From Homeschool to School (Part 2) - Lievell

Friday, December 22, 2023

From Homeschool to School (Part 2)

Lanjut cerita lagi ya...

Siapin cemilan, soalnya agak panjang nih. 😁


Hari sudah berganti baru, gue pun bangun dengan pikiran yang lebih positif setelah dilanda mellow guslow dan galaw guslaw seharian karena hasil yang tidak sesuai harapan. Udah gak ada lagi lebay ala-ala sinetron-an yang meratapi nasib sambil bermuram durja gundah gulana gitu. Pokoknya pagi itu udah siap dengan hari baru, semangat baru. Kan katanya ‘what doesn’t kill you make you stronger’. Jadi gue percaya aja semua ada pelajaran yang bisa dipetik.

 

Nah, di pagi itu juga, setelah beres dengan urusan dapur dan masak-memasak, masih nyempil perasaan gak terima dengan proses tes masuknya dari sekolah yang kemarin itu – bukan perasaan emosi kesel-marah-sedih gitu ya. Ada lah beberapa hal yang  masih nyangkut dan jadi pikiran di gue. Dari pemikiran itu gue berencana mau coba tes sekali lagi di sekolah lain. Penasaran, apakah sekolah lain juga memakai cara dan gaya yang sama ketika menjalankan tes masuk untuk tiap calon muridnya. Rasanya akan cukup adil kalau gue membandingkannya dengan sekolah yang alirannya sama. Kebetulan sekolah tersebut punya adik kandung juga di Jakarta, Sekolah Gonzaga namanya, yang sama-sama bernaung di bawah ordo Jesuit.

*Mau tau lebih lanjut soal ordo Jesuit ini, silahkan gugel sendiri ya, Gaes

 

Kebetulannya lagi sekolah Gonzaga masih buka pendaftaran sampai tanggal 6 November. Masih ada waktu untuk mendaftar saat itu. Tapi sebelum beneran daftar, gue perlu cari informasi dulu tentang sekolah ini. Jujurly, gue belum pernah ngulik sedikitpun. Gue cuma tau kalau sekolah ini pernah jadi tempat syutingnya Ada Apa Dengan Cinta. 😂😂

 

Gue buka website sekolah ini untuk gali info. Mampir bentar juga lihat-lihat IGnya. Mendadak inget dengan salah seorang teman yang anaknya baru aja sekolah di sana, gue pun menelpon dia. Dari sudut pandang dia dan anaknya, sekolah ini wadah yang tepat untuk anaknya. Karena anaknya ini memang suka banget dengan kegiatan sekolah yang segambreng. Pokoknya sedapat mungkin gue kumpulkan informasi dulu tentang sekolah ini, biar kebayang seperti apa. Gue juga sempet ajak si Babeh diskusi singkat. Meski ini ‘adik’ dari almamater sekolahnya, tapi doi sendiri juga gak ada bayangan dan pengalaman dengan sekolah ini. Ya wuis deh. Dengan info yang seupil itu, gue mantapkan untuk colek si Boy dan menawarkan,

 

“gimana kalau kita coba ke Gonz, Boy?”

 

Reaksinya langsung gak setuju dong. Namanya juga mak-emak, khususnya Mak Ethep nih, gak terima kalau dijawab begitu. Tentu harus punya alasan yang kuat kenapa menolak. Karena pada dasarnya semua mak-emak ini gak suka ya kalau ditolak, mau apa pun juga alesannya. Eaaa 😄 Gue tanya lebih lanjut dan jawabannya begini. Pertama, karena sekolahnya jauh banget. Dan alasan berikutnya karena ada rasa takut gagal lagi seperti pengalaman di sekolah sebelumnya. Tes akademis yang susah kemarin itu sudah mengecilkan dan menganggap dirinya gak pintar. Belum lagi wawancara yang perlu mikir dan menjawab dengan cepat. Dia merasa tertekan dengan posisi seperti itu. Ternyata proses kemarin menjadi trauma yang melekat di dia.

