Akhir pekan lalu kami bertiga pergi berkemah bersama dengan teman-teman Ruang Tengah.
Disclaimer dulu ya…
Sebetulnya rencana berkemah ini sudah lama dirancang oleh
grup diskusi mingguan kami di komunitas sebagai kegiatan kebersamaan. Tapi
dalam proses merencanakan ini ada suatu hal yang membuat batin kami terguncang
cukup hebat. 😉 Kami dihadapkan oleh dua pilihan sehingga membuat grup kecil
ini harus memilih antara bertahan di komunitas atau keluar. Sehingga banyak dari
kami memutuskan keluar dan sepakat untuk membuat wadah baru yang cukup
fleksibel dengan aturan. Wadah ini kami namakan Ruang Tengah, sebagai tempat
kami dapat berbagi, belajar serta berkegiatan bersama.
Awalnya ada 15 keluarga dan 1 teman yang akan bergabung
ketika ide ini dilemparkan ke grup. Tapi di tanggal 13-14 Agustus itu hanya
tersisa 12 keluarga yang akan ngeriung bersama. Meski begitu tetap saja ini
acara yang dinanti-nantikan oleh kami semua. Di hari keberangkatan, kami
sepakat bertemu di titik kumpul lebih dulu sebelum akhirnya kami konvoi naik
bersama ke lokasi, Hutan Hujan, Sentul.
Berhubung lokasinya agak curam ke bawah dan mobil juga tidak
bisa lewat, kami diharuskan untuk berjalan sekitar 500 meter dari tempat
parkir. Ada yang lucu di sini, begitu kami sampai di lokasi parkiran dan siap-siap
untuk berjalan bersama, kami saling memantau barang bawaan teman-teman. Ini pun
menjadi bahan bercandaan kami. Ada yang malu karena merasa heboh bawa bed
cover, ada pula yang pede jaya bawa kardus mi instan seakan mau pulang kampung
(keluarga gue nih!) dan ada juga yang santai aja dengan bawaan seminim mungkin.
Namanya juga beda keluarga ya, pasti gaya dan kebutuhannya juga beda.
Selesai dengan urusan peraturan bersama yang dilanjut dengan
makan siang, kami ajak anak-anak dan orang tua untuk berkegiatan lomba ala-ala
17 Agustusan. Dimulai dengan lomba bawa kelereng dengan sendok. Anak-anak
dibagi menjadi 3 grup; balita, usia 6-10 tahun dan remaja. Bapak-bapak dan
ibu-ibu pun juga diminta turun buat hura-hura bergembira juga. Selain lomba
kelereng, ada juga lomba memasukkan pensil ke dalam botol, lomba pukul air dan
yang terakhir lomba makan kerupuk. Hampir semua lomba dimeriahkan oleh
anak-anak balita. Mereka lucu deh, semangat ’45 banget begitu diajak ikutan
lomba. Serunya lagi, biarpun tidak ada menang atau kalah di perlombaan ini,
tapi tidak ada satu pun anak-anak yang komplen karena tidak juara. Hadiahnya
pun hanya sekedar snack ringan sederhana kecil-kecilan yang dimakan saat itu
kelar. Begitu aja dah bahagia ya. 💕😍
Kehebohan lomba-lomba ala 17-an ini bikin anak-anak dan
orang tua jadi cepat membaur. Suasana jadi lebih mencair dari sebelumnya.
Sehingga untuk menuju kegiatan berikutnya, bermain di sungai, anak-anak juga
sudah lebih luwes dari sebelumnya. Nah, sebelum kami jalan menuju ke sungai,
kami minta anak-anak untuk berpasangan. Anak yang besar kami minta untuk
bertanggung jawab menjaga anak yang lebih kecil. Menariknya, mereka menjadikan
tugas berpasangan ini cukup serius. Selama perjalanan menuju ke sungai terlihat
anak besar menjaga anak kecil sebaik mungkin. Ada yang digandeng, dirangkul,
diajak ngobrol, ditungguin ketika jalannya melambat ataupun dibantu ketika
bertemu jalan yang susah untuk ditempuh. Hangat sekali melihat sisi lain dari
anak-anak ini deh.
Sampai lah kami di sungai, anak-anak sudah tidak sabar ingin
main. Dan tugas menjaga anak-anak pun dikembalikan ke orang tua masing-masing.
Bukan hanya anak-anak yang seru dan heboh sendiri bertemu dengan air sungai,
orang tua juga gak kalah senang. Sungai memang punya daya tarik sendiri ya.
Puas banget lah ini anak-anak main di air, dari yang kecil sampai yang gede.
Semua hepi!
Tapi berhubung mendung dah mulai bergelayut di atas kita,
saatnya cepat-cepat harus segera kembali ke tenda. Seperti yang sudah diberitahukan
oleh orang-orang setempat di sana, hampir setiap sore sekitar pukul 4 pasti
akan turun hujan. Maka dari itu lokasinya dinamakan Hutan Hujan. Bisa begitu ya.
