Selama 14 hari kami menjalankan isolasi mandiri di unit
apartemen kami. Pilihan untuk melaporkan diri ke pihak RT dan pengelola
setempat kami lakukan semata demi kepentingan bersama. Bagaimana tidak? Kami
tinggal bersama dengan ratusan, mungkin ribuan, manusia dalam satu lingkungan
apartemen yang cukup ramai dalam kesehariannya. Bisa saja kami egois untuk
tidak melaporkan kondisi kami yang terkena virus corona – sempat terlintas
siiiiih #ups – dan berkeliaran kemana-mana tanpa diketahui oleh orang-orang
sekitar yang berada satu lift dengan kami, memencet tombol, berdiri
bersebelahan ataupun mengobrol dekat-dekat dengan kami tanpa mereka tahu bahwa
kami ini sudah terjangkit virus yang lagi hype. Tapi kami dengan sadar memilih
untuk tidak seperti itu – karena kami adalah keluarga yang baiiiik #senyum sampai
matanya sipiiiittt….
Meskipun pada kenyataannya, hidup kami langsung seperti
menjadi tahanan rumah. Hahaha. Bayangkan selama 2 minggu kami mendekam manis di
dalam unit tanpa diperbolehkan keluar dari pintu. Membuka pintu depan hanya
untuk menerima paket dan dilarang mengeluarkan barang-barang kecuali sampah.
Jangankan kepala yang nongol, nafas aja takut-takut kalau buka pintu tuh,
serius! Berasa nafasnya kaya nafas naga, ada apinya. Bikin siapa aja yang mau
lewat takut kena nafas kami. Lebay banget yaaa :D
Nah karena sudah melewati 14 hari, waktunya kami cerita ngapain
aja selama kami ber-isoman ria ya.
Apa yang terjadi dengan kami?
Di hari pertama sampai hari ke 7 adalah hari-hari dimana
keadaan gak enak banget. Meskipun kami ini termasuk yang bergejala ringan, tapi
seringan-ringannya tetep yang paling dirasa adalah lemas dan males mau
ngapa-ngapain. Diantara kami bertiga, CT gue paling tinggi – angkanya 33. Si
Babeh terendah, 21 dan si Boy adalah 29. Kalau menurut sepupu dari pihak si Babeh,
gue adalah si ulat bulu. Maksudnya gimana? Gue lah si pembawa virus, karena CT
gue paling tinggi. Wkwkwkwkwk. Yah seperti yang gue cerita di blog gue
sebelumnya, gue sendiri gak tau darimana virus ini berasal. Gue hanya
kira-kira, tapi bisa jadi ya karena nafsunya gue kepengen makan martabak. :P Eh
tapi ini mungkin hanya mitos ya, mitos ulat bulu. Aselinya benar atau gak, gue
kaga tauuu. :D
Gejala yang pertama gue rasa adalah tenggorokan seperti ada
pasirnya gitu, lalu di hari kedua mulai muncul pilek dengan batuk dikit-dikit. Hari
kedua ini gue sempet agak sumeng tapi gak tinggi, sekitar 37 koma-koma, gak
inget. Di hari ketiga gue mulai gak bisa tidur, hidung rasanya sakit banget pas
dipakai buat nafas – ya dipakai buat apalagi selain buat nafas yeeee. Padahal
sepanjang hari ketiga itu hidung rasanya seperti keran, sering banget ingusnya
keluar. Hari keempat, mulai ada batuk dan pileknya mendadak gak terlalu banyak.
Nah di hari keempat ini karena hasil PCR juga sudah keluar dan dinyatakan
positif, plus sudah konsultasi dengan dokter online, gue akhirnya dapat obat
pilek. Barulah malam itu gue bisa tidur nyenyak dengan bantuan obat pilek itu.
