Sunday, December 13, 2020
Monday, December 7, 2020
Begitulah setiap insan memahami tahun 2020 ya. Beberapa dari kita mungkin harus terperosok dan jatuh dalam lubang, tetapi ada juga yang masih sanggup bertahan menghadapi badai Corona yang menguasai satu bumi ini. Bagaimana dengan kalian menanggapi tahun 2020 ini? Apakah Corona mendatangkan berkah atau malah menjadi musibah bagi kalian?
Bagiku pribadi, tahun 2020 ini cukup mencengangkan sih. Dimulai dengan kami harus bertahan di rumah Oma karena Kelapa Gading dilanda banjir di hari pertama tahun baru. Lalu berlanjut dengan kedatangan tamu banjir sampai 3 kali lagi setelah tahun baru itu. Memang sih, tidak berefek banyak untuk kami karena kami tinggal di area apartemen. Tapi wilayah Kelapa Gading jadi satu-satunya yang hujan dikit banjir-hujan dikit banjir dibanding dengan wilayah Jakarta lainnya. Gimana gak was-was coba ya ini. Setiap hujan mampir bentar namun deras curahnya, udah jiper aja kebanjiran. Hahaha
Berlanjut dengan bolak balik ke UGD RS Carolus sekitar pertengahan Januari ke Februari. Dari Mama (mertua) yang terjatuh di kamar mandi karena lemas dan kami harus mengantarnya ke UGD tengah malam itu juga, sampai Bang Ali yang mendadak panas tinggi ketika kami berkegiatan di Lapangan Banteng. Tentu saja ini menyebabkan suster dan dokter jaga di RS tersebut sedikit banyak kenal ya dengan diriku. Segitu tenarnya kah? Sebenarnya gak seartis itu juga sih gue. Eh, tapi kalau diingat-ingat, Kikan dari Band Cokelat aja pernah nuduh gue "Kayanya sering liat deh mukanya." Jadi, gue artis apa bukan, hayoooo :P
Lanjooot...
Yaaa, gue sedikit membuat drama dengan sensasi melotot sambil bernada tinggi ke salah satu suster akibat tidak adanya mobil ambulance yang membantu kami memindahkan Mama ke rumah sakit lain saat itu. Lah ya gimana gak pake esmoniiii eh esmosi sodaraaaa, mobil ambulance ada tiga berjejer rapi jali di depan UGD tapi begitu ditanya kenapa gak bisa antar Mama, jawabannya itu loh. "Supirnya gak ada, Bu." Darah langsung memuncak sampai ke otak rasanya saat itu, ngapain juga lo jejerin tuh ambulance ampe tiga biji disono kalau gak ada supirnya, Maliiih!! Gue pun ngomel dah, sambil gue tawarin diri, sini gue aja yang nyetirin tuh mobil ambulance dan disambut gelengan suster. Ya kali, Bu!!
Jadi begitu Bang Ali harus bertandang ke UGD RS tersebut lagi karena mendadak panas tinggi, suster yang gue ocehin itu pas bertugas. Doi kenalin kami dong lalu berbisik-bisik dengan koleganya yang lain sambil melirik-lirik ke gue. Eaaa, kesampaian juga gue jadi artis lokal sesaat deh saat itu. *gubraaak
Masuklah di pertengahan Maret. Pas banget ketika gue lagi mulai mendapat ide untuk membuat kegiatan Kumpul Bocah ala Allella Kids. Lagi seru-serunya merancang kegiatan untuk bulan berikutnya, eh Neng Corona pun menghampiri dan mendadak semua kegiatan luar ruangan harus dihentikan. Tentu saja ini bikin gue jadi resah dan gelisah, macam lagunya Chrisye.
Nah di saat pikiran bingung mau ngapain sambil nunggu si Coronce lewat, yang gak tau sampai kapan ini, ide muncul kembali. Sebetulnya ide ini sudah tercetus beberapa bulan sebelumnya sih, tapi belum berani eksekusi aja. Jadi, begitu ada kesempatan bakalan lama di rumah, gue beranikan diri untuk jalankan. Tentu ini sambil menggeret Bang Ali untuk ambil bagian lah ya. Kami mulai membuka PO masakan, di bawah bendera Allella Kitchen. Yaaa, lagi-lagi Allella. Udah brand khusus soalnya itu. Kapan-kapan diceritain deh kenapa Allella harus banget jadi nama usaha. Nanti yaaaa.
