Hubungan gue dengan nyokap tidak selalu bagus. Bahkan bisa
dbilang kami tidak terlalu dekat. Begitu banyak memori kurang baik dengan
nyokap yang melekat dalam pikiran gue, sehingga dikit banyak ini menyebabkan
gue memberi jarak ke nyokap.
Pengalaman masa kecil yang paling gue inget ada dua yang
sangat melekat. Pertama ketika gue mengutang ke teman gue. Anak kecil bisa
ngutang, entah dari mana nirunya ini. Jadi ceritanya gue pulang sekolah dengan
teman gue, namanya Alex. Rumahnya dekat dengan rumah gue. Mampirlah kami ke
minimarket. Namanya anak kecil senang banget lihat deretan cemilan kemasan yang
penuh micin. Pilihannya tidak banyak saat itu. Tapi yang gue inget gue pingin
beli cemilan itu dengan meminjam uang dari Alex, yang disepakati akan dicicil
selama 3 minggu. Alex pun mengangguk, yang gue kira dia sudah setuju dengan
kesepakatan ini. Gue pun beli Chitato seharga 700 perak dari uang Alex. Kenapa
gue mencicil 3 minggu? Karena uang jajan gue 200 perak seminggu. Eh ini juga
kurang ya sebetulnya buat bayar utangnya Alex. Tapi kenapa Alex iya-iya aja,
pasti karena dia gak bisa hitung perkalian deh. 😂
Sore pun tiba, eh ada teman memanggil nama gue dari depan
rumah. Ternyata Alex. Ada apa ini dia datang ke rumah. Benar saja lintasan
pikiran gue saat itu, Alex datang ingin menagih utangnya. Dengan volume suara
yang gue kecilin, gue bilang ke Alex kalau gue akan membayar utang gue sampai 3
minggu ke depan. Kan tadi udah sepakat, Lex. Gimana sih lo. Gak ngerti banget sistem
utang apa ini orang. Dan mulai lah terdengar oleh nenek gue yang memang tinggal
bareng dengan kami. Terkuaklah kebohongan gue saat itu juga.
Nyokap ini bekerja di kantor. Pergi pagi banget, pulang sore
menjelang magrib. Begitu sampai di rumah sore itu, disambutlah dengan cerita
kenakalan gue yang satu itu oleh nenek gue. Watak nyokap gue ini gampang sekali
emosi. Begitu emosi langsung aja dia bereaksi sesuka pikiran liarnya untuk
menghukum gue. Dan hukuman yang gue terima akibat mengutang dengan Alex adalah…
Nyokap belikan 10 bungkus Chiki – padahal gue belinya
Chitato loh 😁 – untuk dimakan saat itu juga. Dibukain semuanya satu-satu dan
harus masuk ke dalam mulut gue. Nangis-nangis lah gue minta ampun ke nyokap.
Tentu gak digubris dong ini. Emosi nyokap gue semakin tersulut dengan tangisan
minta ampun gue, dia ambil kamera dan minta gue untuk duduk di lantai dengan
bungkusan Chiki bertebaran di sekliling gue. Dia mengabadikan momen itu. Mana
saat itu outfit gue cakep banget lagi – kaos kutang dan celana kolor doang.
Sambil mengucap nanti akan diperbanyak foto itu dan disebar ke sekolahan dan
keluarga besar. Supaya tahu kalau gue ini tukang utang.
Cerita kedua yang gue inget waktu kecil. Kalau ini
masalahnya apa, lagi-lagi gue gak inget. Tapi yang membekas diingatan gue
adalah semua baju gue dimasukkan nyokap ke tas besar dan satu persatu tas itu
dibawa bokap masuk ke dalam mobil. Gue nangis minta ampun karena gue takut
dibawa ke rumah panti asuhan. Gue mau diusir dari rumah. Tidak ada orang dewasa
yang menolong gue saat itu. Bahkan nenek dan bokap gue turut ikut perintah
nyokap. Segitu niatnya sih nyokap mengusir gue, dan entah gimana juga gue
akhirnya juga gue gak tahu.