Rasanya langsung seperti sleeping beauty #etdaah. Padahal hari-hari sebelumnya lebih
berasa mirip satpam. Maklumlah ya naluri emak-emak nongol kalau anak dan suami
sakit, pasti tidur kebangun-bangun mulu meyakinkan mereka gak kenapa-napa. Pada
gitu gak sih yang udah jadi emak-emak?
Hari kelima, karena sudah ada obat tidur #eh obat pilek
maksudnya, gue pun nenggak obat itu lagi setelah sarapan dan sepanjang hari
bawaannya kepengen bobo syantik syalala gitu loh. Mata susah banget diajak
melek. Lalu, begitu berhasil melawan hasrat mau tidur lagi,eh lihat piring di
tempat cucian numpuk banyak, belum ada makan siang, nasi pun belum ada di rice
cooker, sedangkan si dua cowok ini malah asyik-asyikkan aja nonton depan TV. Seketika
tanduk gue nongol dan merepetlah gue macam rapper. Jangan pernah remehin emak-emak
ngefly karena obat pilek dan bangun karena kelaparan ya, horror!! Hahahaha.
Gejala di Mas Boy sendiri malah agak aneh, menurut gue
sebagai emaknya. Di hari pertama, dia demam dan nangis-nangis karena gak bisa
terima kenyataan kenapa sampai kena Covid 19. Biar dikata dah lebih tinggi dari
gue, muka dah kaya anak abegeh, kelakuan mah tetep bocah. Syukurnya dia bisa
terima setelah diajak ngobrol dan didiemin aja biar mikir. :D Tapi setelah
demam di hari pertama, doi gak merasakan demam lagi. Hanya sempat sumeng di
hari ketiga aja dan tidak muncul lagi besok-besoknya. Batuk pilek iya, tapi
cepat banget hilangnya. Paling terasa di anak ini adalah radang tenggorokan,
begitu menelan rasanya sakit banget. Plus sariawan yang besar di dinding mulut
bagian kiri. Ya ampun, sensi banget sepanjang hari itu. Minim ngomong, tapi
sekali ngomong kaya pengen ditelen balik masuk perut gue. Nyebelin banget
pokoknya nih anak deh begitu duet sariawan dan radang tenggorokan melanda.
Beda lagi dengan gejala yang terjadi di Babeh. Batuk 3 hari
pertama, hari keempat kepala pusing berat sampai muntah segala, hari kelima
hilang penciuman, tapi di hari keenam dia sudah membaik banget. Si Babeh ini
dinyatakan positif dari hasil PCR ketika hilang penciuman itu. Malamnya
langsung diarahkan ke dokter yang dipakai oleh om tante gue yang saat itu juga
tengah terserang Covid berjamaah seminggu sebelum kami. Berhubung dokter ini
prakteknya tengah malam, jadilah malam itu si Babeh berjuang setengah mati
menyetir motornya – maklum ya, tinggal di apartemen sejuta umat itu susah
banget keluar parkir mobil malam-malam – dengan kesadaran yang sudah
setengah-setengah itu. Gue sempet jiper juga dia kenapa-napa di jalan, tapi
syukurlah masih bisa gue cium-ciumin sampai hari ini. Jadi, setelah ke dokter
dan mendapat obat yang jumlahnya gak kira-kira itu, doski lah yang termasuk
cukup cepat fit-nya dibanding gue dan Mas Boy.
Oiya, soal indera penciuman dan indera perasa, si Babeh yang
paling lama mengalami hilang dua indera ini dibanding gue dan si Boy. Malah
kalau boleh dibilang si Boy itu tidak mengalami sama sekali. Gue sempat
dua-tiga hari mengalaminya. Aseli ya, rasanya makan gak enak banget. Makanan
rasanya dominan asin, sebel banget deh karena gue gak suka asin.
