After months..I’m BACK!!
Sebetulnya gak gitu banyak yang mau diceritakan, karena ternyata
di tahun ini gue menikmati hidup yang tenang, minim bersosmed dan eksis di
dunia maya. Meski kadang kangen juga sih dapet likes yang banyak kalau lagi pamer
#eh posting sesuatu. š Tapi ada satu cerita yang menurut gue menarik untuk
diceritakan di sini buat dijadikan kenangan.
Bermula di akhir Agustus, di suatu malam. Bapak Ali yang
baru aja selesai mandi sepulang dari kerja sedang santai goleran di kasur sambil
menyekrol hapenya. Tiba-tiba doi teringat sesuatu. Tadi siang seorang temannya
dari alumni sekolah yang sama dengannya – sebut saja Kolese Kanisius gitu ya š – nyolek di personal chat. Intinya, sang teman ini tahu kalau anak kami
homeschool dan bertanya apakah di jenjang SMA akan disekolahkan atau tidak.
Hal ini sebelumnya pernah gue bahas berdua sama si Boy, dan
dari obrolan tersebut dia sama sekali tidak berminat untuk bersekolah di
jenjang SMA. Sebetulnya di setiap jenjang pun gue selalu bertanya ke dia, dan
jawabannya selalu sama. Dia masih nyaman ber-homeschool ketimbang bersekolah. Tentu
gak hanya sampai di situ obrolan kami. Setiap tahunnya gue selalu melibatkan si
Boy dalam proses belajarnya. Begitu juga dalam proses pengembangan minat,
bakat, karakter dan emosinya. Ya namanya juga anak ABG, emosinya ini jadi PR
tersendiri, yang bolak balik perlu disadari dan diberesin. Hanya saja semakin
bertambahnya umur, peran gue dalam proses HSnya ini semakin sedikit. Nah, untuk
jenjang SMA ini pun kami sudah membahasnya dari tahun lalu. Dari obrolan itu
muncul kesepakatan kami, ada lah beberapa hal yang akan dilakukannya nanti.
Kadang memang gak tahu ya kapan kita merasa terinspirasi
akan sesuatu sampai ada pengingatnya dari orang lain. Terserah orang mau bilang
gue gampang banget berubah, gak berpegang teguh pada pendirian, tapi gue hanya
percaya Tuhan bekerja lewat orang di sekitar gue. Entah apa, Tuhan pasti punya
maksud sampai tiba-tiba minta seorang teman menyolek si Babeh di hari itu, padahal
teman tersebut tidak pernah bahas urusan ini secara personal. Padahal juga,
urusan sekolah ini sama sekali sudah tidak terlintas di kehidupan kami.
Di pagi itu, gue ajak si Boy ngobrol lagi soal urusan bersekolah
yang kemarin sempat ditentangnya. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan
gue kenapa akhirnya gue mengangkat lagi tema bersekolah ke anak ini. Pertama, gue
merasa tidak sanggup lagi menemaninya belajar karena keterbatasan waktu yang
gue miliki belakangan ini. Sudah hampir setahun terakhir, belajar akademisnya gue
lepas. Dia sudah belajar mandiri tanpa lagi dipantau. Dengan sendirinya dia
sudah tau tanggung jawabnya. Kedua, dia perlu paparan lebih luas lagi untuk
menggali minat dan bakatnya. Dalam proses ini gue merasa gak punya daya dan
tenaga untuk mencarikan info lebih lanjut. Mungkin dia bisa mencarinya sendiri,
tapi pasti terbatas, hanya sebatas kemampuan berpikir anak remaja saja. Jadi
tetap butuh gue sebagai orang tuanya untuk mencarikan lebih dalam dan luas lagi.
Rasanya sekolah mempunyai cakupan luas untuk menggali minat bakat anak ini. Ketiga,
sosialisasi. Di usianya yang sekarang kebutuhannya dalam berteman cukup tinggi.
Dan rasanya kalau hanya mengandalkan pertemanan di klub basket saja, itu minim
sekali. Dia perlu wadah yang lebih luas dari itu. Mencari wadah yang lebih
besar dari sekarang pastinya, lagi-lagi, perlu usaha. Keempat, ini yang menurut
gue paling penting dari semuanya, adalah, sekolah menjadi sarana untuknya
ditempa, yang tentunya masih dalam pengawasan guru dan orang tua, sebelum
beneran terjun dalam kehidupan yang nyata di masyarakat.
Entah bagaimana, pemaparan dari sisi gue ini ditanggapi
dengan santai dan ringan aja olehnya; ya udah kita coba aja. Diterima ya
berarti jalannya ke situ, gak diterima ya kita kembali ke jalan ninja yang lama
alias balik HS. Ternyata eh ternyata, anak ini pernah juga menimbang untuk bersekolah
karena melihat teman-teman di klub seru bisa tanding basket antar sekolah.