Masakan pertama kami adalah Pangsit Kuah frozen. Kami hanya mencoba memasarkan dari pertemanan di WA saja dan antusiasnya gak disangka-sangka. Dengan prosedur PO, kami mengumpulkan pesanan, puji Tuhan, penjualan pertama kami cukup disambit eh disambut baik oleh teman-teman ini. Puji Tuhan lagi, sampai di bulan terakhir tahun 2020 ini, kami masih menjalankan usaha kecil-kecilan kami ini. Berawal tanpa logo, sekarang kami punya logo. Berawal hanya sekadar isi waktu saja, sekarang kami punya 9 masakan frozen dan 2 masakan matang. Berawal hanya dari teman ke teman saja, sekarang kami punya pelanggan tetap dan beberapa orang yang kenal dari sosmed pun menjadi langganan kami. Artinya, kami memang harus butuh serius di bidang ini. Ada PR yang perlu kami rancang untuk ke depannya.
Ternyata juga, Bang Ali ini sebetulnya yang punya bakat memasak. Doi ini turun langsung sendiri meracik bumbu dan sering mendapat pujian dari teman-teman yang membeli. Gak nyangka ya. Plus, doi pun turun langsung sendiri dalam membeli bumbu dan bahan-bahan lainnya ke pasar. Dipilih satu-satu dengan rajinnya itu bawang putih, bawang merah, percabean dari cabe keriting sampai cabe merah gede, sayur sampai daging. Segala pedagang pasar pun sampai hafal dan ikriiiib banget sama doi ketimbang sama eikeh. Apalagi kalau gue sesekali dateng ke pasar, langsung aja pedagang heboh liat artis dateng. Kaga diing, gue disindir halus aja gitu. "Wah, Ibu sampai turun gunung nih." Preeetttt benerrr dah. >,<
Bersamaan dengan Allella Kitchen merambah dunia sosmed, begitupun gue yang semakin rajin sekrol-sekrol sosmed. Akibatnya banyak pikiran-pikiran gak penting masuk. Salah satunya, gue jadi korban drakor. Huahahahaha. Sebenarnya ini aib sih yang seharusnya gak perlu gue ceritakan di sini. Masalahnya, ini sudah jadi keseharian rasanya. Hidup tanpa drakor seperti makan tanpa nasi. Eh, gue makan tanpa nasi masih bisa, hidup tanpa air. Duh, lebay gak sih tuh gue. :D
Ini sudah gue prediksikan sebetulnya ketika gue mengambil langkah mencoba nonton drakor sekali. Tapi di satu sisi, drakor ini juga jadi penyelamatan tersendiri dari pengalihan pikiran untuk terus-terusan membuka sosmed. Ini mungkin satu-satunya berkah sekaligus musibah buat gue. Lewat drakor ini juga akhirnya gue belajar untuk mengontrol diri. Tepat di saat gue mulai keracunan, datanglah penyelamat. Babang Ji Chang Wook dan Babang Gong Yoo hadir di mimpi gue. Bukaaaaan deeeeeeh. Slepet juga niiih! :P :P
Ada beberapa hal yang datang sekaligus ketika gue sadar gue perlu keluar dari ketergantungan gue dengan menonton drakor. Hidup itu memang butuh penyeimbang. Gak bisa selamanya hanya mau senang, tapi menyingkirkan yang susah. Semacam Law of Attraction, ketika kita mengharapkan sesuatu, maka pintu akan dibukakan ke situ. Dalam hal apapun itu, pasti ini yang akan terjadi. Begitu juga ketika drakor ini sudah sedikit banyak menggangu keseharian, saatnya untuk mengganti pola hidup dan pikiran. Di saat itu pula mulailah bermunculan ide dan tawaran baru yang tidak terduga sebelumnya.