 

Satu-satunya jalan yang paling pas untuk mengurai segala ketakutannya yaitu dengan ngajak ngobrol si Boy. Kurang lebih begini obrolan diantara kami. Perkara jarak sekolah yang jauh, ya memang gak dipungkiri sekolah ini memang jauh. Kalau dihitung jaraknya sekitar 25-27 km dari rumah kami. Hanya saja akses transportasi umum menuju ke sana sangat mudah, ada LRT dan bis Trans Jakarta. Sepertinya untuk hal ini bisa dipikirinnya nanti aja kalau sudah beneran terjawab diterima dan dia sendiri mau bersekolah di sini. Gak perlu menjadikan persoalan ini beban di pikirannya, karena prosesnya aja belum terlewati. Bagaimana bisa kita mikirin sesuatu yang belum dijalani. Biasa lah, proyeksi pikiran ini sering banget ngajakin kita untuk main ke masa depan. Macam cenayang aja yang bisa prediksi (jaya!💪jaya!💪jaya!💪) apa yang akan terjadi nanti. 😋

 

Persoalan kedua, soal trauma dengan rangkaian tes yang dijalani. Selalu ada pertama untuk jadi bekal pelajaran hidup. Tes yang pertama boleh gagal, tapi apakah tes kedua juga pasti akan gagal seperti yang pertama? Belum tentu. Semua orang berhak mendapat kesempatan kedua untuk mencoba. Biasanya yang kedua sudah jauh lebih siap, karena sudah pernah melewati yang pertama. Jadi, coba pelajari lagi apa yang menjadi kekurangan di tes yang pertama. Siapkan diri, latihan lagi untuk bisa terima tantangan yang baru.

 

Misalnya, merasa tertekan karena harus menjawab pertanyaan dalam waktu yang singkat di wawancara. Cari ilmunya di YouTube, coba latihan depan kaca, belajar merangkai kalimat dengan baik. Wawancara itu selalu ada dalam kehidupan kita. Konsepnya seperti sedang mengobrol, berinteraksi dengan orang lain, hanya saja wawancara itu lebih formal. Jadi memang perlu belajar bagaimana bersikap dan bertutur kata lebih sopan aja dari biasanya. Sampai kapanpun kita akan bertemu dengan yang namanya wawancara dan susah untuk menghindar. Dia belum ketemu aja, wawancara terberat dalam hidup itu tuh pas ketemu calon mertua. “Kapan kamu nikahi anak saya?” Jegeeerrrr 😃😃– untuk hal ini gak gue bahas, takut jiper duluan dari sekarang.

 

Begitu juga dalam tes akademis. Mungkin di tes sebelumnya soalnya susah banget. Meski waktunya kali ini terbatas, setidaknya sudah ada bayangan contoh soal yang bisa dicari di internet dan dipelajari. Intinya, jangan pernah menyerah hanya dengan sekali coba. Gagal itu pasti, tapi bukan berarti gagal membuat diri kita ini lemah dan malas buat mencoba. Semua pasti bisa asalkan ada niat dari dalam diri.

 

Nothing to lose dari percobaan tes masuk yang kedua ini. Hanya saja gue gak mau tes yang pertama kemarin itu menyisakan trauma dalam diri si Boy. Belum apa-apa sudah menyerah duluan tanpa mau mencoba lagi. Lalu, kalau di percobaan kedua ini gagal? Ya ga-pa-pa juga. Setidaknya sudah dicoba dengan versi berbeda. Nanti baru dipikirkan lagi jalan apa yang akan kita tempuh. Konsep berserah pada semesta yang akan menjadi jalan berikutnya. Yang kaya begini ini yang sebetulnya sedang melatih mental anak.

 

FORMULIR – 26 Oktober

 

Formulir pun akhirnya berhasil dibeli setelah proses yang gue kagok sendiri. Maklum deh ya, ini pertama kalinya gue ngurusin sendiri urusan persekolahan ini. Kalau kemarin kan diurusin si Babeh karena kebetulan itu almamaternya. Jadi gue serahin semuanya ke doski. Tahu beres aja mamak. Nah ini gue sendiri yang ngurusin dari awal. Gue sempet bingung sih, kok ternyata gak serumit seperti di sekolah sebelumnya. Yang sampai ditanya pertanyaan merk hape, laptop, mobil keluar tahun berapa ataupun ukuran taman kami yang luasnya hektaran itu – yang berbagi dengan seribu penghuni lainnya. 😂 Di sini formulir hanya mengisi biodata utama aja – semacam nama lengkap anak, alamat, tanggal lahir, nama orang tua, pekerjaan – dan diminta untuk mengisi rapor SMP anak sampai kelas 8, juga prestasi yang pernah dicapai. Sesimpel itu aja. *perlu garuk-garuk kepala gak nih 😂

 

KUNJUNGAN KE GONZAGA – 29 Oktober

 