Meskipun kami dalam kondisi tidak nyaman ini, hilang
penciuman, hilang rasa, sariawan gede di dinding mulut, pilek, batuk dan lemas,
ada satu yang sama. Biar dikata makanan rasanya amburadul di mulut, tetep loh kami
masih punya nafsu makan yang besar. Hahahahaha. Perut serasa gak ada dasarnya,
bawaannya lapar terus. Apa aja yang dikirim, dimasak, ada di depan mata, semua
habis dalam sekejab. Ya ampun, macam gak makan berhari-hari. Pokoknya gak ada
tuh yang namanya hilang nafsu makan, yang ada justru kelaparan melulu.
Bersyukur sih kami masih diberikan kemudahan dalam makan.
Masuk minggu berikutnya, hari ke 8 sampai hari ke 14. Dimana
hari-hari sudah lebih kuat, tidak ada lagi lemas yang maunya bobo-an syantik
syalala gitu. Setiap pagi selalu diawali
dengan antusias yang tinggi, dengan segudang jadwal mau ini, mau itu. Pada
kenyataannya, baru aja cuci-cuci sayur dan mau potong wortel, eh badan mendadak
berasa capek banget. Langsung potong wortel sambil duduk gelosoran di lantai. Gitu
juga kalau mau masak macem-macem, persiapannya harus disisipin dengan istirahat
sebentar dulu baru bisa lanjut mengerjakan lainnya. Cuci baju dan pakaian dalam
yang dikit aja berasa capek, jadi gak berani mau cuci baju sering-sering – Ah,
ini sih emang disinyalir karena kemalasan bukan karena kelemesan. :D
Aktivitas pun masih seputar nonton – makan – leyeh-leyeh di
kasur dan berulang. Begitu aja setiap harinya. Kalau makan ya jangan ditanya
kan ya, tetep dengan nafsu besar. Selain itu, jangan diajak mikir berat deh.
Lemot banget rasanya, susah banget diajak konsentrasi. Tapi syukurlah di minggu
ini sudah agak mencair otaknya. #eh :D
Pelan tapi pasti kekuatan badan dan pikiran sudah
berangsur-angsur menuju membaik di minggu kedua pasca pemulihan ini. Di samping
itu yang gue sadari lagi adalah bagaimana keluarga dan teman sungguh sangat
membantu. Paling terasa di sakit seperti ini yang sepertinya gak kelar-kelar –
gue termasuk yang jarang sakit soalnya, jadi begitu sakit trus gak sehat-sehat
tuh capek banget buat gue – gue jadi kangen berat dengan bokap dong. Gue kangen
dengan segala bentuk perhatiannya. Gue yakin ya kalau sekarang masih ada, bokap
pasti akan telepon gue berkali-kali menanyakan keadaan gue, mencarikan obat
yang susah dicari kemarin itu, memastikan gue makan, memastikan gue istirahat,
memastikan apa yang gue butuh dan mencarikannya sampai gue terima. Gue yakin
ini.
Namun gue sungguh bersyukur sih, semesta seperti mengirimkan
bokap melalui perpanjangan tangan dari saudara dan sepupu serta teman-teman
yang baiknya ampun-ampun ke kami. Ada satu kakak tertua dari bokap yang bisa
dibilang hampir setiap hari menelpon kami menanyakan keadaan kami, apakah kami
makin membaik, ada gejala apa dan bagaimana perkembangannya. Ya ampun, ketika
mendengar suaranya pun rasanya seperti mendapati bokap yang sedang berbicara
dengan gue, suaranya pun hampir mirip – atau jangan-jangan saking kangennya gue
jadi halu dengarnya mirip. Kangen tuh sampe segininya ya, bikin nyes di hati dan
bikin mata ngembeng. Beneran ya, covid ini menjadikan keluarga dan teman
seperti dekat di hati. Begitu terasa dan nyata perhatian dan supportnya mereka
untuk kami. Bersyukur kami dikelilingi orang-orang terbaik, tersayang dan
terberkati.
Jadi selama dua minggu ini apa saja yang kami lakukan?
