Diskusi buku vol 6 bersama dengan CM Jakarta dimulai pukul 1 siang. Lagi-lagi, kami hanya bisa bertemu secara online karena masih di masa pandemik yang mengharuskan kami masih banyak berdiam diri di rumah saat ini. Kalau saja obrolannya hanya sekadar remahan rengginang dengan dipenuhi ketawa haha hihi, mungkin akan beda ceritanya. Sayangnya yang dibahas ini adalah bahan yang sangat perlu konsentrasi tinggi di tengah siang bolong sehabis makan siang. Selain dibutuhkan konsentrasi tinggi, kali ini kami juga perlu untuk mendengarkan dengan seksama sebelum akhirnya kami diminta narasi satu persatu oleh Jeng Ayu. Oh Tuhan… Sudahlah jangan dibayangkan bagaimana kami, maaf, tepatnya aku berusaha semaksimal mungkin mendengar, mencerna bahkan mencoba fokus kata demi kata, kalimat demi kalimat ke dalam otakku yang belakangan ini terlalu banyak dipenuhi dengan adegan drama Korea termehek-mehek itu.
Sebetulnya topik bahasan ini sudah pernah dibahas bersama sewaktu dengan teman-teman CM Jakarta dulu. Sedikit banyak masih ingat apa yang pernah kami bahas waktu itu, tapi tidak sedalam bahasan dengan teman-teman CM Jakarta kemarin. Dari dua paragraph yang dibacakan, kami bisa berdiskusi dan tukar pikiran hampir selama 3 jam. Dari bahasan kami kemarin, kurang lebih seperti inilah yang aku pahami.
Pendidikan yang dikenal saat ini semua mengarah untuk melahirkan anak yang siap kerja di masa depannya. Seolah-olah anak diarahkan untuk menguasai satu bidang keahlian tertentu saja. Sehingga ketika lulus dari pendidikannya, mereka siap terjun ke dunia lapangan kerja tanpa lagi ragu dengan apa yang akan mereka kerjakan. Apa hanya sekadar itu tujuan pendidikan untuk anak? Apa sebetulnya yang diharapkan oleh orang tua untuk anaknya di masa depan nanti? Lalu, setelah anak-anak ini tumbuh dewasa dan siap memasuki dunia kerja dengan satu keahlian yang mereka punya, seberapa yakinkah mereka akan menyukai bidang tersebut? Bagaimana jika suatu saat nanti mereka tidak lagi menyukai apa yang mereka kerjakan namun mereka merasa tidak mempunyai keahilan lainnya lagi untuk keluar dari rutinitas mereka?
Tentu
saja situasi merasa tidak berdaya terhadap keadaan dan situasi ini sering
sekali ditemukan. Sayangnya, alasan merasa tidak mempunyai kekuatan dari dalam
diri sendiri untuk keluar dari situasi tersebut lebih mendominasi ketimbang
menggali lebih dalam siapa dirinya. Alih-alih melakukan refleksi, rekreasi
justru menjadi pilihan untuk mengalihkannya. Tanpa disadari, pelan namun pasti,
destruktif terhadap diri sendirinya lah yang terjadi. Akan sampai kapan hal ini
akan berlangsung?
Kembali
ke atas tadi, bukankah saat ini kita perlu pendidikan yang lebih dari sekadar
melahirkan anak yang siap kerja? Kita membutuhkan satu kurikulum yang hidup dan
kaya untuk anak-anak kita. Kurikulum yang menitik beratkan kepada siapa kodrat
kita sebagai manusia yang mempunyai hasrat alamiah belajar dari hal-hal di
sekeliling. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa semua pengetahuan itu
saling terkait erat satu dengan lainnya, dan anak penting sekali dipaparkan dengan
semua itu. Tujuannya tentu saja untuk menjadi manusia yang kodratnya lebih
besar dari dirinya sendiri yaitu menjadi pelayan semesta. Dimana anak tidak
melulu berpusat pada dirinya sendiri sehingga lupa akan kodratnya sebagai
manusia yang siap melayani sesama dan Tuhan.
Mengutip
kata ibu Charlotte Mason “;menghadapi
anak sebagai anak Allah, yang hasrat tertinggi dan kemuliaan sejatinya adalah
punya pengetahuan dan mengenal Bapanya yang Mahakuasa: bahwa dia adalah pribadi
dengan banyak bagian dan hasrat hati yang harus tahu cara memakai, merawat, dan
mendisiplin diri sendiri, dalam tubuh, akalbudi, maupun jiwa; anak sebagai
pribadi yang punya banyak relasi––relasi dengan keluarga, kota, agama, negara,
negara tetangga, dan dunia seluruhnya; anak sebagai penghuni bumi yang penuh
dengan keindahan dan hal menarik”. Demikianlah anak perlu belajar untuk
mengenal Tuhan sebaik mengenal dirinya sendiri.
No comments:
Post a Comment