Sambil menunggu hari tes tiba dan urusan pengisian formulir sudah beres juga, terpikir untuk mengunjungi sekolahnya. Sebetulnya supaya ada bayangan aja, karena sama sekali gue dan si Boy belum pernah ke sana. Jadi lah di akhir minggu itu gue ngajakin duo cowo ini datang ke sekolah. Pas banget ada acara di sekolah, Gonzaga Festival. Rame banget yang datang. Karena ini pertama kalinya buat kami bertiga, kebayang celingak-celinguknya kami dong di tempat rame begitu. Mungkin saking keliatan bingungnya, macam turis di negeri tetangga, gak pakai lama kemudian muncul seorang bapak guru yang mendatangi kami dan tanya mau ke mana. Gue pun cerita kalau kami ini calon pendaftar murid baru, dan bapak guru tersebut lalu minta kami untuk tunggu sebentar. Beliau langsung pergi mencarikan guru lain yang bertugas di hari itu, semacam guru yang memang pegang urusan murid baru.

 

Sebetulnya, beberapa hari belakangan ini gue sudah menghubungi Ibu Indri. Ibu Indri ini direkomendasikan oleh teman yang sempat gue cerita tadi di atas, karena kebetulan wali kelas anaknya dan menjadi kontak yang ditulis di flyer pendaftaran yang ada di website. Jadi, begitu bapak guru tadi bertanya apakah sudah ada nama guru yang kami tahu, langsung aja gue sebut nama Ibu Indri ini. Sok kenal sok dekat sekali! 😁

 

Beberapa menit menunggu, datang kembali si bapak guru dengan 2 guru di belakangnya. Seorang Bapak Guru, beliau mengajar Ekonomi dan terlihat senior, dan seorang Ibu Guru yang ternyata beliaulah yang bernama Ibu Indri. Senang akhirnya bisa jumpa. Lalu kami diajak duduk di taman yang berada di tengah. Awalnya kami bertanya, lagi, apakah anak homeschool bisa menjadi anak murid di sini. Sepertinya dan seharusnya, selama kami punya NISN, kami bisa dan layak diterima di sekolah manapun. Sekolah Gonzaga pun juga mestinya. Mereka pun mengiyakan dengan ramah. Dan obrolan pun mengalir beberapa menit setelahnya, membahas tentang pembelajaran dan sistem akademis yang berjalan di sekolah.

 

Gue pikir obrolan kami berakhir setelah kami semua berdiri. Tapi ternyata Bapak Guru Ekonomi yang sungguh gue lupa namanya (maafkan, Pak. Saya susah mengingat nama orang), mengajak kami tur keliling sekolah. Wah, ini sesuatu yang gue syukuri sih. Jadi bisa kenal lebih lanjut isi sekolahnya seperti apa dan dijelaskan juga satu persatu. Tapi sayangnya Ibu Indri gak bisa gabung kareng ada hal yang masih perlu dikerjakan.

 

Komentar gue yang pertama ke Bapak Guru begitu jalan di selasar sekolahan,

 

“Pak, sekolah ini pernah dipakai syuting AADC kan, ya?”

 

Si Bapak manggut sambil senyum-senyum, lalu cerita kalau ternyata sutradaranya, Rudi Soedjarwo, adalah alumni sekolah situ.

 

Segitu nempelnya tuh film di otak gue ya, begitu kami diajak naik tangga menuju ke perpustakaan, gue lagi-lagi bilang, “ini nih tangganya waktu adegan si Rangga turun.” Eh si Bapak Guru malah nawarin gue, “mau dipoto di situ sama Bapak buat kenang-kenangan, Bu?” Dalam hati pengen sih, tapi sambil senyum-senyum jaim gue menggeleng. Eh, Bapak yang dimaksud Bapak Ali ya, bukan Bapak Guru Ekonomi. 😂

 

BIMBINGAN BELAJAR

 

O’iya, menarik deh, sekolah ini memberikan bimbingan belajar buat calon murid baru yang mendaftar. Setiap hari Sabtu selama lebih dari sebulan sejak dibukanya pendaftaran. Kakak-kakak kelasnya yang turun, ngajarin para calon siswa ini. Sayang kita telat daftar, jadi gak dapet deh kesempatan itu. Karena per awal Desember bimbingannya sudah selesai diadakan. Sempat sih gue minta soal ke sekolah dan coba ke anaknya teman gue itu, tapi gak gue follow up lagi. Ya udin lah, si Boy belajar sendiri aja dari latihan soal-soal numerasi dan literasi di internet.