Ya seperti tadi yang sudah disebutkan, setiap pagi segudang
jadwal sudah direncanakan, tapi kenyataannya ya bubar jalan. Dengan alasan
lemah badan dan lemah otak tadi – bilang aja males yaaa, kami memilih menjalani
hari tanpa jadwal di setiap harinya. Kami lepaskan segala beban pikiran dan
menikmati hari dari waktu ke waktu. Tidak mikir apa-apa selain menyenangkan
hati dan pikiran, relaksasi tanpa henti judulnya deh. Just enjoy the days
without any schedule.
Tapi gak mudah juga sih menjalani hari tanpa beban pikiran
dimana belakangan ini berita yang mengarah ke negatif berseliweran di dunia
maya. Lagi-lagi sih ya, ini semua kan pilihan ya. Kita sendiri yang paham dengan
diri kita sendiri ini mudah termakan atau tidak dengan hal-hal seperti itu.
Kalau gue pribadi sih memang sejak awal pandemi sudah memutuskan untuk tidak
mau terpengaruh dan tidak pernah mau mengikuti berita-berita seperti itu. Jadi
mau seperti apapun beritanya, gue memilih untuk tidak mendengar. Terserah apa
kata orang ya, tapi gue memilih untuk seperti itu. Bukan karena parno juga,
tapi untuk apa membuang energi untuk sesuatu yang bikin imunitas kita melemah
kan?
Lain halnya dengan si Babeh, doi sangat menikmati isomannya
ini dengan teman-temannya yang aseli super abis deh. Super tenaganya, karena
ditengah kerja mereka bisa dong sempatin waktu ber-VC (video call) ria yang gak
cuma sekali, tapi 3x – makan obat aja kalah, boooo. Super berisik, ternyata
bapak-bapak kalau udah VCan itu gosipan juga kaya emak-emak, tapi dengan suara
bass, bukan suara cemprengnya ala emak-emak. Super cepat, begitu kami gak dapat
obat, dalam sejam obat sudah hadir di unit kami. Luar biasa banget emang
bapack-bapack itu yaaaa. Salut!
Selanjutnya, mau cerita apa yang kami konsumsi selama dua
minggu ini. Masih tetap bertahan kan baca ceritanya? Hihihii
Sebelum kami dinyatakan positif dan harus isoman, kami sebetulnya
sudah menyiapkan diri untuk tidak keluar rumah selama seminggu. Ceritanya mau
menikmati liburan setelah selesai dengan PO makanan kami. Eh ternyata malah
beneran harus isoman karena positif. Jadi, kami sudah menyiapkan beberapa hal
seperti belanja sayur online, telur 2 tray, buah-buahan, air isi ulang 4 galon
dan beberapa vitamin yang memang kami beli. Lalu, begitu gejala semakin jelas
dan memutuskan tidak jadi mengirim paket-paket makanan kami, semakin terasa
bahwa kami seperti sedang menyiapkan diri untuk isoman. Isian kulkas dan
kebutuhan rasanya cukup lah untuk isoman kami. Besok-besok jangan suka bikin
rencana aneh-aneh deh ya. Kalau bagus hasilnya, lah kalau jadinya liburan ala
isoman gini mah gak keren dah.
Nah sepanjang isoman ini kami berusaha banget masak. Gejala
kami ini hampir serupa sedang terkena radang tenggorokan, batuk dan pilek tapi versi
dua kali lipat lebih berat dari biasanya, maka sangat nyaman banget ketika
makanan yang kami asup adalah makanan berupa kuah-kuahan dan tumis-tumisan.
Tentu sebisa mungkin kami mengurangi sesuatu yang berminyak, goreng-gorengan
dan juga makanan pedas, tujuannya ya supaya tidak memicu virusnya tetap
bersarang di tubuh. Namun ya beberapa
kali kalau kami dikirimi makanan yang gorengan dan karbo banget, kami makan
juga. Ya namanya kelaparan terus, apa juga masuk ke perut. Nothing left behind,
prinsipnya gitu emang! Hohohoho.