Pasti mba Rara rajin mantau ke sini nih buat mastiin setiap jam 4 hujan. 😂😂
Syukurlah ketika hujan akhirnya turun kami sudah cukup
nyaman di tenda masing-masing. Beruntungnya juga hujan turun cukup ringan. Gue
dan Ali sih merasa senang banget bisa santai-santai di dalam tenda sambil
melihat pemandangan di depan kami. Sawah hijau yang dibasahi hujan rintik,
dengan pemandangan latar hutan pinus dan angin sejuk semilir menerpa kami. Kapan
lagi coba menikmati suasanan hening dan syahdu kaya gitu. Meanwhile, anak
lanang kami asyik kumpul sama teman abegehnya di tenda lain.
Hujan berhenti sekitar pukul 6 sore, tepat makan malam
disajikan di resto. Kami menikmati makan malam kami di sana sambil menyatukan meja
untuk lebih seru ngobrolnya. Udara tidak terlalu dingin, tapi cukup membuat
kami mengenakan sweater atau jaket. Anak-anak juga seru sendiri. Sedangkan
bapak-bapak ada yang memilih sendiri menikmati makan malamnya ataupun mengobrol
berdua atau bertiga bersama.
Selepas makan malam, kami kembali ke tenda. Sambil menunggu
api unggun dinyalakan oleh pengurus di sana, kami lanjut mengobrol. Sedangkan
anak-anak sudah tidak sabar ingin segera panggang marshamallow. Heboh banget
ketika mereka bisa mewujudkan keinginan mereka. Padahal kalau lihat api
unggunnya sih meresahkan banget. Tapi untung ada salah satu dari ibu-ibu bisa
debus #eh. Kesannya sih marshmallow-nya dipanggang, kenyataannya hanya
disodorin bentar demi kepuasaan pemirsah. Judulnya yang penting anak senang! 😁😁
Selesai dengan kehebohan anak-anak dan marshmallow, acara
mengobrol pun berganti menjadi nyanyi-nyanyi dengan gitar. Sayangnya pemain
gitarnya ini gak bisa mewujudkan lagu favorit gue nih, Kangen-nya Dewa dan
Kita-nya Sheila on 7. Padahal seru tuh lagunya. Tapi digantikan dengan lagu
Sempurna-nya Andra n The Backbone. Wuiih, mantap laaah ini, meski suara ya apa
adanya aja lah.
Malam semakin larut, satu persatu teman-teman sudah masuk ke
tenda. Meninggalkan beberapa orang yang masih pengen mengobrol bersama. Tentu
dong Pop Mie gak boleh ketinggalan, soalnya udara makin dingin. Memang ya,
setiap kemping itu wajib banget makan mie instan. 😁 Dan sekitar pukul 12 malam
kami memutuskan untuk masuk tenda masing-masing dan tewas.
Keesokan harinya…
Buat gue yang susah tidur di tempat baru, malam itu gue
cukup bisa tidur meski sempat kebangun beberapa kali. Dan berhubung pagi-pagi
juga sudah ada yang bangun, gue pun jadi ikut terbangun – masih tidur-tidur
ayam sih. Beberapa sudah ada yang bikin kopi, mie instan dan panggang roti.
Pada rajin-rajin banget sih ya. Sedangkan gue sehabis ambil satu roti yang sudah
dipanggang teman-teman, lebih memilih untuk duduk menyendiri aja sambil
nyeruput kopi buatan bapak Ali, menikmati pemandangan di depan gue. Ah… bengong
itu emang enak.
Selesai makan pagi, kami memutuskan untuk nature walk. Tapi
sebelum mulai berjalan, kami meminta anak-anak untuk olahraga sebentar. Kembali
anak-anak diminta untuk berpasangan yang sama seperti kemarin. Perjalanan pun
dimulai. Kami memasuki hutan pinus, yang ternyata di dalamnya cukup licin dan
berlumpur karena hujan kemarin. Entah berapa lama kami berjalan, tapi
perjalanannya itu cukup jauh dan makan waktu. Hebatnya, selama itu anak-anak
menikmatinya. Hampir tidak ada yang merengek capek atau kelelahan. Selain itu,
sepanjang perjalanan ini beberapa orang tua sering melemparkan jokes lucu yang
bikin ngakak berjamaah.
Sampai juga kami di Gua Garunggang. Cukup menarik tempatnya
karena banyak bebatuan, yang menurut penduduk setempat seperti Grand Canyon
versi mini. Alami, tidak dibentuk atau dipahat. Berhubung sudah berjalan entah
berapa lama tadi, kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Beberapa anak remaja
dan bapak-bapak memutuskan untuk turun ke gua-nya. Karena penasaran, Si Boy
juga ikutan turun. Guanya itu menurun ke bawah, licin dan terjal.