 

WAWANCARA – 8 November

 

Ini jadi bagian pertama dari rangkaian tes yang akan dilangsungkan. Pihak sekolah paham benar kalau tidak semua orang tua bisa hadir di hari dan jam kerja, sehingga mereka bikin wawancaranya online dan jam 7 malam. Dianggap waktunya pas sudah pulang kerja dan sudah bersama dengan keluarga. Dan kalau saat itu orang tua tidak lagi bersama anaknya, tetap diwajibkan setor muka meski berada di tempat berbeda. Jadi pas online tetap sekeluarga, anak yang ditemani oleh kedua orang tuanya.

 

Menariknya, untuk melakukan wawancara online ini, semua calon siswa diminta untuk mengunduh applikasi yang bernama A-Luigi. Ini applikasi buatan sekolah sendiri, yang tugasnya untuk merekam video ketika wawancara berlangsung. Jadi dibutuhkan dua perangkat untuk melakukan wawancara agar tidak bertabrakan alias error gadgetnya. Memang sedikit ribet karena butuh sinyal yang kuat – malam pula, tapi menurut gue teknisnya mereka cukup canggih untuk wawancara ini. Yang mengendalikan applikasi ini pun bukan dari calon murid yang berada di rumah masing-masing, melainkan sang penanya yang memencet tombol, sambil memberikan aba-aba kapan bisa mereka mulai cuap-cuap menjawab pertanyaan untuk direkam oleh mereka.

 

Ada 10 pertanyaan yang diberikan.

1.      Perkenalan diri, tempat tinggal, hobi, prestasi – diberikan waktu 2 menit.

2.      Cita-cita 10 tahun mendatang – 1 menit

3.      Menjelaskan tentang bullying, pernah ada pengalaman atau tidak, pandangan tentang bullying – 1 menit

4.      Kebiasaan di rumah setelah pulang sekolah – 1 menit

5.      Arti belajar dan kebiasaan belajarnya bagaimana – 1 menit

6.      Apakah siap menghadapi tantangan dengan bersekolah di Gonzaga? Apa yang paling dicemaskan? – 1 menit

7.      Lingkungan tempat tinggal, teman mainnya siapa aja – 1 menit

8.      Kenalkan orangtuamu – 1 menit

9.      Vlog tentang spot favorit di rumah – 2 menit

10.   Apa harapan orang tua terhadap sekolah? – 2 menit (Yang jawab orang tua)

 

Wawancara yang kemarin sempat menjadi ketakutan terbesar untuk si Boy, kali ini berhasil dipersiapkan dengan baik olehnya. Dia belajar bagaimana mengelola pertanyaan demi pertanyaan sebelum dijawab. Menarik dan mengeluarkan nafas sebelum bicara. Lalu menjawab tanpa berbelit-belit dengan pelafalan yang baik, sambil tetap berusaha tenang. Kendali dirinya sudah lebih baik dari sebelumnya. Beruntungnya lagi, wawancaranya online. Kami jadi bisa menemani di sebelahnya dan memberikan usapan punggung serta pelukan langsung ketika sudah berhasil menjawab. Bersyukurnya lagi pertanyaan yang diberikan sama dengan anak-anak lainnya, dan juga dengan durasi waktu yang juga sama. Tidak dibeda-bedakan. Ah, rasanya beneran penuh syukur si Boy bisa mendapat kesempatan merasakan kalau tidak semua model wawancara sama seperti sebelumnya.

 

TES FISIK – 10 November

 

Tes di hari kedua ini dijalankan di sekolah. Jadi kami perlu datang ke sekolah untuk menemaninya tes kebugaran dan tes minat bakat. Anak-anak sih diminta untuk mengurus sendiri persoalan tes-tes di hari ini. Mungkin juga sambil dilihat seberapa mandirinya anak-anak ini ya. Dan orang tua hanya bisa menemani sampai batas wilayah tertentu, sampai daerah kantin doang. Emang sih itu yang dibutuhkan orang tua kalau lagi nunggu anaknya kegiatan. Jajan! #eh

 

Tes pertama yang dijalankan adalah tes kebugaran. Sebelumnya, semua anak diajak untuk pemanasan dulu dengan dipandu oleh kakak kelas. Setelahnya baru deh mereka masuk ke lapangan basket indoor untuk melakukan Beep Test – lari bolak balik lapangan basket dengan durasi dan level tertentu. Urusan lari kebetulan si Boy sudah biasa. Jadi begitu gilirannya, dia gak ada kendala sama sekali. Malah dia diminta berhenti di level 5, yang pada saat itu hanya tinggal sekitar 3 orang yang masih lari bareng dia.

