Kalau menurut Ali ini adalah wasir. Setelah akhirnya
memberanikan diri untuk mengeceknya dan juga mencari info, dugaan gue juga
wasir. Saat itu juga gue mencari tahu lebih banyak lagi untuk langkah
selanjutnya. Gue mulai dengan mencoba memberi kompres ice gel di bagian anus,
katanya sih bisa membuatnya mengecil. Sambil gue bertanya ke seorang teman yang
gue kenal pernah mengalami hal serupa. Menurutnya gue bisa dengan mencoba
membeli obat yang dimasukkan lewat dubur, Faktu Sup namanya. Ditambah dengan
obat minum, Veridin, jika tidak mengecil. Keduanya ini adalah obat yang sering
dipakai olehnya ketika serangan wasir datang.
Apa yang dirasakan di awal?
Saat itu gue sedang berkegiatan acara tutup tahun untuk para
lansia bersama dengan teman-teman Komunitas Sahabat. Sama sekali tidak ada
sesuatu yang mengganjal selain rasa panas di area anus.
Kalau boleh menduga-duga, ada beberapa hal yang sedikit
cocok dengan info yang gue dapatkan. Jongkok, ada saat di mana gue berjongkok
ketika berbicara dengan seorang Oma. Kurang minum, selama acara berlangsung
selama 2-3 jam itu gue hanya minum satu botol ukuran mini minuman mineral
kemasan. Asli, ini kecil banget. Tahu kan botol Cleo ukuran anak-anak, segitu
lah gue hanya minum. Kecocokan yang paling mungkin adalah yang ketiga ini,
ketika gue mengangkat sebuah wadah beling ukuran jumbo untuk kerupuk. Sempat
ragu ketika mau mengangkatnya, tapi karena gue tidak menemukan siapapun saat
itu, akhirnya gue memutuskan membawanya sendiri. Pada waktu mengangkatnya gue
ingat ada hentakan “ugh” yang keluar dari mulut gue, menandakan memang ini
berat. Tapi siapa yang tahu kapan wasir ini muncul ke permukaan, hanya dia dan
Tuhan yang tahu – macam babang Bajaj kapan dia mau belok gitu atau macam
ibu-ibu naik motor sen ke kiri tapi malah belok ke kanan. 😂😂
Besoknya gue langsung mencari obat yang diinfokan teman itu.
Syukurlah setelah 3 apotek di apartemen ini gue datangi, dapat juga obatnya.
Perkara selanjutnya adalah seberapa sanggup gue memasukkan obat itu ke dubur
gue sendiri tanpa bantuan Bapak Ali. Lagi ya, kalau kondisi sudah mendesak apa
juga bisa dilakukan kan ya. Dengan semangat ’45 – eh gak gitu juga sih 😁 Pokoknya dengan kekuatan bulan ala Sailormoon, gue berhasil memasukkan obat itu
ke dubur gue. Aww. Apalagi catatan dari teman gue itu harus sambil dimasukkan
ke dalam dagingnya itu.
Percobaan pertama memang hanya berhasil memberanikan diri memasukkan
obat ke dubur tapi gak berani dorong si Mas Wasir ini ke dalam. Ya hitungannya
mah gatot ngobatin. Lanjut di malam hari, gue mencoba lagi di kesempatan kedua
ini. Berhasil, wasirnya masuk ke dalam dan anus gue terlihat seperti sedia
kala. Tapi kesenangan memang bukan milik gue saat itu. 10 menit kemudian, eh doi
muncul lagi pelan tapi pasti ke permukaan di tengah kepitan pantat gue. Dan ini
berlangsung selama dua hari, masukkin, keluar lagi, umpetin lagi, eh dia
cilukba lagi. Frustrasi aku tuuuu. 😓
Sampai saatnya gue harus kerja di hari ketiga, yaitu hari
Rabu. Dengan mengajak Mas Boy, gue memberanikan diri menyetir dan ngelesin 3
anak. Sepulang dari situ, bukannya membaik tapi wasir gue muncul daging
tambahan, padahal gue gak rekues ini loh. Emang beli daging di pasar, buk!
Rasanya tambah sakit dan kali ini mulai berdarah. Mungkin karena terlalu lama
dalam posisi duduk, Mas Wasir jadi tertekan hidupnya.
