Bokap lahir di tengah keluarga besar, anak ke 6 dari 13 bersaudara. Kebayang betapa serunya kehidupan mereka dulu saat itu. Kakek gue – dipanggil Kungkung (Gong Gong) – asli dari dataran Cina yang hijrah ke Jakarta dan tinggal di daerah Kemayoran. Kesehariannya bekerja sebagai pembuat furnitur. Hampir semua perabot, mulai dari tempat tidur, lemari pakaian, lemari penyimpan barang, meja, kursi dan segala yang terbuat dari kayu dibuat oleh Kungkung gue ini. Saat itu kayu jati masih jadi bahan utama yang dipakainya. Sampai saat ini peninggalannya masih terpakai di rumahnya yang sekarang ditempati oleh 4 anaknya yang tidak menikah, seorang Om (Shushu yang terpeleseti dilafalkan menjadi Suksuk) dan 3 orang Tante (Gugu yang dilafalkan menjadi Kuku).
Sedangkan nenek gue – dipanggil Popo – ini asli Cina Benteng
yang lahir sekitar tahun 1929 kalau gak salah, ini juga dari cerita Kuku gue.
Popo ini bisa dibilang berumur panjang. Meskipun di akhir hidupnya pikirannya
sudah pikun dan susah bicara. Kesehatannya semakin menurun dan sempat terserang
sakit stroke sebelum meninggal. Beliau meninggal di umurnya yang ke 90 tahun,
tahun 2019.
Sejujurnya gue gak bisa membayangkan bagaiamana cerita
kehidupan bokap beserta ke-13 saudaranya sewaktu mereka kecil. Saat ini kakak
tertuanya sudah berumur 74 tahun, dan yang termuda mungkin baru di awal 50an. Mereka
hidup di rumah yang tidak terlalu besar saat itu. Bagian depan dibuat sebagai tempat
kerja Kungkung gue – workshop kalau sekarang mah. Gue inget waktu itu gue diajak
bokap nyokap ke sana masih kecil, rumahnya penuh dengan serutan kayu-kayu yang
bertebaran di seluruh workshopnya itu. Tapi karena Kungkung meninggal cukup
cepat, sekitar awal 90-an, gue hanya mengenal beliau sampai di usia awal SD
aja. Lalu blas gak inget apa-apa lagi.
Sedangkan bagian belakangnya dibuat menjadi tempat tinggal
mereka dengan hanya memiliki 1 kamar tidur utama dengan 2 tempat tidur
bertingkat berukuran queen size. Sehingga 8 orang bisa masuk di dalam kamar
utama ini. Lalu karena pasukannya semakin bertambah terus, Kungkung menambahkan
rumahnya menjadi dua lantai yang beliau kreasikan sendiri dengan menggunakan
lantai kayu. Di atas sini ada 3 kamar tidur yang cukup luas, tentu dengan
tempat tidur bertingkat buatan Kungkung gue. Kalau sekarang 3 kamar tidur ini
ditempati oleh masing-masing Kuku gue. Sedangkan kamar utama di bawah ditempati
oleh Suksuk.
Popo sendiri selama hidupnya bersama dengan ke-13 anaknya ini sebetulnya merasa cukup terbantu karena mempunyai anak-anak perempuan yang gesit dalam urusan rumah tangga. Jadi Kuku-kuku gue yang tidak menikah inilah yang dulunya mengelola segala kebutuhan rumah tangga dan sekarang menjaga rumah peninggalan orang tuanya. Saat ini mereka pun sudah tidak lagi muda umurnya. Bahkan struktur badan mereka mulai terlihat mengecil dan semakin membungkuk karena masalah osteoporosis.
Kehidupan mereka tentu tidak luput dari yang namanya
pertikaian antar saudara ya. Namanya juga sibling, pasti ada aja selisih
pendapat. Dikit aja berantem, apalagi ini 13 anak. Lalu gue membayangkan dulu kalau anak-anak cowok berantem kaya gimana
gitu ya. Rusuh banget kali ya. Hahahah 😂😂😂
Kalau dari cerita beberapa saudara kandungnya serta langsung
dari mulut bokap sendiri, bokap ini anak paling badung diantara mereka. Paling
galak pula sehingga semua adik-adiknya takut sama dia. Macam preman Kemayoran
memang babeh gue di tengah keluarganya. 😂 Kuku gue, adik cewek bokap yang terkecil,
pernah cerita ke gue. Waktu itu bokap gue lapar tengah malam, bisa loh dia suruh
Kuku gue ini buat beliin dia nasi goreng tek tek. Maksa gitu lah mintanya, dan
pakai ngancem mau pukul atau apa lah gitu. Jadi mau gak mau, karena Kuku gue
takut sama bokap gue, terpaksa keluar rumah dan beliin yang dia mau. Haduh bokap
gue ya! Gak heran gue turunan siapa ini. 😜😜
Ribut-ribut kecil sampai besar pernah dihadapi bareng-bareng.
