From Homeschool to School - Lievell

Thursday, December 14, 2023

From Homeschool to School

 After months..I’m BACK!!




Yup, setelah berbulan-bulan terlena dengan drama China dan web series Indonesia – bolak balik aja gantian bikin gue gagal move on untuk balik ke track – Puji Tuhan, Syukur Alhamdulilah, akhirnya, gue meniatkan diri buat nulis lagi. Mumpung dah mendekati akhir tahun juga sih.

 

Sebetulnya gak gitu banyak yang mau diceritakan, karena ternyata di tahun ini gue menikmati hidup yang tenang, minim bersosmed dan eksis di dunia maya. Meski kadang kangen juga sih dapet likes yang banyak kalau lagi pamer #eh posting sesuatu. šŸ˜‚ Tapi ada satu cerita yang menurut gue menarik untuk diceritakan di sini buat dijadikan kenangan.

 

Bermula di akhir Agustus, di suatu malam. Bapak Ali yang baru aja selesai mandi sepulang dari kerja sedang santai goleran di kasur sambil menyekrol hapenya. Tiba-tiba doi teringat sesuatu. Tadi siang seorang temannya dari alumni sekolah yang sama dengannya – sebut saja Kolese Kanisius gitu ya šŸ˜‹ – nyolek di personal chat. Intinya, sang teman ini tahu kalau anak kami homeschool dan bertanya apakah di jenjang SMA akan disekolahkan atau tidak.

 

Hal ini sebelumnya pernah gue bahas berdua sama si Boy, dan dari obrolan tersebut dia sama sekali tidak berminat untuk bersekolah di jenjang SMA. Sebetulnya di setiap jenjang pun gue selalu bertanya ke dia, dan jawabannya selalu sama. Dia masih nyaman ber-homeschool ketimbang bersekolah. Tentu gak hanya sampai di situ obrolan kami. Setiap tahunnya gue selalu melibatkan si Boy dalam proses belajarnya. Begitu juga dalam proses pengembangan minat, bakat, karakter dan emosinya. Ya namanya juga anak ABG, emosinya ini jadi PR tersendiri, yang bolak balik perlu disadari dan diberesin. Hanya saja semakin bertambahnya umur, peran gue dalam proses HSnya ini semakin sedikit. Nah, untuk jenjang SMA ini pun kami sudah membahasnya dari tahun lalu. Dari obrolan itu muncul kesepakatan kami, ada lah beberapa hal yang akan dilakukannya nanti.


Merasa sudah siap menghadapi jenjang SMA, makanya si Babeh pun merasa pede menjawab kalau si Boy akan tetap HS dan akan prefer langsung kuliah aja nanti. Obrolan dengan teman si Babeh ternyata tidak berhenti sampai di situ. Temannya mulai berpendapat; mumpung kita nih alumnis sana, anak kita cowok, gak ada salahnya dicoba untuk tes, gak masuk gak apa-apa, tapi setidaknya udah dicoba. Ternyata obrolan si Babeh dengan temannya ini sedikit banyak membuat gue jadi mulai berpikir di malam itu. Jujurly, gue sampai susah tidur, dan ternyata teman tidur gue pun sama.

 

Kadang memang gak tahu ya kapan kita merasa terinspirasi akan sesuatu sampai ada pengingatnya dari orang lain. Terserah orang mau bilang gue gampang banget berubah, gak berpegang teguh pada pendirian, tapi gue hanya percaya Tuhan bekerja lewat orang di sekitar gue. Entah apa, Tuhan pasti punya maksud sampai tiba-tiba minta seorang teman menyolek si Babeh di hari itu, padahal teman tersebut tidak pernah bahas urusan ini secara personal. Padahal juga, urusan sekolah ini sama sekali sudah tidak terlintas di kehidupan kami.

