Siapa sih yang tidak menjadikan Matematika sebagai mata
pelajaran yang momok banget. Bukan hanya rambut aja yang bisa dibikin keriting,
Matematika sukses berat bikin setiap orang yang keluar dari sekolah itu juga
jadi keriting. Banyak banget yang melambaikan tangan ke kamera deh kalau dah
berurusan dengan yang namanya Matematika. Iya apa iya banget? Ngakuuuu….
Sebetulnya, mempelajari Matematika itu ternyata tidak
sehoror yang ditakutkan oleh semua anak, termasuk orang tua yang pernah juga
mengalaminya dulu ketika di bangku sekolah. Memang sistem di sekolah itu seolah
menggegas anak untuk balapan dalam mempelajari Matematika. Paham tidak paham
materi terus berjalan tanpa kenal kata berhenti. Ya, namanya juga sistem dan
begitu pulalah cara kerjanya seperti yang sudah dipahami bersama, berlaku satu
untuk semua – macam slogannya TV swasta gitu deh.
Ketika sudah masuk dalam urusan sistem sekolah, berarti anak
siap diberlakukan sama. Siap untuk menerima materi pelajaran yang sama. Siap
juga mengikuti runtutan materi yang sama juga. Namun sayangnya, tidak semua
anak memiliki percepatan yang sama dalam menerima materi di sekolah. Ketika ada
anak yang lamban, misalnya saja ketika anak itu tidak juga dapat menghafal
perkalian padahal teman-temannya sudah hafal mati perkalian, langsung saja cap ‘bodoh’
menempel sempurna di dahi anak. Hanya karena satu masalah ia terlambat memahami
konsep perkalian, tapi cap tersebut tanpa disadari sudah melekat di benak anak
bahwa ia adalah anak bodoh.
Kenyataannya, setiap anak adalah born person. Tidak bisa
membandingkan ‘apple to apple’ kepada setiap anak, karena ya semua anak itu
unik. Setiap anak memiliki kecepatan yang berbeda dalam setiap bidang. Tidak
bisa satu anak dengan anak yang lain dianggap sama. Kakak beradik saja berbeda,
begitu juga dengan anak kembar yang tidak sama satu dengan lainnya meskipun
mereka memiliki wajah dan bentuk tubuh yang serupa. Lalu mengharapkan anak
mampu mengikuti sistem kurikulum di sekolah yang sudah terstruktur rapi itu ya
tentu tidak mudah bagi setiap anak. Pastinya sewaktu-waktu akan ada satu titik
dimana anak akan melamban dan tidak dapat memahami materi pelajaran.
Lantas, bagaimana kelanjutan hubungan kita dengan
Matematika, apa perlu kita putus aja ini? Hahaha.
Bagaimanapun juga belajar Matematika itu ya harus. Semua
yang ada di sekitar kita ini terkait erat dengan yang namanya Matematika. Kalau
yang namanya ke pasar,melakukan transaksi tawar menawar (pake urat pula!)
dengan pedagang di pasar, ya jelas ini terkait erat banget dengan Matematika.
Tapi coba deh lihat sekitar kita, rumah yang kita tempati, makanan yang kita
makan, sabun yang kita pakai dan masih banyak lagi semuanya itu adalah bentuk
dari perpanjangan Matematika. Semua terkait erat dengan angka.
Kita perlu berterima kasih dengan filsuf Phytagoras yang
berhasil membuat The Fresco of Spanish Chapel dari hasil temuannya
mengutak-atik rumus Matematika dan salah satunya ya rumus segitiga Phytagoras
itu. Di saat itu semua filsuf hanya menaruh perhatian penuh pada urusan Human
Race, tapi Phytagoras menemukan hal lain bahwa semua yang ada di semesta kita
terkait erat dengan yang namanya Matematika. Kebayang banget sih betapa
senangnya beliau saat itu bisa menemukan hal penting seperti ini dan berguna
bagi masyarakat sampai detik ini.
Aku sendiri banyak belajar mengenal Matematika sejak mulai
mempelajari filosofinya Charlotte Mason. Ketika memilih homeschool pun tidak
serta merta membuatku paham bagaimana mengajari si Boy berMatematika. Sempat
aku berada di lubang kenistaan, halah bahasanya. :D Ketika si Boy berumur 8
tahun dan masih menggunakan materi belajar Matematika kurikulum sekolah, sempat
ia nangis tersedu-sedu karena aku memaksanya menghafal perkalian dan juga
memarahinya karena tidak juga paham pembagian. Padahal menurut materi, di usia
segitu anak sudah harus bisa dong pembagian. Lagi-lagi ya, mamak si manusia
yang punya emosi seperti gunung Merapi ini, begitu anaknya sudah nangis
tersedu-sedu minta berhenti belajar, bukannya berhenti eh mamak masih ngomel
panjang kali lebar kali tinggi kali diagonal dan masih tetap maksa untuk
mengerjakan soal. Ampun deh! – mau jitak emaknya gak sih ini?! :D
Bersyukurnya setelah mengenal CM dan sempat juga berguru
dengan seorang teman yang memang ahli dalam bidang Matematika, pelan namun
pasti teknik belajar pun berubah. Dari teman ini aku banyak belajar bagaimana
mengenal konsep itu perlu dan bagaimana dalam mempelajari Matematika itu tidak
perlu seperti dalam area balapan layaknya Michael Schumacher di Formula 1. Pelan-pelan
saja tanpa harus digegas itu perlu banget dipahami oleh orang tua dan para
pengajar. Aku pernah menulis hasil
belajarku di
sini.