Hal pertama adalah terajaklah gue dalam satu rutinitas baru dengan teman-teman dari CM Jakarta. Kami berkumpul dalam satu grup kecil berisikan 12 orang, yang mana setiap harinya kami harus membaca satu buku, berjudul Positive Discipline lalu menarasikannya. Kami sendirilah yang menetapkan waktu yang pas bagi kami kapan harus mengumpulkan tugas narasi, menjalankan dua rutinitas harian yang selalu harus dikerjakan dan juga pastinya mendiskusikannya setiap dua minggu sekali. Sedikit banyak hal ini membantu sekali sih. Gak hanya urusan dalam mendisiplinkan anak yang sering kami curhatkan, tapi juga dalam urusan apapun yang membuat kami jatuh berkali-kali dalam lubang yang sama. Seperti support grup gitu ya ini.
Selain itu, rutinitas yang perlu dijalankan juga sedikit banyak membantu gue dalam mengatur keseharian sih. Gue jadi terbiasa untuk tidur lebih pagi, sebelumnya kan karena keracunan drakor bisa sampai jam setengah 2 masih melek nonton. Sekarang jam 10 aja udah teler, dan paginya harus bangun kurang dari jam 6. Ditambah lagi rutinitas baru gue adalah jalan pagi bersama dengan Bang Ali dan dilanjut dengan meditasi sendiri. Dari dua rutinitas ini malah jadi berujung banyak banget loh. Gue jadi bisa melihat betapa dalam 24 jam itu banyaaak sekali yang bisa gue lakukan. Tanpa gue sadari, gue sudah menyusun beberapa rutinitas yang gue harus lakukan setiap harinya. Hidup jadi lebih teratur. Tentunya ya semuanya itu juga harus dijalankan dalam porsi sedikit demi sedikit. Menjalankan rutinitas itu tidak bisa sekali tepuk lalu rutinitas itu terjalankan. Semua butuh proses, dan always start small jadi motto gue lah sekarang.
Bagaimana dengan menonton drakor? Masih tetap dijalankan, tapi tidak lagi jadi Bucin Drakor dong sekarang. Sudah bisa mengatur waktu dengan baik, semoga ini berlangsung terus yaaa.
Hal kedua adalah mendadak gue mendapat tawaran ngelesin online. Adalah seorang sahabat dari jaman kuliah yang selalu menjadi tempat cerita ketika dibutuhkan. Persahabatan kami ini unik, tidak setiap saat kami mengobrol. Kadang bisa setahun sekali ataupun lebih, tapi ketika masing-masing dari kami punya masalah, pasti kami selalu terhubung dan bisa dihubungi. Begitulah persahabatan ala kami ini, dan jujur gue suka banget dengan persahabatan kami.
Pernah satu kali gue tanya tentang les online, lalu ditanggapi antusias olehnya kalau gue perlu mencobanya. Sampai gue rundingan ini itu tentang plus minusnya ngelesin online. Eh satu hari justru mendadak dia menelpon dan menawarkan anaknya untuk dibantu les online oleh gue. Wah, satu kesempatan bagus ini. Sekali coba, gue ketagihan. Begitu gue posting di IG gue, seorang sahabat dari sekolah pun minta untuk dibantu anaknya. Kalau sebelumnya anaknya minta dilesin matematika, kali ini minta dibantu anaknya untuk lebih berani bicara dengan Bahasa Inggris. Kesempatan sekaligus tantangan buat gue ini secara gue dah lama gak banyak menggunakan Bahasa Inggris dalam keseharian.
Setelah sebulan berjalan, gue mendapat review dari sahabat sejak sekolah bahwa anaknya mendadak pede jaya mengajukan diri ketika diminta untuk bercerita dengan menggunakan Bahasa Inggris. Begitu aja sudah membuat gue bahagia gak ketulungan loh. Rasanya mau gue skrinsyut itu tulisan sahabat gue dan gue pejeng di IG, tapi jadinya syombong maksimal bener ya gue. Batal deh niat nyombongin dirinya. Gue takut kalau orang sombong nanti fantatnya gak lebar lagi...Hahahaha.