Meskipun begitu gue salut dengan kekompakan mereka. Ketika ada keluarga yang
tidak dalam kondisi prima, langsung bekerja sama untuk membantu. Segitu kuatnya
ikatan emosi mereka, sehingga bisa saling merasakan penderitaan saudara-saudaranya.
Ini pun terjadi ketika bokap mengalami stroke di suatu malam, 10 Oktober 2000. Kalau
tidak ada mereka, mungkin keluarga gue tidak ada kehidupan saat ini.
Kebayang kan, bokap yang tadinya sangat perkasa – ditakuti oleh
saudara-saudaranya karena galak 😋 dan menjadi tulang punggung keluarganya sendiri, meski nyokap
kerja juga sih – hari itu bokap bukanlah siapa-siapa. Sepanjang 14 tahun bokap
menjalani hidup dengan setengah badan yang berfungsi. Sungguh ini menyulitkannya
dan banyak sekali membuat egonya sebagai kepala rumah tangga tersentil. Kehidupan
timpang sekali saat itu. Tapi saudara-saudara bokap membantu kehidupan kami sampai
sisa hidup bokap gue. Betapa berhutang budi yang sangat besar sekali kepada
mereka.
Kepulangan bokap ini membuat saudara kandungnya terpukul. Bokap adalah saudara ke-2 yang meninggal di antara mereka. Sebelumnya kakak nomor 2 yang memiliki cacat karena pernah mengalami panas tinggi di saat bayi sehingga melumpuhkan pita suaranya dan membuatnya tidak bisa bicara. Kakak ini juga sama-sama terkena stroke seperti bokap. Sewaktu bokap melihat kakaknya berada di dalam peti mati, bokap nangis sejadi-jadinya. Sebegitu sedihnya kehilangan saudara buat mereka. Begitupun ketika bokap berpulang. Mereka menemani dari awal sampai masuk ke liang kubur, sebagai bentuk cinta kasihnya kepada saudara kandung mereka. Bahkan Popo yang sudah mulai pikun pun tiba-tiba menangis, seperti mendadak ingat akan anaknya. Ah, betapa insting ibu itu kuat ya. 💗💗
Sayangnya selama pandemi ini acara ngumpul jadi absen.
Memang sih para Om dan Tante ini sudah tidak lagi muda, jadi ya memang
keputusan ini sudah yang terbaik juga untuk dijalankan. Lantas gue inget aja
dengan ketiga Kuku gue yang mungkin saja mereka kesepian. Beberapa kali gue
suka datang, ya berhubung tempat tinggal gue gak terlalu jauh juga sih dari Kemayoran.
Datang untuk ngajakin mereka ngobrol, tukar kabar, tukar cerita, segala keluh
kesah mereka dengan penyakitnya.
Satu hal yang paling gue senangi ketika datang ke sana
adalah gue bisa merasakan masakan rumahan jadul, selain mengetahui cerita kisah
hidup mereka ya yang sering gue tanya-tanya ya. Salah satu yang paling gue
kangenin itu Ketupat Sayur Lebaran buatan Kuku-kuku gue ini. Setiap Lebaran,
meskipun gak ada satupun anggotanya yang merayakan, pasti ketupat ini selalu nongol.
Hanya hadir setahun sekali.
Kemarin gue datang bersama Ali dan Mas Boy. Kuku gue ini
memang totalitas sekali deh. Mereka langsung sigap menyiapkan semuanya sampai
kami bertiga hanya tinggal duduk dan makan saja. Jadi enak kan! Halaaah. 😁✌
Sambil makan sambil mereka cerita proses pembuatan Ketupat
Sayur ini. Dari awal membuat ketupat yang beberapa tahun ini gagal terus, tapi
kali ini berhasil. Lalu proses bumbu yang masih memakai teknik ulek ketimbang blender,
sehingga rasa bumbunya kuat sekali. Sampai berapa banyak yang mereka masak
untuk dibagi dengan semua keluarga saudara kandungnya. Di sini terasa banget
ketulusan dan kehangatan keluarga Kemayoran. Meskipun sekarang tanpa adanya
kehadiran bokap di tengah kami, tapi rasanya bokap selalu hadir setiap gue
datang ke rumah masa kecilnya ini.
Semoga hal-hal sederhana yang gue lakukan, sekadar berkunjung, menyiapkan telinga untuk mendengar kisah mereka, menikmati masakan rumahan ala mereka, bisa menjadi kesenangan tersendiri untuk mereka yang sudah semakin menua ini. Semoga gue dan keluarga kecil gue ini bisa membalas segala kebaikan yang mereka sudah berikan sepanjang bokap hidup. Semoga Tuhan dan Alam Semesta memberikan kesempatan ini. Amin! 💗💗
No comments:
Post a Comment