Dari diskusi kemarin dan hasil dari keroyokan baca artikel
tentang Matematika dari berbagai sumber yang ditulis para praktisi CM di luar
sana, kira-kira begini teknisnya ketika Matematika dipelajari.
Ketika mulai mengenalkan anak usia dini dengan Matematika,
kenalkan terlebih dahulu konsep konkrit sebelum mengenalkan konsep abstrak.
Angka 1-10 itu abstrak bagi anak yang baru mengenal konsep Matematika. Anak
belum paham relasinya angka 1 dengan bentuk konkrit 1 apel. Jadi yang perlu
diperkenalkan dalam keseharian adalah benda-bendanya terlebih dahulu. “Dek,
Mama punya 2 apel nih. Mama mau kasih Adek 1 apel ya. Satunya lagi buat Mama
ya.” Terus berulang konsep ini dibahasakan dalam keseharian anak-anak dalam
berbagai bentuk obrolan ringan dan benda di sekitar. Sehingga ketika anak
mempelajari konsep angka 1-10, ia sudah bisa merelasikan bahwa 1 apel yang
diberikan oleh Mama sama dengan angka 1, dan seterusnya. Cara sederhana namun
ternyata anak sudah mempelajari konsepnya.
Begitupun ketika mulai mengajarkan konsep tambah dan kurang
ke anak usia dini yang sudah paham relasi antara angka dan jumlah konkrit
bendanya. “Dek, Mama punya 5 permen nih. Mama mau bagi permennya ah ke Adek 2
aja. Mama mau bagi juga ke Kakak 2 permen. Wah, sekarang Mama punya berapa
permen nih ya?” Tentunya, jadikan ini semua bukan untuk sesuatu yang digegas.
Tujuannya kan hanya supaya anak paham konsep. Buatlah seringan dan sesantai
mungkin dalam obrolan sehari-sehari dengan anak. Hari ini belum paham, tenang
Bun…masih ada hari esok. J
Lanjut ke usia sekolah. Layaknya rumah, pondasi itu perlu
banget. Begitu juga dalam belajar Matematika. Usahakan anak paham dulu konsep
pertambahan sebelum ia paham konsep pengurangan. Kenapa begitu? Ya kalau
tambah-tambahan aja masih belum ajeg, gimana pondasinya kuat untuk pengurangan.
Kalau anaknya bosan dengan tambah-tambahan terus gimana dong? Nah, belajar
Matematikanya berapa lembar dalam sehari? Kalau belajar tambah-tambahannya 10
lembar, ya siapa yang gak bosen sih.
Durasi dalam belajar Matematika pun tidak perlu panjang.
Ketika awal aku mengganti pola belajar Si Boy di usianya ke 8, aku menerapkan
kembali ke awal untuk tahu dimana sebetulnya dia tidak paham. Aku memulainya
kembali dari pertambahan 1-5, 1-10, 1-20, terus bertambah sampai ribuan dan ini
dikerjakan hanya 10 nomor setiap hari dengan durasi dari hanya 5 menit sampai
10 menit. Ini ketika masih tambah-tambahan ya. Begitu sudah masuk di
pengurangan, mulai lah ia melamban dalam mengerjakannya. Masih 10 nomor, tapi
ketika mulai masuk pengurangan seperti 175-28, ia melamban. Waktu pengerjaannya
pun sudah melebih 10 menit. Dan mulailah ketemu permasalahannya. Di pondasi
pengurangan lah ia mulai tidak bisa. Ketika sudah tahu di situ permasalahannya,
aku mulai memberikan soal-soal yang terkait dengan pengurangan. Setelah mulai
mudah dilakukan olehnya, baru kami kembali maju. Ini pun selangkah demi
selangkah lagi.