Dua memori masa kecil yang paling gue ingat, meski gue gak inget sama sekali sih apa sebabnya tapi melekat sampai ke detilnya gue merasakan hukuman itu.
Nyokap itu cukup keras sama gue. Tapi tidak ke adik gue.
Menurut gue, tapi tentu adik gue tidak setuju dengan pernyataan gue ini. Bagi
adik gue, nyokap itu sering memuja gue di depan adik gue dan membandingkan
dengannya. Keburukan nyokap lainnya lagi. Sering banget dia melakukan ini di
depan kami berdua. Ketika sama gue, dia akan angkat bagus dan baiknya adik gue
sampai gue merasa sebal banget dengan adik gue. Begitu juga sebaliknya,
diam-diam nyokap membanggakan gue depan adik gue. Siapa juga yang gak kesal ya
kalau dibandingkan begini terus-terusan?
Dalam kacamata gue, adik gue ini tumbuh dengan dimanja oleh
bokap nyokap. Waktu sekolah, gue senang sebetulnya bersepeda pulang pergi ke
sekolah. Tapi jadi agak kesal ketika mendapati adik gue diberi fasilitas naik
antar jemput setiap pergi dan pulang sekolah sambil ditemani oleh nenek,
padahal jarak sekolah tidak lebih dari 1 KM dari rumah. Ada rasa iri ketika
melihat mobil antar jemput mereka melintasi gue yang sedang mengayuh sepeda ke
sekolah. Mana tas selempang gue sering nyangkut di bawah dudukan sepeda lagi,
bikin leher beberapa kali tercekik sebelah dan harus berhenti untuk membenarkan
posisi tas.
Perlakuan berbeda ini sungguh membuat gue merasa yakin
nyokap tidak sayang sama gue. Apalagi nyokap sering banget memeluk dan mencium
adik gue di depan gue. Sedangkan nyokap hampir bisa dibilang tidak melakukan
ini ke gue. Melihat keduanya berpelukan dengan nyokap mencium adik gue
bertubi-tubi itu bikin gue iri. Gue juga pengen. Tapi yang ada gue dulu yang
harus menghampiri nyokap baru nyokap akan memeluk gue, itupun gak pakai bonus
ciuman. 😁
Masa remaja jauh lebih gila lagi. Gue yang nyaman main
dengan anak cowo, mulai merasa tertarik dengan mereka. Ada dua anak cowo yang
dekat dengan gue saat itu. Mereka datang dari luar komplek dan seringnya kalau
datang sekitar jam 7 malam. Tentu bokap nyokap gak suka ini. Apalagi nakalnya
gue dengan mereka itu sampai naik motor keluar komplek, padahal jelas mereka
ini tidak punya SIM saat itu. Belum lagi gue sering berbohong ke nenek untuk
bisa keluar dengan mereka siang-siang. Dan begitu ketahuan, wah jangan ditanya
betapa berangnya nyokap. Sepulang dari kerja, begitu masuk ke dalam rumah dan
mendapati laporan cerita dari nenek gue, sontak nyokap emosi. Ya siapa yang
tidak emosi sih ya kalau dipikir-pikir. Pulang kerja sudah capek, yang didapat
anak gadisnya berulah gak karuan. Tangan nyokap mah gak sekali dua kali
mendarat manis di pipi gue setelah itu.
Karena tidak harmonisnya hubungan gue dengan nyokap ini
membuat gue sering banget berulah. Tapi seringnya sih dengan teman dan guru di
sekolah. Ribut dengan teman macam ketua gangster itu sering banget sih gue
lakukan. Bahkan pernah ada pengakuan dari seorang teman kalau pacarnya saat itu
hampir saja membunuh gue. Dia sudah menyiapkan pisau di balik jaketnya yang
siap untuk menusuk gue. Dan banyak kenakalan-kenakalan gue lainnya yang kalau
ditonton ulang sama gue saat ini juga bikin gue urut dada sih.