 

Di pagi itu, gue ajak si Boy ngobrol lagi soal urusan bersekolah yang kemarin sempat ditentangnya. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan gue kenapa akhirnya gue mengangkat lagi tema bersekolah ke anak ini. Pertama, gue merasa tidak sanggup lagi menemaninya belajar karena keterbatasan waktu yang gue miliki belakangan ini. Sudah hampir setahun terakhir, belajar akademisnya gue lepas. Dia sudah belajar mandiri tanpa lagi dipantau. Dengan sendirinya dia sudah tau tanggung jawabnya. Kedua, dia perlu paparan lebih luas lagi untuk menggali minat dan bakatnya. Dalam proses ini gue merasa gak punya daya dan tenaga untuk mencarikan info lebih lanjut. Mungkin dia bisa mencarinya sendiri, tapi pasti terbatas, hanya sebatas kemampuan berpikir anak remaja saja. Jadi tetap butuh gue sebagai orang tuanya untuk mencarikan lebih dalam dan luas lagi. Rasanya sekolah mempunyai cakupan luas untuk menggali minat bakat anak ini. Ketiga, sosialisasi. Di usianya yang sekarang kebutuhannya dalam berteman cukup tinggi. Dan rasanya kalau hanya mengandalkan pertemanan di klub basket saja, itu minim sekali. Dia perlu wadah yang lebih luas dari itu. Mencari wadah yang lebih besar dari sekarang pastinya, lagi-lagi, perlu usaha. Keempat, ini yang menurut gue paling penting dari semuanya, adalah, sekolah menjadi sarana untuknya ditempa, yang tentunya masih dalam pengawasan guru dan orang tua, sebelum beneran terjun dalam kehidupan yang nyata di masyarakat.

 

Entah bagaimana, pemaparan dari sisi gue ini ditanggapi dengan santai dan ringan aja olehnya; ya udah kita coba aja. Diterima ya berarti jalannya ke situ, gak diterima ya kita kembali ke jalan ninja yang lama alias balik HS. Ternyata eh ternyata, anak ini pernah juga menimbang untuk bersekolah karena melihat teman-teman di klub seru bisa tanding basket antar sekolah. Muncul juga lintasan untuk sekolah di tempat bapaknya bersekolah dulu. Tapi ya masih dalam pertimbangan. Kan yang ditimbang sama dia itu urusan akademis yang perlu dilalui di sekolah, karena menurut dia belajar kok lama amat sih. šŸ˜‹

 

MENDAFTAR DI KANISIUS

 

Berangkat dari sini, akhirnya kami menjalani prosesnya satu persatu. Sekolah yang dituju, tidak lain tidak bukan Kolese Kanisius, sekolah bapaknya dulu. Pada saat itu sekolah Kanisius menjadi satu-satunya tempat kami mendaftar dan tidak mau mencoba di sekolah lainnya. Kan memang pada dasarnya hanya coba-coba.

 

Kami mulai dari mengunjungi sekolahnya pas kebetulan ada Education Fair. Kami sudah cukup familiar dengan situasi dan kondisi di sekolah ini. Maklum lah, Babeh sering ngajak kunjungan ke sekolah ini, biasanya sih urusan nonton tanding basket antar angkatan alumni. Tapi sayangnya, kami tidak cukup tahu apakah homeschooler bisa mendaftar di sini atau tidak. Jadi diperlukan info ini, dan ternyata bisa. Lalu langkah kedua adalah membeli formulir dan mengisi formulir.

 

Pengisian formulir di sini bukan hanya biodata anak dan orang tua saja, tapi juga meliputi pertanyaan-pertanyaan seperti begini: Nilai dalam keluarga, Mama dan Papa, masing-masing, di mata anak orangnya seperti apa. Pengalaman berharga anak. Pengalaman Rohani anak. Sampai ke pertanyaan semisal gadget apa yang dimiliki, merk hape, merk laptop dan prosesornya, merk mobil yang dimiliki dan tahun berapa, punya garasi atau tidak, taman di rumah ukuran berapa meter persegi. Wah, kalau tahu kami punya garasi yang mampu menampung seribu mobil dan ukuran taman luas banget, kaget pasti sekolahnya. #balada tinggal di apartemen sejuta umat. šŸ˜ƒšŸ˜ƒ

 

Pertanyaan pamungkas, apakah mempunyai saudara yang bersekolah dan pernah bersekolah di sini pun tentu ditanya. Nama Bapak Ali dan adiknya menjadi referensi pertama. Nama Om Tito dan bokapnya juga gue tuliskan untuk referensi lebih lanjut. Om Tito ini adalah bapak babtisnya si Boy.