Di hari ketiga, karena merasa sudah mulai tidak ada
perubahan dengan wasir ini, gue memutuskan untuk konsultasi dengan seorang
dokter kenalan. Berhubung juga di hari kedua gue mencari obat minum gak
ketemu-ketemu, gue dapat referensi obat baru dari dokter kenalan ini. Pengganti
obat Veridin yang semakin sudah ditemui adalah Ardium. Bukan, dia bukan nama
cowo ganteng ya, gaessss. Nama obat minum untuk bantu mengecilkan wasir.
Masih di hari ketiga, bukannya semakin membaik kondisinya, gue justru harus memakai pembalut untuk menahan darah yang keluar dari wasir ini. Semakin malam semakin parah, gue pun sulit tidur. Di tengah gue gak bisa tidur ini gue putuskan mencari info lagi. Dan sepertinya gue sudah harus mengambil keputusan untuk ke UGD, melanjutkan pengobatan wasir ke tangan yang berwajib. Gue bangunkan Bapak Ali untuk antarkan gue dan pamit ke Mas Boy kalau gue perlu tindak lanjut.
Jam 2 pagi, gue ditemani kesayangan gue ini, Bapak Ali,
sudah berada di UGD RS Gading Pluit. Dengan bantuan Dokter Li, yang sempat gue
debatkan sama Ali – “cowo atau cewe sih dokternya?!” – wasir gue diperiksa.
Huhuhu. Rasanya beneran gak nyaman banget harus buka celana depan orang lain.
Setelah diminta menceritakan kronologi oleh dokter Li yang berperawakan tomboy
ini, akhirnya gue dan Ali putuskan untuk rawat inap karena ada kecenderungan
harus diangkat dengan tindakan operasi. Berhubung gue juga sudah mencari info
dan tahu harus mencari dokter siapa, gue pun minta ke dokter Li, dokter jaga
ini untuk mengatur operasi bedah Mas Wasir dengan Dokter Barlian Sutedja.
Dokter yang sama yang pernah mengoperasi batu empedu Babang Ali.
Paginya, hari Kamis, gue sudah berada di ruang kamar. Gue
diminta untuk sarapan dan berpuasa. Hari itu juga gue sudah dijadwalkan operasi
jam 2 siang. Jadi lah sarapan yang dimakan menjadi makanan terakhir gue, karena
setelah jam 7.30 gue diminta tidak makan dan minum apapun. Meski kamar cukup
nyaman, tapi perut dan pantat sama sekali gak aman. Duduk gak tenang, tidur pun
harus miring. Perut juga sering minta dielus-elus. Bolak balik curhat sama
suster, “Lapar, Sus” sampai “Ya ampun, Sus, saya LAPAAAARRRR” – loh jadi pengen
makan orang!
Ditambah hati juga agak khawatir dengan operasi. Segala
macam yang berhubungan dengan operasi itu memang bikin tegang deh. Ketegangan
semakin menjadi karena waktu sudah mendekati pukul 2 siang. Lalu pelan-pelan menuju
jam 3. Sampai jam 3.30 sore, semakin tidak ada tanda-tanda gue akan dibawa ke
ruang operasi. Bukan lagi tegang yang terjadi, melainkan bingung dengan jadwal
operasi yang tertunda itu. Setelah mencari tahu ternyata Dokter sibuk dengan antrian
operasi.