Kali ini gue sempat disenggol oleh sahabat gue dari Jogja. Tiba-tiba saja dia kepingin anaknya untuk dikasih kegiatan oleh Allella Kids, bisakah gue sanggupi tanyanya. Lucu ya, seringkali gue mendapati hubungan gue dan dirinya ini sering berpapasan seperti ini. Gue lagi terlintas apa, kok bisa dia juga lagi terlintas ide yang sama. Sering!
Dan, setelah uji coba praktek kegiatan sekali, mantaplah untuk menjalankan kegiatan kembali dengan bendera Allella Kids. Kegiatan yang dibuat pun bukan kegiatan yang spektakuler luar biasa menggetarkan jiwa gitu loh, kegiatan super duper sederhana dengan bahan materi yang mudah didapat. Justru itulah kegiatan biasa ini mendatangkan kebahagiaan tersendiri ketika menjalankannya. Setiap selesai bertemu dengan anak-anak ini seperti ada energi besar yang menyelimuti gue dan gue seneng luar biasa bisa berinteraksi lagi dengan mereka. Mendengar celoteh mereka walaupun hanya lewat online, bagi gue sudah bahagia banget. Begitu deh kalau berhubungan dengan anak-anak. Membawa sukacita tersendiri buat gue.
Begitulah yang terjadi di sepanjang tahun 2020, yang mungkin sebagian orang masih berusaha menerima atas apa yang terjadi dengan kesehariannya. Begitupun gue yang juga berjuang dengan keseharian gue. Begitu banyak hal yang saat ini gue melihatnya menjadi mujizat buat gue, berkat di setiap hal yang gue gumulkan. Dan satu lagi, gue melihatnya, tahun 2020 ini adalah pelajaran besar bagi kita semua. Ini bukan musibah, tahun ini adalah berkah. Berkah yang melimpah yang membuat kita belajar dari si Coronce. Di penghujung tahun ini, sanggupkah kita mengucapkan terima kasih akan hadirnya Covid 19 bernama Corona ini?
Sunday, September 27, 2020
Beberapa waktu lalu, seorang kawan yang gandrung juga dengan Drama Korea (drakor) menyodorkan satu judul yang menurutnya bagus dan dijamin gue pasti suka. Awalnya gue kurang tertarik dengan anjuran si kawan ini yang mengajukan “Dear My Friends” sebagai drakor yang wajib gue tonton. Sampai akhirnya di obrolan kami yang kesekian kalinya, dia menanyakan , “Lo dah nonton blom drakor yang gue bilang waktu itu?!” Jreeeeng!
Sebetulnya apa sih yang menarik dari kawanan nenek-nenek
yang sudah berteman sejak usia sekolah ini sampai jadi drakor yang menurut si
kawan ini wajib gue tonton? Akhirnya gue pun penasaran dan gue sempatkan waktu
beberapa hari lalu untuk menontonnya.
Drakor satu ini berkisah tentang 5 nenek yang sudah
bersahabat sejak usia sekolah. Mereka adalah Hee Ja, Joong A, Nan Hee, Young
Won dan Choong Nam yang berumur kisaran 70 tahunan. Ini adalah kisah mereka
berlima yang berjalan mengarungi waktu yang sudah tidak muda lagi dengan segala
permasalahan hidupnya dan berharap kisah mereka ini dituliskan dalam satu buku
oleh anaknya Nan Hee yang bernama Park Wan. Dia memang seorang penulis dan
ibunya kepingin sekali kisah hidup teman-temannya ini bisa jadi memori untuk
mereka sebelum mereka meninggalkan dunia ini. Tentunya tidak mudah untuk si ibu
membujuk anaknya yang merasa akan bosan sekali harus mengintil kemana para
nenek ini berkegiatan. Lucunya, tanpa ia sadari ia sudah masuk ke dalam
permasalahan hidup mereka dan selalu terkait dalam setiap kisahnya mereka.