 

Berikutnya, tes minat bakat. Di tes minat bakat ini semua anak mendatangi spot-spot yang bersangkutan dengan minat mereka, untuk pamer bakatnya di depan guru atau kakak kelas di bidang itu. Karena minat si Boy saat ini basket, jadi dia menuju ke lapangan basket. Di sana sudah ada 4 pelatih yang menilai. Dia dan beberapa anak yang juga sudah berada di sana diminta untuk melakukan beberapa teknis dasar dalam basket. Karena pelatih-pelatih tersebut cukup tertarik dengan si Boy, dia jadi ditahan lebih lama dari anak-anak di grupnya saat itu. Sambil ditanya-tanya sejak kapan latihan basket, bergabung di klub mana saat ini, siapa pelatihnya dan pernah ikut kejuaran apa aja. Dan di akhir si Boy diminta untuk tanding one on one dengan salah satu pelatihnya. Setelah berkali-kali coba nembak, dia hanya berhasil masukin bola satu kali, sedangkan pelatihnya berkali-kali. 😂 Menurut ceritanya, dia sempat mendengar sayup-sayup dari obrolan para pelatih itu untuk memberi bintang di namanya, dan berucap, “kalau kamu diterima, kamu masuk eskul basket ya.”

 

Ternyata di antara tes kebugaran dan minat bakat, nyempil tes lainnya, Dinamika Kelompok. Di sini si Boy bergabung dengan sekitar 6 anak lainnya diminta untuk membersihkan selasar sekolah. Lorong yang berada di depan kelas-kelas itu sudah disulap oleh panitia menjadi berantakan. Tepung yang berserakan, sampah yang dibuang sembarang dan segala yang tidak pada tempatnya gitu. Tugas anak-anak ini harus memilih ketua grup yang akan memimpin dan membagi tugas di dalam kelompok. Ndilalah, si Boy yang dipilih teman-teman dalam grupnya itu untuk menjadi ketua kelompok. Ketika ditanya oleh guru yang menemani mereka saat itu, kenapa dia yang dipilih, jawabannya cukup lucu anak-anak ini. Karena dia yang larinya paling kuat, buktinya sampai diberentiin di level 5 tadi. Ada juga yang bilang mukanya sudah seperti pemimpin banget. Pertanyaan gue hanya satu, dia terima atau tolak penugasan yang dipilih teman-teman segrupnya itu. Jawabannya, dia terima lalu mengucap terima kasih karena sudah dipercaya. Ah, syukurlah.

 

Masih dari ceritanya dari Dinamika Kelompok. Setelah itu dia mulai membagi tugas masing-masing di grupnya. Karena semua sudah dapat tugas, dia sendiri bingung mau mengerjakan apa. Lalu dia melihat ada sapu yang gagangnya patah terselip di belakang meja, entah sengaja ditaruh atau sengaja dibikin ngumpet di situ, tapi dia berhasil menemukan dan ikut membantu yang lain bersih-bersih. The power of tugas nyapu di rumah. Gak sia-sia, berguna juga. 😂

 

BERTEMU SESAMA HOMESCHOOLER

 

Sore itu super gerah. Tadinya kami duduk di kantin, baru kelar makan batagor dan mie ayam. Tapi karena panas banget rasanya, gue ajak si Babeh untuk melipir berdiri di bawah pohon aja sambil menunggu si Boy keluar. Lama gak kunjung tiba, sementara anak-anak lain perasaan sudah banyak yang keluar. Ketika sedang was-was menunggu ini, kok ada sepasang suami istri dengan bayi di gendongannya melemparkan senyum ke gue ya. Demi kesopanan, gue balas senyum. Eh…eh…tapi kok mereka berjalan ke arah kami ya. Jangan-jangan kenal gue nih. Gue coba ingat, cari-cari di selipan otak bagian mana, mungkin nyempil gitu. Entah gimana ngumpet gak ketemu dong namanya siapa si ibu ini. Sungguh tanpa bermaksud somse, mengingat nama orang itu sesuatu yang susah buat gue dari sejak dulu, ditambah lagi umur dan juga ketemu hanya sekali. Makin-makin deh susah diingat.