Sepertinya waktu sudah semakin siang dan kami perlu kembali
ke tenda. Ternyata perjalanan yang harus ditempuh tidak ada jalan lain selain
kembali ke jalan yang kami tempuh tadi. Sontak beberapa dari kami langsung
merasa lemas tak berdaya. 😂 Tapi kita masih di Indonesia kan ya, tentu selalu
ada penyelamat di kala susah seperti ini. Andalan kita semua, Mamang Ojek! 👏
Menggoda sekali kehadiran mereka di sana, meski biaya yang harus dibayar juga gak kira-kira – 50 ribu. Tapi namanya juga ibu-ibu, gak nawar gak afdol kan ya. Ditawar jadi 40 ribu dan Mamang Ojek pun setuju. Dan gue menjadi salah satu yang memilih jalan pintas ini bersama ibu-ibu lain yang sudah melambaikan bendera putih ke kamera.
Ini dia kenapa harga ojek begitu mahal di situ. Dengan rute
yang aduhai luar biasa macam roller coaster gitu, si Mamang harus punya skill
yang jago banget. Baru mulai duduk aja di kursi penumpang, si Mamang sudah
mengeluarkan keahliannya untuk bisa membawa kami lewati turunan terjal yang
licin. Mana gue pede jaya banget ajak salah satu anak teman yang umurnya 5
tahun – namanya Nana.
Di awal Nana sudah tampak gelagat ketakutan. Gue coba
meyakinkan ini akan baik-baik saja, jadi gue bilang ke Nana untuk tenang saja,
kita pasti bisa lewati ini. Anak ini pun manggut-manggut dan nurut ketika gue
minta dia untuk peluk si Mamang. Tidak hanya peluk, tapi gue minta juga untuk
menaruh kakinya di paha si Mamang. Dan Nana pun cukup tenang setelah gue
afirmasikan seperti itu, bahkan bisa sambil bersenandung. 😂
Sementara gue sendiri… ya gitu lah…
Berkali-kali meyakinkan diri gue untuk percaya ke si Mamang.
Asli, sungguh susah, sodara-sodaraaaa. Bayangkan jalanan yang ditempuh itu
seringkali hanya berjarak beberapa senti dari jurang. Terjal dan licin, dengan roda
motor yang sebentar-sebentar terpeleset berjalan di tanah bekas hujan. Motor
yang dipakai juga kurang mumpuni, motor matic aja gitu, dengan penumpang yang
gak imbang beratnya dengan yang nyetir.😂😂Mana si Mamang berkali-kali bilang,
“Peluk aja saya, Bu. Peluk.” Halaaaah – maksudnya biar aman, tapi gue gak
merasa begitu. *lap keringet* Sampai akhirnya dia kesel juga kali ya sama gue.
Ngomel-ngomel dong ke gue, “Tenang, Bu. Ibu tenang dong. Kalau ibu gak tenang
saya juga susah ini” karena gue bentar-bentar minta turun dari motor. 😂😂
Aseli sih ini horor banget. Salah perhitungan dikit aja, ban
motor tahu-tahu meleset, kelar udah hidup gue dan Nana di tangan si Mamang. Entah
berapa kali gue berdoa selama perjalanan demi keselamatan hidup gue dan Nana –
anak orang iniiii. 😂😂 Begitu akhirnya sampai di depan tenda kaki gue
langsung lemes. Tapi tetep gue bayar dengan harga awal. Perjuangannya memahami
ibu-ibu panikan kaya gue ini PR yaa, Mang.
Apa kabar, Nana? Dia turun dengan senyum sumringah aja
sambil menenteng botol Teh Pucuk di tangan. Kebahagiaan anak memang utama
yaaaa, no matter what happen with the parents yang udah jungkir balik. 😂😂😂 Setidaknya selamat sampai bawah aja itu Puji Tuhan, syukur alhamdulilah. Benar-benar
keputusan terburuk yang gue ambil dah ah. Apalagi sesaat setelah itu ada suara
anak-anak yang terdengar dari kejauhan. “Apakah gue lagi berhalusinasikah ini?”
Begitulah acara berkemah kami kemarin. Penuh dengan cerita
seru yang akan dikenang suatu hari nanti. Setelah berfoto bersama, kami
bersama-sama berjalan kembali menuju ke lapangan parkir. Meski rasanya enggan
ya untuk berpisah, tapi kami percaya akan ada momen-momen lagi di kemudian
hari.
PS: Beberapa ada yang memilih naik ojek untuk membawa barang-barangnya ke lapangan parkir. Keluarga Nana salah satunya. Gak ada tuh rasa ketakutan dari Nana, malah dia duduk di depan Mang Ojek sambil tertawa bergembira saat motornya melewati gue yang terengah-engah di jalan menanjak. Cukup tante Ethep aja yang trauma ya, Na!!😂😂😂