Cerita di dalam drakor ini memang berkisah tentang
persahabatan mereka berlima, tapi porsi lebih banyak berkisah tentang kehidupan
Nan Hee dan keluarga, Joong A dan keluarga serta Hee Ja dan keluarga. Sisanya
diikut sertakan tapi tidak begitu banyak porsinya. Seperti Young Won yang
adalah seorang aktris yang mengidap kanker payudara stadium awal. Ia adalah
teman yang baik yang selalu menolong kawan-kawannya ketika mereka
membutuhkannya, meskipun di awal ia diceritakan mengetahui hubungan gelap
antara suami Nan Hee dengan temannya tapi tidak memberitahukan Nan Hee sebagai
sahabatnya. Mereka bermusuhan lama tetapi akhirnya hubungan mereka membaik di cerita
ini.
Peran pembantu lainnya, Choong Nam adalah nenek yang
hidupnya melajang sampai tua dan sibuk menghidupi saudara, keponakan dan cucu
yang membutuhkan uangnya. Ia ceritanya seorang yang kaya dan periang, suka
sekali melucu nenek ini dengan suara yang serak-serak basah. “Di antara kalian
yang paling menderita sakit itu aku. Tahu kenapa? Karena aku yang paling
diberikan kesehatan yang baik dan umur yang panjang.” Lucunya lagi, si nenek satu ini masih sekolah
dong. Dia belum lulus SMA dan hobinya nyontek PR temennya karena ia terlalu
sibuk mengurusi teman-teman tuanya. Ampun deh, kocak banget!
Nan Hee adalah seorang ibu tunggal yang diselingkuhi oleh
suaminya 30 tahun lalu. Sejak itu ia tidak pernah menikah lagi dan memilih
hidup berdua dengan anaknya, Park Wan, dari hasil usaha restoran
kecil-kecilannya. Nan Hee juga masih memiliki keluarga lengkap. Ada ibu yang
sudah berumur hampir 90 tahun dan seorang ayah yang usianya tentu gak berbeda
jauh dari Ibu. Ini lucu deh, si Ayah ini di usia tuanya selalu mengintil kemana
ibunya berjalan, berbalik dengan ketika mereka masih muda dimana si Ibu yang
dulunya selalu mengikuti Ayah kemanapun karena si Ayah hobi selingkuh. Justru
di usia tuanya, si Ayah jadi sibuk mengikuti kemanapun Ibu berjalan, matanya
pun tidak pernah lepas dari si Ibu sambil terus membawa tabung oksigen yang
terhubung dengan hidungnya dan juga gantungan huruf-huruf Hangul untuk
dipelajari si Ayah. Ayahnya dikisahkan tidak bisa membaca sampai usia senja itu
tapi masih punya semangat untuk belajar. Jadi suka ada adegan kocak-kocak berantem standar
ala kakek nenek gitu.
Nan Hee juga memiliki seorang adik yang umurnya jauh sekali
dengannya, malah bisa dibilang hampir seumur anaknya yang sudah memasuki umur
40 tahun. Adiknya ini memiliki satu kaki yang lumpuh dan harus menggunakan
tongkat untuk membantunya berjalan. Nan Hee ini merasa memiliki tanggung jawab
berat, ia merasa harus menghidupi keluarganya. Padahal sebetulnya keluarga
mereka mempunyai lahan perkebunan yang luas. Eh iya, yang bikin tercengang, si
Ibu yang berusia 90 tahunan itu kalau mau berpergian kemana-mana naik ATV dong.
Keren banget yak!! :D
Hubungan Nan Hee dan anaknya, Park Wan, sering banget
berantem sebetulnya. Mereka hidup terpisah dan saling mengunjungi satu sama
lainnya. Biasanya sih lebih banyak Nan Hee yang suka mengunjungi anaknya sambil
membawakan stok-stok makanan untuk anaknya. Si Ibu yang sudah tahu kode
password nomor pintu si anak suka main seenaknya aja datang tanpa berkabar dulu
ke Park Wan. Sedangkan Park Wan merasa bête karena merasa tidak memiliki
privasi, apalagi ia takut ketahuan ibunya kalau ia merokok. Ia takut ibunya
melihat bungkus-bungkus rokok di tong sampah rumahnya. Beberapa kali ia harus
mengganti kode password rumahnya dan ini malah bikin si Ibu jadi bête juga,
ujung-ujungnya berantem. Ya gitu deh ya hubungan ibu dan anak perempuannya.