Operasi Dimulai
Gue baru dapat giliran dibawa ke ruang operasi sekitar pukul
6 malam. Ketika gue dibawa ke ruang operasi, rasa takut mulai menyelimuti. Gue
sempat ditemani oleh seorang perawat, yang dari penampakannya saja terlihat dia
sudah senior di bidangnya. Gue sengaja mengajaknya mengobrol supaya lebih
tenang. Sambil mempersiapkan gue di meja operasi, beliau banyak cerita ke gue. Ibu
Perawat ini ternyata sudah hampir 30 tahun berada di ruang operasi. Dan sedikit
bocoran darinya, Dokter Barlian ini hobinya operasi. Hari itu saja lebih dari
10 operasi yang dijalankan. Ckckck. Hobi kok operasi sih, Dok. Tapi hobinya menguntungkan
banget sih, Dok. #eh 😚
Tangan gue sudah dibentangkan kanan kiri. Tubuh gue juga
sudah tidak memakai apapun selain selembar selimut. Rambut juga sudah ditutup
dengan harnet, penutup rambut. Ya, sudah waktunya ini, pikir gue. Lalu
tiba-tiba gue ditinggal sendirian. Ibu Perawat itu entah pergi ke mana meninggalkan
gue begitu aja. Pikiran gue masih positif, mungkin dia hendak panggil dokter
untuk datang. Semenit berlalu. 5 menit berlalu. Sambil menunggu gue mencoba
melepaskan ketegangan dengan meditasi. Mengatur nafas masuk dan keluar dengan
menatap ke langit-langit ruang operasi. Sampai menit ke 15 tidak ada
tanda-tanda gue akan dioperasi. Adegan film horor mulai masuk ke dalam pikiran
gue. Pikiran jelek mulai merasuki gue, jangan-jangan…
Siapapun yang lewat akan gue panggil, begitu ujar gue dalam
batin. Udah mulai gak wajar waktu menunggunya ini dan kondisi gue mulai kedinginan
karena sehelai selimut itu. Jadi begitu ada, entah lah siapa dia lewat di depan
ruang operasi, gue segera panggil. Dia mematikan AC di ruangan itu supaya gue
gak kedinginan. Dan selang beberapa menit kemudian satu persatu perawat mulai
datang mempersiapkan alat-alat. Lalu dokter anastesi mendatangi gue dan
mengajak ngobrol sebentar sebelum akhirnya gue pingsan di tangannya. Dalam
hitungan detik gue sudah melayang dan lenyap karena obat bius.
Setelah Operasi
“Nah itu dia si dokter,” begitu gue tersadar dari bius
total. Samar-samar gue melihat satu sosok orang tua yang berpakaian hijau
dengan tutup kepala juga berwarna hijau sedang menulis sesuatu di meja. Begitu
tersadar, gue bisa merasakan dingin di sisi luar lengan kiri gue, dilanjut
dengan tubuh yang mulai menggigil kedinginan. Sontak gue mengerang, “Dingin,
Sus” dan dalam sekejap badan gue sudah hangat dengan alat pemanas. Persis
seperti yang gue rasakan setelah operasi Caesar kurang lebih 14 tahun lalu.
Kedinginan dan diberikan alat pemanas.
“Sus…Suster, saya rasanya mau pipis.” Tidak lama alat pipis
diletakkan di bawah pantat gue. Tapi tidak bisa pipis.
“Suster…Suster….saya gak jadi pipis. Saya mau kentut aja.”
Lalu kata suster sambil mengambil alat pipis keluar dari selimut gue, “Ya
kentut aja, Bu.”
“Sus…Suster….Suster… saya gak bisa kentut. Saya mau BAB.” Didekati
dan dijawab suster, “Belum bisa ya, Bu.”
“Suster…Suster… Susterrrr…Susterrrrrr…..saya laparrrrr.” Tidak
ada satu pun yang menghampiri, hanya orang yang hilir mudik entah ngapain di
depan gue. Males kayanya ngeladenin orang bawel yang kelaparan habis operasi. 😂😂
Operasi Mas Wasir selesai pukul 9.30 malam. Malam itu yang
gue rasakan adalah lapar dan ngantuk. Tapi sekitar jam 11 malam gue diminta
untuk makan. Makannya juga hanya boleh bubur yang lembut dulu, supaya perutnya
tidak kaget. Tapi rasanya jadi gak lapar lagi karena rasa sakit bekas operasi
di dubur benar-benar bikin gue tidak nyaman. Apalagi di tengah-tengah itu ada
kasa yang disumbatkan, semakin bikin gue susah bergerak. Duduk biasa tentu
tidak enak, jadi pilihannya hanya bisa tiduran menyamping sambil mengunyah
pelan-pelan bubur yang masuk ke perut. Hanya beberapa suap aja sih akhirnya
bisa masuk ke mulut, setelah itu gue putuskan untuk tidur.
Sekitar pukul 2 pagi gue terbangun karena obat biusnya sudah
habis. Rasa yang mendominasi saat itu seperti ingin BAB tapi tahu tidak ada
yang bisa dikeluarkan. Dubur terasa seperti ada yang menyedot. Perih tapi tidak
perih sekali, cekit-cekit aja sih. Dan ini bikin gue salah tingkah.