Ditambah lagi asupan lainnya berupa jus sayur dan buah yang
kami konsumsi hampir setiap hari, jamu empon-empon ala Pak Jokowi yang
bahan-bahannya jahe, kunyit, temulawak, secang, sereh dan gula jawa yang
langsung dikirim oleh teman kami di komunitas, buah-buahan seperti apel, kiwi,
melon, semangka, buah naga, pepaya, pisang dan nanas sebagai snack ketika lapar
mendadak, rebusan obat tradisional Cina yang bahannya dikirim oleh temannya si
Babeh – duh jangan tanya rasanya pahit banget, air kelapa ijo yang mampu bikin
adem badan yang dikirim oleh adik kandungnya bokap – terasa banget seperti
bokap deh ini, dan terakhir adalah minum vitamin yang kami terima beberapa juga
dari teman-teman kami.
Berhubung kami ini tidak boleh keluar dari unit, jadilah
untuk mendapatkan sinar matahari, kami hanya bisa berjemur sebentar di balkon
yang ukurannya seuprit alias mini. Ini pun harus kejar-kejaran dengan waktu. Ya
syukurnya masih sempat berjemur meski dalam 14 hari hanya dua kali aja sih yang
beneran jemur. Dibalik lemas ada rasa malas. :P
Begitulah hari-hari yang kami lalui selama 14 hari kami
isolasi mandiri. Dan selama 14 hari juga kami mengalami banyak kabar
menyedihkan yang tentu tidak dapat kami hindari dan sedikit banyak mempengaruhi
kami. Beberapa teman yang kami kenal dan
pernah dekat, serta saudara yang harus berjuang dengan virus yang sama dengan
kami tapi dengan kondisi yang berbeda dan tidak dapat bertahan sehingga harus
meninggalkan kami. Sungguh ironi perjalanan pandemi dan virus ini.
Virus ini bukan untuk ditakuti dan dihindari, karena
sejujurnya mau sampai kapanpun kita akan terus hidup berdampingan dengan Covid
19 dan suatu waktu pasti akan terkena. Namun kita perlu bijak dalam
menghadapinya. Kenali diri kita sendiri seperti apa. Apakah ada penyakit bawaan
(komorbid) yang kita derita? Jika ada, apa yang harus dilakukan dengan penyakit
bawaan kita ini, sehingga nanti begitu terjangkit virus Covid 19 kita sudah
lebih siap menghadapinya. Memang mudah untuk dijelaskan tapi susah dijalankan
ketika virus ini menghinggapi kita. Tapi setidaknya, dengan kita paham dengan
diri kita sendiri, kita jadi paham apa yang dibutuhkan oleh diri kita.
Selain itu, di saat yang genting seperti ini dimana oksigen
susah dicari, rumah sakit penuh dimana-mana, dan pertolongan susah didapatkan, kenali
lingkungan sekitar kita. Berakrab-akrab ria-lah dengan tetangga, berhubungan
baiklah dengan ketua RT setempat, kumpulkanlah informasi sebanyak-banyaknya
tentang lingkungan kita. Siapa lagi yang mampu menolong kita selain orang yang
tinggal berdekatan dengan kita sewaktu-waktu kita memerlukannya.
Dan yang terakhir, hiduplah dengan sehat. Karena kita tidak
tahu kapan virus ini mendekat dan seberapa siap badan kita menerima virus ini.
Jadi, perbanyak asupan yang sehat untuk jiwa maupun raga, untuk badan dan juga
untuk pikiran kita.
Semangat bagi yang sedang menjalani hari-hari isoman dan
juga yang sedang berjuang menghadapi Covid 19. Kami bisa, kalian pun juga pasti
bisa.