 

Di saat semua orang rasanya seperti punya teman untuk mengobrol, temen gue hanya Bapak Ali seorang doang. Temen makan bakmi dan batagor, semangkok bagi dua pula. Jadi begitu mereka bilang juga keluarga homeschooler sungguh gue langsung bahagia. Berseri-seri gitu. Seperti punya sekutu untuk diajak ngobrol bareng. Maklum deh, keluarga homeschooler di tengah lingkungan sekolah kan jadi kelompok minoritas. Gak berani tengil-tengilan. 😁

 

Ria dan suaminya ini sedang menunggu anaknya, namanya Darrel. Gak pakai lama, kami langsung mengobrol. Tukar cerita ini itu. Menceritakan kenapa sampai akhirnya anak kami dan anak mereka bisa ketemu di situ. Ternyata, kami tuh pernah ketemu di Ragunan waktu Nature Walk bareng teman-teman CM se-Jakarta Raya dulu. Nah, untuk memanggil ingatan ini pun rasanya susah banget, meski akhirnya inget juga – setelah beberapa jam kemudian. Ya Tuhan!

 

TES AKADEMIS – 12 November

 

Tes paling akhir ini dijalankan di sekolah dengan membawa laptop sendiri. Semua murid diminta hadir sebelum jam 7, karena jam 8 anak-anak sudah mulai tes. Sambil menunggu, gue melihat ke sekitar. Beneran banyak banget ya yang mendaftar ke sekolah ini. Seragam dari berbagai sekolah banyak seliweran di depan gue. Pelan-pelan jadi tahu sih anak ini dari sekolah mana cuma lihat dari seragam sekolahnya aja, dan mereka selalu berkumpul dengan teman dari sesama sekolahnya. Lalu gue melihat ke dua anak homeschooler ini. Darrel memakai batik dan celana panjang, si Boy sendiri memakai kemeja putih dan celana panjang yang udah ngatung. Mereka hanya berdua, tidak terlalu kenal juga, baru ketemu kemarin. Tapi pada akhirnya mereka nyaman juga ngobrol berdua. Gak lama kemudian gue lihat mereka berdua sudah punya teman ngobrol yang lain, yang sama-sama tidak memakai seragam. Entah dari sekolah mana. Segitu mudahnya ya mereka berkenalan.

 

Tes pun dimulai. Sekitar 10 menit setelahnya tiba-tiba si Boy kirim pesan, menanyakan email dan password yang dipakai untuk mendaftar. Katanya dia kesusahan untuk login karena kendala teknis dari sekolah. Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 8.30 ternyata si Boy masih belum bisa juga login untuk mengerjakan soal-soal tesnya. Meski hati gue ikut mencelos dengernya, tapi gue kudu semangatin nih bocah. Gapapa ya, Boy. Tenang ya, Boy. Duh, padahal mamak bentar lagi meleyot ini. Di tengah hati yang mulai cakadut gak jelas, gue milih untuk jalan-jalan dan melipir ke Goa Maria untuk berdoa. Setelah berdoa dan mulai tenang, gue lihat ada dua ibu-ibu ingin doa rosario. Tanpa pikir panjang, gue menggabungkan diri dengan mereka. Setidaknya untuk menenangkan hati yang lagi dangdutan sepanjang pagi itu.


Menurut cerita si Boy, sekitar jam 9 dia baru bisa login dan mengerjakan soal-soalnya. Ada beberapa subyek yang dites. Literasi, Numerasi dan Listening. Literasi dan Numerasi masing-masing soalnya berjumlah 10 dengan 2 esai. Menurutnya kedua subyek ini gak terlalu susah, tapi juga bukan yang mudah sekali. Sedangkan untuk materi Listening ini dibagi menjadi Menyimak, versi Indonesia dan Listening, versi Inggris. Tugasnya anak-anak ini menulis kembali persis apa yang mereka dengar. Tugas yang menurut gue mudah untuk dikerjakan oleh si Boy, karena dalam akademis HSnya kami sering melakukan itu. Jadi gue cukup yakin dia bisa mengerjakan ini. Dan dia pun mengiyakan itu, meski di akhir dia akhirnya ngarang bebas karena waktunya sudah gak cukup.