Masuk di perkalian. Urusan perkalian pun bukan perkara
mudah, tapi aku mempercayakan si Boy untuk menghitung dengan caranya
tersendiri. Ia tidak pernah menghafal perkalian. Ia menemukan caranya
tersendiri dalam berhitung perkalian. Begini kira-kira yang aku ingat. Misalnya
8 x 6, ia akan menghitung 8 x 2 terlebih dahulu (karena ia ingat ini dengan
mudah), lalu ia tambahkan 16 tiga kali. Memang ribet banget ya kelihatannya,
tapi ini cara dia memahami perkalian. Setelah ribuan purnama, maksudnya saat
ini di usianya 12 tahun, dengan sendirinya ia bisa melogikakan bahwa 8 x 6 = 48,
tanpa perlu menghafal tabel perkalian.
Setelah selesai dengan perkalian, baru masuklah ke konsep
pembagian yang tidak kalah membutuhkan waktu. Belum lagi ketika konsep ini
masuk ke dalam soal cerita yang membutuhkan penalaran dari anak. Semua butuh
proses dan tentunya proses memahami konsep dan nalar anak ini butuh waktu yang
cepat. Ketika anak digegas dari satu materi ke materi lain tanpa ia tahu konsep
dan nalarnya berjalan, tentu yang ada anak merasa tertekan. Lalu kalau sudah
tertekan, apakah anak mampu memahami materi yang diberikan? Jawabannya bisa
dijawab masing-masing di rumah ya, gak perlu dikumpulkan. Eaaa….
Kenapa anak perlu belajar pondasi tambah, lalu kurang, lalu
kali dan terakhir pembagian? Karena keempat ini adalah pondasi dasar dalam
Matematika. Ketika anak sudah paham, maka dengan mudahnya anak belajar
perpanjangan materi seperti misalnya pecahan, desimal, persentase, keliling,
luas bangun, volume dan sebagainya. Begitupun dengan durasi belajar dan lembar
soal yang diberikan. Cukup durasi singkat namun konsisten diberikan setiap
hari. Tidak perlu berlembar-lembar soal yang dikejar dalam satu waktu. Ini akan
menjadikan minat anak dalam belajar Matematika tetap terjaga. Ketika anak
dirasa sudah mulai lelah, berikan waktu istirahat sejenak sebelum ia memulai
lagi atau kalau mamak legowo, ya dikerjakan saja besok. Dunia gak kiamat juga
sih besok karena anak kita gak kelar belajar Matematikanya hari ini. :P
Selain karena sistem di sekolah yang terus berkejaran
seperti dulu takut ketinggalan bis kota, pengajar pun menjadi momok tersendiri
ya kenapa anak jadi hilang minat belajar Matematika. Mencari pengajar yang
pintar Matematika itu mudah, tapi mencari pengajar yang tidak hanya pintar tapi
juga bersemangat dalam mengajar itu yang jadi perkara saat ini. Belum tentu
orang yang pintar Matematika itu mampu juga mentransfer ilmunya dengan baik ke
anak murid. Justru yang terjadi adalah pengajar yang punya sejarah buruk dengan
Matematika tapi dengan semangat (passion) tinggi untuk mengenal Matematika lah
yang mampu mengajar muridnya.
Aku sih ngaku aja ya, dulu pas sekolah ya paling sering
dikeluarin dari kelas. Ya entah bikin rusuh di kelas, atau jadi tuduhan guru
karena dianggap bikin ribut di kelas, udah biasa banget berdiri di luar kelas.
Jadi ya belajar Matematika mah ke laut aje jaman sekolah dulu tuh. Setiap ada
PR, ya nyontek. Setiap ada ulangan, bikin contekan rumus. Eh begitu ngerjain
soal ulangan lalu buka contekannya, ya buset, ini rumus dipakainya gimana?! Gubrak! :D :D
Lulus dari sekolah ya jelas banget gagal paham banget sama
yang namanya Matematika. Tapi kehidupan banyak mengajarkan sih. Lucunya malah
dipertemukan dengan Matematika. Setiap kali diminta mengajar les privat,
lagi-lagi orang tua berharap guru yang bisa mengajarkan Matematika. Akhirnya
mau tidak mau, pelan tapi pasti, mulailah aku terpapar sedikit banyak dengan
Matematika. Dari yang awalnya gelap buta, pengalaman hampir 20 tahun mengajar
memberikan satu pencerahan juga. Akhirnya sampai di titik, aku paham bagaimana
anak menganggap Matematika sebagai momok dan berharap sekali aku mampu membantu
mereka keluar dari pemikiran tersebut. Seperti pepatah umum, semua ada waktunya
pada akhirnya. Semoga saja ya.
Belajar Matematika itu bukan hanya sekadar perkara mengejar nilai semata dalam pelajaran sekolah. Melatih nalar dan logika serta paham konsep itu jauh lebih penting. Bagaimana Matematika bisa menjadi hidup dalam keseharian kita, kembali ke diri masing-masing semuanya.