 

Setelah selesai dengan urusan pengisian formulir ini, waktunya mempersiapkan diri untuk tes akademis. Ya, namanya juga anak homeschool ya. Belajarnya gak sedalam anak sekolahan. Apalagi pelajaran yang selama ini dianut itu beda alirannya. Yang ‘cuma’ baca buku lalu narasi. Tapi gak tau aja kalau bukunya itu isinya ‘daging’ semua. Eaaaa.

 

Jadi sambil menunggu tes akademis di bulan Oktober itu, gue minta si Boy belajar materi-materi pelajaran sekolah selama bulan September. Sontak pelajaran akademis HSnya berhenti dulu selama persiapan ini. Selama persiapan ini gue keinget sama anak sepupunya si Babeh yang kebetulan seumuran si Boy. Gue langsung kontak anak ini untuk minta soal-soal yang sedang dipelajari dia. Jadi lah si Boy belajar mandiri dari soal-soal tersebut.

 

TES AKADEMIS – 15 Oktober 2023

 

Semua calon peserta didik diminta untuk memakai seragam asal sekolah. Karena anak HS gak punya seragam, si Boy pun datang dengan kemeja batik, celana panjang dan sepatu Converse-nya yang macam badut, warna-warni itu. Beneran gak kaya anak sekolahan banget sih ini. šŸ˜‹


 

Begitu nunggu di sana, si Boy cerita ketemu dengan beberapa teman yang dikenalnya. Ada teman basket yang pernah bareng di klub lama. Ada juga teman masa bayinya di grup Mom on March, ini sebetulnya teman emaknya sih. Eh ternyata ada 2 orang, Mak Ria dan Mak Sisca, yang kebetulan juga ikutan daftarin Bagas dan Chris di sana, jadi reunian kecil deh ini.

 

Komennya si Boy ketika selesai dengan tesnya di hari itu, “Tesnya susah banget, Ma! Dari 40 soal, cuma keburu dikerjain 33 soal.”

Komen emaknya, “Yaaa, kenapa gak asal aja jawabnya. Sayang loh itu.”

Kalau dari sudut pandang emaknya, “ya mending diisi daripada dikosongin. Capcipcup juga gapapa.”

Tapi dari sudut pandang anaknya, dia gak mau kalau jawabnya asal-asalan. Prinsip! šŸ˜šŸ˜

 

WAWANCARA, TES KEBUGARAN, TES MINAT BAKAT – 20 Oktober 2023


Untuk wawancara, gue merasa subyektif sekali pertanyaannya. Karena yang ditanya adalah hari-hari menjalani pendidikan mandirinya yang dibandingkan dengan pendidikan sekolah yang bakal dijalaninnya nanti. Pastinya berbeda banget. Sebetulnya ini jadi pelajaran tersendiri buat si Boy sih untuk wawancara ini. Bagaimana dia bersikap, berpikir sebelum menjawab, gerak badan dan jawaban yang diberikan. Sebagai anak yang belum pernah merasakan wawancara, pastinya deg-degan luar biasa. Apalagi diwawancaranya sambil berdiri di tengah-tengah antara orang tua dan 2 guru yang duduk. Kebayang gak nyamannya, karena jawaban-jawaban yang keluar dari mulutnya pun ajaib.

 

“Dari skala 1-10, seberapa kamu sanggup bersekolah di sini?”

“8.5”

“Sisanya yang 1.5 apa?”

“Capek!”

Dan emak bapaknya cuma bisa senyum dikulum, sambil berusaha gak meleyot ke lantai. šŸ˜‚


Untuk tes kebugaran, si Boy sama sekali gak ada kendala. Anak-anak diminta lari keliling lapangan bola selama 10 menit. Jam 1 siang pula. Tapi si Boy sanggup lari tanpa berhenti sedikit pun. Duh liatnya keceh banget deh. Anaknya siapa sih. Eaaaa.

 

Untuk tes minat bakat, si Boy memilih basket, tentunya. Yang mengetes adalah para murid yang jago di bidangnya. Tapi gue merasa kurang afdol sih, karena penilaian berdasarkan dari si murid tersebut. Pada waktu pengetesan, si murid yang diminta mengetes si Boy pun terkesan kurang berminat dan sempat salah menyebut nomor dada si Boy. Agak mengecewakan sih ini.