 

Sementara si Boy mengerjakan soal tesnya, emak dan babehnya nunggu di luar. Kali ini batasannya lebih luas dari kemarin. Kami sempat nunggu di hall basket, di bangku penonton. Ya namanya juga nunggu, pasti bosan. Dengan tambahan topping gerah keringetan. Kalau gue milih nonton web series di hape. Bapaknya melipir ke bawah ketemu teman kampusnya. Karena gue mulai mati gaya, gue ikutan bergabung dengan grupnya si Babeh. Yang lucunya, anak-anak mereka juga ditolak oleh sekolah Kanisius dan melipir ke Gonzaga. Banyak cerita yang mengalir ketika menunggu ini. Sampai akhirnya kami berpisah satu persatu karena anak-anak kami sudah keluar.

 

PENGUMUMAN HASIL – 17 November

 

Tanggal yang ditunggu datang juga. Pagi itu gue masih mendaraskan doa Novena Tiga Salam Maria. Gue pun dah menyerahkan hasilnya dan gue yakin itu pasti jawaban yang terbaik. Entah itu diterima ataupun tidak, pasti ada jalannya tersendiri.

 

Kabarnya pengumuman jam 12 siang di website. Lagi-lagi, menunggu itu emang gak enak ya. Ada rasa dag-dig-duer. Masak jadi gak tenang. Nonton gak fokus ceritanya apa. Kaki dah bolak balik aja jalan muter-muter, padahal apartemen seuprit gini. Sekitar jam 9, gue iseng buka website sekolahan. Klik-klik, masuk ke pengumuman. Jelas tertulis di situ nomor-nomor yang diterima masuk, tapi entah kenapa gue belum ngeh. Gue mengira itu adalah semua nomor anak-anak yang mendaftar, yang nanti jam 12 siang akan berubah menjadi warna merah atau hijau. Hijau artinya diterima, merah artinya tertolak. Ini sih masih kebawa sama pengumuman sekolah yang lalu, ada tulisan merah dan hijau. Asumsi gue ngasal banget deh.😂

 

Sampai akhirnya si Boy bilang kalau itu adalah nomor-nomor peserta tes yang sudah diterima. Nomor si Boy nomor 511 dan ada tertulis di situ. Artinya dia berhasil LOLOS!!

 

Beneran gak disangka. Yang awalnya mau coba di situ karena masih ada hubungan kakak-adik dengan sekolah yang sebelumnya. Sekedar pengen tahu apa cara tes masuknya serupa atau tidak. Gak berharap lebih karena tahu yang mendaftar sekitar 650an anak, dan yang diterima hanya sekitar 250an anak. Yang berpikir ini akan jadi pelajaran tersendiri setelah ditolak dari sekolah sebelumnya. Ealah, ternyata perjalanannya mulus dan lancar jaya.

 

Jadi, mau diambil atau dilepas? Pertanyaan gue selanjutnya ke si Boy. Diambil. Karena dia merasa melewati semua ini atas usahanya sendiri. Dan dia mau semua usahanya ini dijalani. Lalu, bagaimana dengan sekolah yang jaraknya jauh? Ini sudah waktunya untuk kita pikirin. Tentu gue bilang bahwa gue sudah pasti tidak akan bisa mengantar ataupun menjemput dia sekolah. Dia harus berjuang untuk pergi dan pulang sendiri. Apakah siap? Kembali dia jawab, SIAP.

 

Baiklah, proses selanjutnya adalah harus menukar tanda nomor peserta si Boy ke sekolah. Siang itu juga gue minta Bapak Ali untuk pulang dan bersama-sama kita pergi ke sekolah. Hari itu adalah ulang tahun pernikahan kami ke 16 tahun. Hari itu juga gue masak sayur asem, sebagai lambang kehidupan yang kadang manis, asin, ataupun kecut alias asem. Dan ternyata sayur asem gue rasanya dominan manis di hari itu.

 

Di akhir cerita ini, gue mau bilang..

Gue gak ngerti gimana Tuhan dan Semesta ini bekerja. Semua proses perjalanan sampai akhirnya anak lanang kami ini bisa bersekolah, gue cuma bisa percaya bahwa ini adalah turut campur tanganNya. Karena ketika gue hanya mengandalkan diri sendiri, gue gagal. Tapi begitu gue menyerahkan semuanya lewat Doa Novena 3 Salam Maria, beginilah hasilnya. Apapun yang akan terjadi di masa depan nanti, aku percaya Ia pasti cukupkan.

No comments:

Post a Comment