Kalau dekat bau ,menjauh justru wangi. Ketika sudah cukup lama menjauh, begitu ketemu
justru berantem. Adegan-adegan berantem ibu dan anak ini agak mirip-mirip
dengan kisah gue juga dengan nyokap. Hahahah.
Park Wan sendiri adalah seorang penulis yang bekerja di
kantor milik mantan pacar pertamanya yang masih cinta sama Park Wan tapi si
cowok itu sebetulnya sudah berkeluarga. Ada sempat salah paham si Ibu karena
merasa anaknya ini sudah merusak rumah tangga orang. Wah habis deh Park Wan
digebukin ibunya. Ibunya tidak mau kalau anaknya berakhir menjadi pelakor
seperti yang terjadi dengan kisah hidup ibunya yang diselingkuhi. Paham banget
ini rasanya jadi si ibu.
Park Wan memiliki seorang mantan pacar yang gantengnya
amit-amit, duh, gue demen banget sama (satu-satunya yang ganteng dan muda di
sini) cowo ini. Sayangnya si mantan pacar ini, Yeon Ha, lumpuh kedua kakinya
dan terpaksa harus memakai kursi roda. Yeon Ha tinggal di Slovenia, tempat
mereka pernah menjalin kasih dan terpaksa Park Wan meninggalkan Yeon Ha karena
lumpuh. Ini agak egois ya dilihatnya. Kenapa Park Wan dengan tega meninggalkan
Yeon Ha setelah lumpuh?
Ajaran Ibu itu begitu kuat dan mengakar hebat di benak anak
ya. Nan Hee selalu bilang ke Park Wan untuk tidak menikah dengan seorang pria
lumpuh seperti pamannya Park Wan karena menyusahkan. Jadi begitu Yeon Ha
lumpuh, tanpa pikir panjang Park Wan pun meninggalkan Yeon Ha dan kembali ke Korea.
Hubungan cinta ini jadinya ribet sendiri. Mereka berdua masih saling sayang,
tapi karena ajaran ibu untuk tidak menikahi seorang pria lumpuh terus
terngiang-ngiang di Park Wan alhasil membuat mereka berdua jadi (kadang)saling
menyiksa satu sama lain dengan kata-kata. Nyesek sih ini!
Karakter nenek kedua adalah Hee Ja. Ia adalah nenek yang
melankolis dan memiliki tanda-tanda demensia di awal cerita. Suaminya meninggal
di dalam lemari baju dalam keadaan tertidur, rumornyaa karena pintunya ditahan
dengan sendok oleh Hee Ja sehingga suaminya tidak bisa keluar dari lemari baju
dan mati lemas kurang oksigen. Jadilah ia hidup menjanda dan tidak ada anaknya
yang mau menampungnya. Ia pun hidup sendirian di rumahnya yang cukup besar.
Hanya satu anaknya yang mau mengurusnya, Bong Yi, tapi ini pun tidak tinggal
serumah dengan Hee Ja.
Ada satu waktu ketika Hee Ja mau mengganti lampu bohlam yang
mati. Pelan-pelan ia naik ke atas kursi, membuka lampu bohlam yang mati lalu
turun dari kursi. Ia mengambil lampu bohlam yang baru dan pasang sarung tangan
supaya tidak kesetrum waktu memasang bohlam yang baru. Waktu nonton ini gue
tahan nafas takut terjadi sesuatu dalam adegannya, dan ternyata doski berhasil
menggantinya sampai kembali turun ke lantai dong. Eh, pas jalan mundur sedikit
tiba-tiba kakinya terkilir dan tanpa disangka lampu bohlam yang ia pasang juga pecah.
Haiya, bisaan aja ini adegannya dibikin kaget pemirsah.