Muncul juga lintasan untuk sekolah di tempat bapaknya bersekolah dulu. Tapi ya
masih dalam pertimbangan. Kan yang ditimbang sama dia itu urusan akademis yang
perlu dilalui di sekolah, karena menurut dia belajar kok lama amat sih. š
MENDAFTAR DI KANISIUS
Berangkat dari sini, akhirnya kami menjalani prosesnya satu
persatu. Sekolah yang dituju, tidak lain tidak bukan Kolese Kanisius, sekolah
bapaknya dulu. Pada saat itu sekolah Kanisius menjadi satu-satunya tempat kami
mendaftar dan tidak mau mencoba di sekolah lainnya. Kan memang pada dasarnya
hanya coba-coba.
Kami mulai dari mengunjungi sekolahnya pas kebetulan ada Education
Fair. Kami sudah cukup familiar dengan situasi dan kondisi di sekolah ini. Maklum
lah, Babeh sering ngajak kunjungan ke sekolah ini, biasanya sih urusan nonton
tanding basket antar angkatan alumni. Tapi sayangnya, kami tidak cukup tahu apakah
homeschooler bisa mendaftar di sini atau tidak. Jadi diperlukan info ini, dan
ternyata bisa. Lalu langkah kedua adalah membeli formulir dan mengisi formulir.
Pengisian formulir di sini bukan hanya biodata anak dan
orang tua saja, tapi juga meliputi pertanyaan-pertanyaan seperti begini: Nilai dalam
keluarga, Mama dan Papa, masing-masing, di mata anak orangnya seperti apa. Pengalaman
berharga anak. Pengalaman Rohani anak. Sampai ke pertanyaan semisal gadget apa
yang dimiliki, merk hape, merk laptop dan prosesornya, merk mobil yang dimiliki
dan tahun berapa, punya garasi atau tidak, taman di rumah ukuran berapa meter
persegi. Wah, kalau tahu kami punya garasi yang mampu menampung seribu mobil
dan ukuran taman luas banget, kaget pasti sekolahnya. #balada tinggal di
apartemen sejuta umat. šš
Pertanyaan pamungkas, apakah mempunyai saudara yang
bersekolah dan pernah bersekolah di sini pun tentu ditanya. Nama Bapak Ali dan adiknya
menjadi referensi pertama. Nama Om Tito dan bokapnya juga gue tuliskan untuk referensi
lebih lanjut. Om Tito ini adalah bapak babtisnya si Boy.
Jadi sambil menunggu tes akademis di bulan Oktober itu, gue
minta si Boy belajar materi-materi pelajaran sekolah selama bulan September.
Sontak pelajaran akademis HSnya berhenti dulu selama persiapan ini. Selama
persiapan ini gue keinget sama anak sepupunya si Babeh yang kebetulan seumuran
si Boy. Gue langsung kontak anak ini untuk minta soal-soal yang sedang
dipelajari dia. Jadi lah si Boy belajar mandiri dari soal-soal tersebut.
TES AKADEMIS – 15 Oktober 2023
Begitu nunggu di sana, si Boy cerita ketemu dengan beberapa
teman yang dikenalnya. Ada teman basket yang pernah bareng di klub lama. Ada
juga teman masa bayinya di grup Mom on March, ini sebetulnya teman emaknya sih.
Eh ternyata ada 2 orang, Mak Ria dan Mak Sisca, yang kebetulan juga ikutan
daftarin Bagas dan Chris di sana, jadi reunian kecil deh ini.
Komennya si Boy ketika selesai dengan tesnya di hari itu, “Tesnya susah banget, Ma! Dari 40 soal, cuma keburu dikerjain 33 soal.”
Komen emaknya, “Yaaa, kenapa gak asal aja jawabnya. Sayang loh itu.”
Kalau dari sudut pandang emaknya, “ya mending diisi daripada dikosongin. Capcipcup juga gapapa.”
Tapi dari sudut pandang anaknya, dia gak mau kalau jawabnya asal-asalan. Prinsip! šš
WAWANCARA, TES KEBUGARAN, TES MINAT BAKAT – 20 Oktober 2023
Untuk wawancara, gue merasa subyektif sekali pertanyaannya. Karena
yang ditanya adalah hari-hari menjalani pendidikan mandirinya yang dibandingkan
dengan pendidikan sekolah yang bakal dijalaninnya nanti. Pastinya berbeda
banget. Sebetulnya ini jadi pelajaran tersendiri buat si Boy sih untuk
wawancara ini. Bagaimana dia bersikap, berpikir sebelum menjawab, gerak badan
dan jawaban yang diberikan. Sebagai anak yang belum pernah merasakan wawancara,
pastinya deg-degan luar biasa. Apalagi diwawancaranya sambil berdiri di tengah-tengah
antara orang tua dan 2 guru yang duduk. Kebayang gak nyamannya, karena
jawaban-jawaban yang keluar dari mulutnya pun ajaib.