Menjelang dewasa hubungan gue dengan nyokap makin menjadi tidak dekat. Sering banget gue komplen dengan sikap nyokap yang sering membela adik gue. Setiap gue berantem dengan adik gue, selalu adik gue yang dibela. Masih kecil dia. Padahal badannya aja udah lebih gede dari gue. Tetap aja dia selalu dibilang masih kecil. Ya sampai tua juga umurnya dia gak akan pernah melewati gue lah, tetap lebih kecil dari gue. Tapi ya begitulah nyokap, sebegitu dibelainnya lah adik gue. Selalu ada alasan untuk membela adik gue. Dan ini menyebabkan gue juga jadi marah ke nyokap.
Sikap nyokap yang arogan, yang merasa mau dihormati dan
tidak akan memulai pembicaraan dengan gue kalau tidak dimulai dari gue yang
mengalah lebih dulu, bikin gue semakin menantangnya. Bisa banget gue marah ke
nyokap dengan tidak bicara sama sekali dengannya. Dari yang mungkin ngambek ala
anak abege, gak keluar kamar, sampai gue bisa gak bicara sama nyokap
berminggu-minggu, berbulan-bulan sampai setahun. Rekor banget itu yang setahun,
dan diulang di tahun berikutnya. Padahal kami berada dalam satu rumah yang
sama. Masing-masing tidak saling bertegur sapa. Keluar kamar kalau nyokap tidak
sedang di area depan, begitu juga sebaliknya. Meskipun nyokap hampir tidak
begini ke adik gue, bahkan setelah adik gue diomelin nyokap. Adik gue ini tahu
bagaimana menjilat nyokap gue sih, sedangkan gue anti dengan sikap kaya gitu.
Hanya sekali nyokap menurunkan arogansinya ketika gue mau
menikah. Gue merasa tidak apa-apa banget kalau menikah tanpa perlu adanya
kehadiran nyokap di pelaminan gue. Sedangkan mungkin nyokap merasa malu kalau
sampai saat itu tiba dan dia tetap bergeming dengan arogannya tidak mau
mengalah dengan gue. Suatu malam dia datang ke kamar gue dan minta maaf. Wah,
gue merasa menang dengan sikapnya ini. Tentu gue memakai gayanya sewaktu nyokap
minta maaf ke gue. Duduk santai di tempat tidur, dengan pandangan tidak melihat
ke nyokap melainkan ke TV di depan gue, tentu dengan muka yang sedikit
didongakan ke atas. Kesannya arogan sekali ya, padahal hati ini deg-degan
setengah mampus. Channel TV beberapa saat sekali diganti sambil mendengar apa
yang sedang diutarakan nyokap.
Itulah nyokap gue, yang menjawab emosinya yang tidak stabil
dengan marah, teriak, lempar barang, menjedutkan anak ke tembok, menendang
anaknya, menyiramnya dengan air seperti lagi mengusir kucing lagi berantem,
menampar, menyubit, mengusir, mengutuk jadi orang tidak berhasil dan segala
yang jelek-jelek untuk masa depan anaknya, you name it lah. Sampai-sampai gue
tumbuh dengan banyak sakit hati dengan nyokap. Ya, dia menyematkan banyak luka
di diri gue yang membentuk gue menjadi pribadi gue yang sekarang.
Tapi karena itu juga gue jadi belajar untuk mengenal diri gue sendiri. Mengenal dan menerima juga nyokap yang seperti itu. Gue yakin nyokap juga melalui masa lalunya dengan penuh luka. Luka yang melekat lama, sampai berkerak mungkin, di dalam dirinya. Sehingga sebetulnya menyembuhkan luka itu bagian dari perjalanan hidup, tapi mungkin nyokap tidak tahu bagaimana memeluk lukanya.
Hari ini ulang tahunnya ke 63 tahun. Sudah lama gue tidak
menelponnya, kangen. Habis ini gue akan mengucapkan Selamat Ulang Tahun, dan
menyematkan doa untuknya. Semoga Mami bisa bahagia selalu dalam menjalani masa
tuanya. Diesertai sehat dan berkat yang menaunginya selalu. Meski gue dan
keluarga kecil gue tidak lagi sering bisa berkunjung, tapi nyokap tetap selalu
menjadi orang kesayangan gue. I love you, Mom!! 💗💗
PS: proses menyembuhkan luka ini masih belum selesai ya. Masih terus dan terus.....
No comments:
Post a Comment