Sebentar-sebentar gue putar badan menyamping ke kiri, tertidur sebentar. Lalu
terbangun dan menyuap makanan sedikit. Entah kenapa ya otak rasanya henghong
alias error, kenapa sama sekali tidak berpikir untuk minta suster datang
memberi pain killer ke gue. Sampai jam 5 pagi gue semakin tidak tahan, akhirnya
gue memencet tombol memanggil suster. Begitu pain killer sudah disuntikkan masuk
lewat infus, gak pakai lama gue langsung tidur terlelap.
Hari Jumat pagi itu rasanya hidup kok enak banget ya. Bisa
tidur-tiduran santai di kasur sambil main hape tanpa was-was lagi dengan anus.
Apalagi makanan di hari itu rasanya kok enak banget, gak perlu masak tinggal
makan. Di tambah gue bisa bolak balik istirahat tanpa digubris sama apapun.
Sampai akhirnya sekitar pukul 12.30 dokter Barlian datang mengunjungi gue. Kedatangan
beliau di sini untuk mengecek hasil operasinya dan meminta suster menarik kasa
yang disumpalkan ke dalam dubur setelah operasi semalam.
“Tarik nafas ya, Bu.” Aba-aba dari suster. Gue menarik nafas
sepanjang yang gue mampu.
“Tahan, Bu. Saya tarik ya.” Sreeeet.
Sreeeeeeeeeeeeeeeettttt. Ampun, apaan itu panjang bener yang ditarik dari dalam
anus. Mata gue rasanya sampai mendelik sambil disertai erangan panjang. Aaaaggghhhh.
Setelah diperiksa tidak ada kendala berarti, Dokter pun
menyatakan gue boleh pulang. Tapi sebelum beliau keluar dari ruangan, gue minta
foto dulu. Sambil gue ceritakan kalau bulan April lalu Bapak Ali yang dioperasi
tapi di penghujung tahun malah sekarang giliran gue.
“Ibu iri ya sama suaminya.” Pengen nyubit si dokter gak sih
denger komennya.
Proses pulang dari rumah sakit mulus-mulus aja. Patut
disyukuri hampir seluruh biaya rumah sakit terbayarkan oleh asuransi, hanya ada
1 obat yang tidak berhasil ter-cover. Malam itu pun gue sudah berada di
apartemen lagi. Seenak-enaknya rumah sakit, kelas VVIP pula {cieee…cieeee,
asuransinya apa sih *mulaisombong}, tapi tetap lebih enak apartemen gue meski mungil
begini. Kan bisa peyuk-peyukkan sama Mas Boy.
Pasca Operasi
Setelah pulang dari RS itu gue sudah bisa menjalani hari
seperti biasa. Hari Minggu sudah Natal, gue pun rasanya kuat mengikuti rangkaian
acara di hari itu. Mulai dari misa Natal di gereja, pergi acara makan siang
keluarga sampai sore gue datang mengunjungi tante-tante dari pihak bokap. Cukup
fit, meski seorang tante sempat mengingatkan setelah operasi seharusnya tidak
banyak berkegiatan di luar.
Hari Selasa gue perlu ke Dokter Barlian lagi untuk kontrol. Tanpa
disangka-sangka pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter adalah mengecek bagian
dalam dubur dengan mencolokkan jari ke anus gue. Wadaw. Jangan kau tanya
rasanya kaya apa ya. Sungguh pedih, gaes! Rasa perih di dalam itu lebih menyakitkan
daripada sayatan pisau di luar. Halah. 😂
Memang itu lah yang terjadi. Operasi wasir ini memang cepat
sembuh kalau dilihat dari luar. Tapi kenyataannya ada proses penyembuhan di
dalam anus yang tidak bisa segera sembuh seperti penampakan luar. Setelah hari
Selasa kontrol dengan dokter, obat gue pun mulai habis, tetapi panas di bagian
dalam anus masih ada. Di tambah gue terserang sakit maag hebat karena makan
yang tidak teratur. Kesalahan gue kemarin adalah tidak memperhatikan asupan
yang baik paska operasi. Gue makan sekenanya, bahkan banyak nyemil yang macem-macem.
Sehingga menyebabkan maag gue terluka dan gue jadi sering bolak balik ke toilet
untuk BAB. Panasnya anus akibat operasi saja belum beres, ditambah sering nongkrong
di toilet karena sakit maag akut, benar-benar bikin gue meriang panas dingin
menerima kenyataan hidup di akhir tahun 2022.
Satu pelajaran hidup yang telah berhasil dilewati lagi.
Terima kasih atas penyertaanMu. 😇
No comments:
Post a Comment