-nilai sekolah yang perlu dijunjung tinggi sehingga lupa apa artinya kebersamaan saat ini.
Selain orang tua dan anak, pihak sekolah sebagai wakil orang tua dan juga sebagai pihak pebisnis disini, merasa ketar ketir dengan keputusan pemerintah ini. Mereka tetap harus menjalankan ‘bisnis’ mereka, tapi tidak tahu sistem apa yang harus digunakan ketika situasi di luar kendali mereka. Jadilah pihak guru yang terkena dampaknya.
Sebagai orang yang pernah bekerja di sekolah, aku dapat merasakan bagaimana situasi guru saat ini. Pernah lihat di salah satu postingan teman yang bekerja sebagai kepala sekolah di salah satu sekolah ternama bagaimana guru dalam menyiapkan pendidikan online harus bekerja semaksimal mungkin agar materi-materi tersebut sampai ke tangan orang tua dan bisa diajarkan ke anak-anak. Peran guru disini betul-betul menjadi tonggak keberhasilan bagi pihak sekolah, orang tua bahkan anak muridnya. Belum lagi sambil dipikirkan apakah tahun ajaran baru para guru ini masih akan mendapat pendapatan penuh atau tidak, bahkan memikirkan apakah jasa mereka masih akan tetap dipakai oleh sekolah tersebut atau tidak. Salut padamu, Para Guru, teman sejawatku!
Kalau bicara tentang pandemic yang terjadi ini sudah barang tentu banyak yang mengkritisi, dari mulai pendidikan anak, kerja pemerintah yang dinilai setengah-setengah menanggulanginya sampai ke bisnis yang mulai lesu. Bayangkan saja para masyarakat kelas bawah yang pendapatannya harian, sudah barang tentu hal ini paling berdampak ke mereka. Mereka lebih memilih tetap berjualan, sambil berharap ada pembeli, ketimbang harus berdiam diri di rumah menunggu pandemic selesai. Urusan perut jelas lebih utama bagi mereka saat ini. Lebih baik mati karena Covid-19 ketimbang mati karena kelaparan, begitu ujar mereka ketika diwawancara di daerah Kota. Hidup ini berat, Jenderal!
Tentu sudut pandang ini sedikit berbeda ketika yang menyikapinya dari pihak para Homeschooler. Kami yang sudah sejak awal tahu langkah kami dalam membersamai anak, ketika mendapati berita harus lebih banyak berdiam diri di rumah, tentu saja ini bukan menjadi masalah besar. Kami terbiasa 24 jam /7 hari dengan anak-anak dan tidak pernah merasa menjadi halangan untuk kami berdiam diri di rumah selama itu. Setidaknya ini yang terjadi di aku dan Fritz, tentu beda dengan bapaknya yang terbiasa dengan kerja lapangan.
Satu lagi yang dapat diamati dari pandemic ini, semesta seolah memaksa manusia untuk refleksi. Manusia diminta untuk rehat sejenak dari kesibukan duniawinya. Sibuk bekerja sampai lupa waktu dengan kesehatannya, kebersamaan dengan keluarganya, bahkan sampai lupa dengan dirinya sendiri dan alam sekitar. Manusia diminta untuk bersantai sejenak dan lebih menyadari serta menikmati hari demi hari dengan penuh kesadaran, bukan lagi sibuk dengan urusannya masing-masing.
Sadari alam sekitar. Langit jauh lebih cerah dari hari-hari biasanya. Burung-burung bercuit lebih sering. Bunga jauh lebih kelihatan indah dari biasanya. Bahkan udara pun jauh lebih enak dihirup ketimbang sebelumnya. Ya, biarkan bumi rehat. Bumi sudah tua dan butuh istirahat sejenak dari rutinitas manusia setelah dipakai secara berlebihan.
Oleh karena itu, masih banyak yang bisa disyukuri dari keadaan saat ini ketimbang menggerutu dengan hal-hal yang tiada guna. Sadari setiap nafas kehidupan kita adalah anugerah tersendiri yang Tuhan kasih secara gratis, begitu juga dengan detak jantung yang masih bekerja sampai saat ini. Biarlah hal kecil namun berarti bisa menjadi rasa syukur kita di tengah situasi saat ini.