Karena tangan dan kakinya berdarah, Hee Ja mencoba menelpon
anaknya, Bong Yi, untuk datang ke rumah membantunya. Bong Yi marah karena ia
lagi sibuk di bengkel dan dari semalam belum tidur, ia pun minta ibunya
menelpon ambulans saja. Mungkin karena ada rasa iba atau sayang dengan ibunya,
meski dia menolak di awal tapi tiba-tiba dia sudah datang ke rumah ibunya dan
menolong ibunya yang tidak berdaya di lantai dengan darah dimana-mana. Setelah beres,
Bong Yi tidur di lantai dan disusul oleh ibunya yang ikut tiduran di lantai
sambil dipeluk Bong Yi. Bong Yi pun bilang, “Dulu sewaktu aku kecil, Ibu suka
memelukku sampai aku tertidur di sini.” Whoaaaah, gue mewek dong. (pas nulis
ini pun mata gue ngembeng :P)
Dalam kisahnya ini, ada seorang kakek yang merupakan cinta
pertamanya Hee Ja yang kembali hadir. Ia seorang pengacara dan masih segar
bugar banget karena hidupnya sehat. Si Kakek ini, Seong Jae, suka mengikuti Hee
Ja kemana-mana. Awalnya dari gereja, setiap Hee Ja ke gereja pasti ada si Kakek
ini. Lalu lama-lama mulai PDKT lagi sampai sempet ngajakin jalan-jalan pakai
strategi nginep dan kamarnya hanya bisa satu yang ditempati. Bisaan banget
emang nih kakek. Lucunya si Kakek ini
dicerita sini adalah playboy. Ampun dijeeee, udah tuwir tapi masih suka tebar
pesona ke dua nenek, Hee Ja dan Choong Nam. Ini banyak adegan lucu juga di
percintaan segitiga mereka. Bikin ngakak. Yang lucunya tentunya si nenek Choong
Nam dengan suara serak-serak basahnya dan ekspresi muka yang datar aja.
Berpindah ke karakter nenek ketiga di cerita ini, Joong A.
Nenek satu ini menikah dengan seorang suami yang ampun pelitnya gak ketulungan.
Nonton TV dengan lampu menyala aja diomelin karena dianggap pemborosan. Belum
lagi suaminya ini, Seok Gyun, hobinya menyuruh-nyuruh layaknya bos dengan
bawahannya dan semua serba dilayani. Sampai satu ketika Joong A gak tahan lagi
dan milih bercerai dengan suaminya. Cerai tanpa surat, alias kabur aja gitu dan
tinggal di satu rumah kecil. Suaminya tadinya merasa masih di atas angin, masih
berpikir kalau istrinya tidak akan mungkin meninggalkan dia sendirian. Suaminya
masih suka marah-marah dan menelpon istrinya untuk pulang ataupun minta anak
dan teman-teman Joong A datang untuk masak dan beberes rumah. Teman-temannya
mau ya bantuin, kalau gue sih ogah! Hahaha.
Akhirnya, si kakek ini tersadar akan sikapnya. Dia
pelan-pelan belajar untuk masak nasi, masak untuk dirinya, cuci piring sampai
cuci baju sendiri. Di kulkasnya ada kertas yang tulisannya “Menjadi Suami yang
Baik”, yang sengaja diletakkan di situ oleh Choong Nam. Nenek satu ini idola
gue banget deh. :D Akhirnya si kakek sifatnya dan sikapnya berubah, jadi lebih
mandiri dan jadi lebih perhatian ke istrinya seperti kertas yang ditempel itu, meskipun
kadang masih ada juga kelakuan ajaibnya. Ya namanya udah menua, tentu gak segampang
membalikkan telapak tangan ya untuk berubah.
Kisah dari Joong A lainnya adalah ketika ia mengetahui anaknya
yang pertama menjadi korban KDRT suaminya yang merupakan seorang profesor di
universitas terkenal. Joong A merasa nyesek melihat anaknya yang mukanya
biru-biru akibat digebukin dan tangan yang diperban karena patah. Padahal bisa
dibilang Joong A ini rutin mengunjungi rumah anaknya dan selalu melihat si anak
ini tidur di kasur sambil membelakangi Joong A, sampai-sampai Joong A sebel dan
bilang dia anak pemalas karena keenakan sebagai istri hanya tiduran terus.