“Dari skala 1-10, seberapa kamu sanggup bersekolah di sini?”
“8.5”
“Sisanya yang 1.5 apa?”
“Capek!”
Dan emak bapaknya cuma bisa senyum dikulum, sambil berusaha gak meleyot ke lantai. š
Untuk tes minat bakat, si Boy memilih basket, tentunya. Yang
mengetes adalah para murid yang jago di bidangnya. Tapi gue merasa kurang afdol
sih, karena penilaian berdasarkan dari si murid tersebut. Pada waktu
pengetesan, si murid yang diminta mengetes si Boy pun terkesan kurang berminat
dan sempat salah menyebut nomor dada si Boy. Agak mengecewakan sih ini.
PENGUMUMAN HASIL, 25 Oktober 2023, Pukul 00.00
Malam tanggal 24 Oktober, gue berdua si Boy menunggu
hasilnya. Jangan ditanya ke mana bapaknya, karena bapaknya dah pindah alam –
alam mimpi. š
Ini adalah momen yang paling menegangkan dari rangkaian
pendaftaran sekolah. Ada harapan yang terselip di dalamnya, berharap si Boy
bisa mendapat kesempatan di sekolah tersebut. Ekspektasi yang rasanya bikin
deg-degan. Hari-hari sebelumnya gue merasa yakin anak ini akan diterima di sekolah
ini. Tapi di malam itu, sekitar jam 10an, ketika semua lampu di rumah seuprit ini
sudah dimatikan dan yang tersisa hanya suara ngorok bapaknya, juga sinaran
lampu hape gue. Tiba-tiba seperti ada yang masuk langsung ke dada gue, bilang
si Boy tidak lolos. Seketika di saat itu hati gue menciut. Sedih menjalar dan
membuat tubuh gue lemas. Saat itu gue sedang menyekrol-nyekrol IG, dan entah
bagaimana ada reels lagu rohani yang muncul – saat menuliskan ini mata gue
berkaca-kaca dong mengingat momen itu.
Secara algoritma, sepanjang menyekrol IG selama ini gue gak
pernah mencari lagu rohani. Tapi di malam itu nongol, gue seakan diminta untuk
mendengarnya. Entah supaya gue tenang atau berserah saja sama kuasaNya. FYI, besoknya
dan sampai hari di mana tulisan ini ditulis, lagu rohani itu tidak pernah
muncul lagi sama sekali, bahkan lagu-lagu rohani lainnya dari akun manapun di
IG. Hanya di hari dan jam itu saja.
Malam itu jadi malam yang panjang, karena gue sendiri tanpa disadari kecewa berat dengan hasil yang ada. Berbagai macam hal masuk ke dalam pikiran. Dan gilanya, gue berulang kali membuka email sambil berharap tulisan warna hijau yang muncul. Karena gue lihat di grup alumni yang anak-anaknya mendaftar bareng, dari hape si Babeh, warna tulisan yang lolos berwarna hijau.
Paginya, begitu si Babeh melek mata – sleeping beauty bener
ya Bapak ini, kesyel akuhhh – gue langsung mewek sejadi-jadinya. Gue menyatakan
tanggal 25 Oktober itu menjadi The Sorrow Day. Seharian gue mellow abis. Bisa
dong sambil nyetir, dalam perjalanan menuju rumah anak les, air mata gue turun
tanpa gue sadari. Sesedih itu gue. Belum lagi di hari itu anak murid yang
biasanya pecicilan dan suka nyeleneh kelakuannya, eh mendadak dia sweet banget
di hari itu. Peluk-peluk gue dan minta diajak pulang sama gue. Mungkin dia
merasakan sedihnya gue.
Paling lebay di hari itu, gue duduk menopang dagu, menghadap
ke jendela sambil berucap begini “I’m sad, Ce.” Lalu ditanggapi sama si anak
kecil kelas 1 SD ini, “Why, Miss? Tell me!” Gue cuma bisa jawab, “I can’t tell
you, Ce. Too sad to say” sambil masih menatap nanar ke arah jemuran baju.
Ceileeeh. Makanya ini kenapa ibu-ibu gak boleh terlalu banyak nonton sinetron. š
Selesai dari situ gue putuskan untuk melipir ke gereja dan bertemu dengan Bunda Maria. Menuangkan semua uneg-uneg di hati. Mengosongkan air mata. Lalu pulang dengan hati yang lebih lapang. Diakhiri dengan ngobrol dengan kakak psikologku tercinta, yang selalu punya sisi logika untuk dipertimbangkan, yang sebetulnya di malam setelah pengumuman itu juga sempat terpikir di logika gue tapi ketutup sama emosi. šš
Kesedihan gue berakhir setelahnya, dan siap menyambut
hari berikutnya.
Bersambung di tulisan berikutnya ya…
No comments:
Post a Comment