 

PENGUMUMAN HASIL, 25 Oktober 2023, Pukul 00.00

 

Malam tanggal 24 Oktober, gue berdua si Boy menunggu hasilnya. Jangan ditanya ke mana bapaknya, karena bapaknya dah pindah alam – alam mimpi. šŸ˜Œ

 

Ini adalah momen yang paling menegangkan dari rangkaian pendaftaran sekolah. Ada harapan yang terselip di dalamnya, berharap si Boy bisa mendapat kesempatan di sekolah tersebut. Ekspektasi yang rasanya bikin deg-degan. Hari-hari sebelumnya gue merasa yakin anak ini akan diterima di sekolah ini. Tapi di malam itu, sekitar jam 10an, ketika semua lampu di rumah seuprit ini sudah dimatikan dan yang tersisa hanya suara ngorok bapaknya, juga sinaran lampu hape gue. Tiba-tiba seperti ada yang masuk langsung ke dada gue, bilang si Boy tidak lolos. Seketika di saat itu hati gue menciut. Sedih menjalar dan membuat tubuh gue lemas. Saat itu gue sedang menyekrol-nyekrol IG, dan entah bagaimana ada reels lagu rohani yang muncul – saat menuliskan ini mata gue berkaca-kaca dong mengingat momen itu.

 

Secara algoritma, sepanjang menyekrol IG selama ini gue gak pernah mencari lagu rohani. Tapi di malam itu nongol, gue seakan diminta untuk mendengarnya. Entah supaya gue tenang atau berserah saja sama kuasaNya. FYI, besoknya dan sampai hari di mana tulisan ini ditulis, lagu rohani itu tidak pernah muncul lagi sama sekali, bahkan lagu-lagu rohani lainnya dari akun manapun di IG. Hanya di hari dan jam itu saja.

 

Tepat jam 12 malam, gue duduk bersama Fritz membuka email dari pihak sekolah. Warna tulisannya merah, yang mengucapkan permintaan maaf kalau si Boy dinyatakan tidak lolos seleksi. Saat itu juga gue melihat kesedihan di mata si Boy, yang langsung gue usap punggungnya sambil berkata, “Gak pa-pa ya, Boy.”


Malam itu jadi malam yang panjang, karena gue sendiri tanpa disadari kecewa berat dengan hasil yang ada. Berbagai macam hal masuk ke dalam pikiran. Dan gilanya, gue berulang kali membuka email sambil berharap tulisan warna hijau yang muncul. Karena gue lihat di grup alumni yang anak-anaknya mendaftar bareng, dari hape si Babeh, warna tulisan yang lolos berwarna hijau.

 

Paginya, begitu si Babeh melek mata – sleeping beauty bener ya Bapak ini, kesyel akuhhh – gue langsung mewek sejadi-jadinya. Gue menyatakan tanggal 25 Oktober itu menjadi The Sorrow Day. Seharian gue mellow abis. Bisa dong sambil nyetir, dalam perjalanan menuju rumah anak les, air mata gue turun tanpa gue sadari. Sesedih itu gue. Belum lagi di hari itu anak murid yang biasanya pecicilan dan suka nyeleneh kelakuannya, eh mendadak dia sweet banget di hari itu. Peluk-peluk gue dan minta diajak pulang sama gue. Mungkin dia merasakan sedihnya gue.

 

Paling lebay di hari itu, gue duduk menopang dagu, menghadap ke jendela sambil berucap begini “I’m sad, Ce.” Lalu ditanggapi sama si anak kecil kelas 1 SD ini, “Why, Miss? Tell me!” Gue cuma bisa jawab, “I can’t tell you, Ce. Too sad to say” sambil masih menatap nanar ke arah jemuran baju. Ceileeeh. Makanya ini kenapa ibu-ibu gak boleh terlalu banyak nonton sinetron. šŸ˜€

 

Selesai dari situ gue putuskan untuk melipir ke gereja dan bertemu dengan Bunda Maria. Menuangkan semua uneg-uneg di hati. Mengosongkan air mata. Lalu pulang dengan hati yang lebih lapang. Diakhiri dengan ngobrol dengan kakak psikologku tercinta, yang selalu punya sisi logika untuk dipertimbangkan, yang sebetulnya di malam setelah pengumuman itu juga sempat terpikir di logika gue tapi ketutup sama emosi. šŸ˜‚šŸ˜‚ 


Kesedihan gue berakhir setelahnya, dan siap menyambut hari berikutnya.

 

Bersambung di tulisan berikutnya ya…

No comments:

Post a Comment