Padahal, si anak lagi menutupi muka dan badannya yang lebam-lebam karena kelakukan
suaminya. Ia takut dengan ancaman suaminya kalau sampai ibunya tahu.
Gue sedih banget dengan adegan ini. Gue seperti larut dengan
perasaan ibu yang akhirnya tahu kalau anaknya digebukin orang sampai patah
tulang. Menyayat hati banget. Syukurnya si anak ini tidak menaruh dendam dengan
ibunya, Joong A, yang kadang suka kasar secara verbal mengomeli si anak yang
dianggap manja ataupun tidak mengangkat telepon ketika si anak minta bantuan
ibunya. Huhuhu. Untungnya si anak tersadar untuk kabur dari rumahnya dan pergi
jauh sampai ke Amerika untuk kehidupan lebih baik.
Diantara kelima kawan ini, Joong A dan Hee Ja adalah kawan
paling akrab. Mereka saling sayang satu sama lain dan saling support. Pernah di
satu episode, karena Joong A sebel dengan suaminya, ia kabur tengah malam
dengan Hee Ja dengan mengendarai mobil suaminya. Dua nenek ini berpergian
bersama mengunjungi Ibu dari Joong A yang sudah berada di panti jompo yang jauh
dari perkotaan. Dalam perjalanan tanpa disangka, Joong A menabrak seseorang.
Hee Ja yang berada di kursi penumpang ikut merasa bersalah karena ia mengatakan
rem berada di sebelah kanan sehingga mobil bukannya berhenti malah melaju lebih
cepat. Keduanya ketakutan dan meminta Park Wan (salah satunya adegan ini yang
ia turut dibawa-bawa oleh dua nenek ini untuk menolong mereka) untuk menjemput
mereka karena Joong A merasa tidak mampu menyetir pulang. Dua nenek ini
ketakutan setengah mati berhari-hari. Lalu ada satu momen dimana mereka
akhirnya tersadar bahwa mereka harus menyerahkan diri ke polisi untuk perbuatan
mereka. Ya ampun, di sini gue melihat betapa sahabat tuh bisa sampai segitunya
saling sayang dan saling bergandengan tangan untuk mengakui perbuatan mereka.
Syukurnya bukan orang yang mereka tabrak malam itu, melainkan rusa yang
tiba-tiba lewat. Ini aja udah bikin polisi shock begitu dua nenek ini ngaku
nabrak orang. Hihihi.
Tentu adegan puncaknya lebih banyak mengoyak hati dan air
mata. Hee Ja diceritakan mengalami demensia akut. Ia mendadak hilang setelah ia
pulang dari gereja. Sebelumnya ia sering keluar pagi-pagi buta, sekitar jam 2
pagi, untuk berjalan ke gereja dan berdoa di sana sambil menangis, lalu pulang
ke rumah dan tidur. Begitu pagi, ia sama sekali tidak tersadar apa yang dia
lakukan setiap pagi-pagi buta itu. Dan ketika demensianya semakin parah, ia
sudah berjalan jauh menuju rumah pertama dengan suaminya yang terletak di satu
desa yang jauh. Ia berjalan berhari-hari
tanpa makan, tanpa alas kaki dan dengan bantal di belakang seperti sedang
menggendong anak. Ternyata diingatannya saat itu, ia sedang membawa anak sulungnya
yang sudah meninggal akibat sakit parah.
Semua sahabatnya mencarinya, bahkan si pengacara pun meminta
kenalan polisi yang bisa membantunya lewat CCTV di jalan. Sampai akhirnya
mereka berhasil menemukan Hee Ja yang berjalan di bawah rindangnya pepohonan
menuju rumah pertamanya dengan sang suaminya dulu. Begitu ditemukan, reaksinya
adalah marah dengan Joong A karena tidak mau membantunya ke rumah sakit sampai
anaknya meninggal di gendongan Hee Ja. Sampai-sampai Hee Ja menolak melihat
wajah Joong A berhari-hari, tapi Joong A dengan sabarnya menunggu sampai
akhirnya Hee Ja tersadar sendiri alias kembali ke pikiran sadarnya saat ini dan
malu dengan perbuatannya. Tetap dong dimaafkan oleh Joong A, si sahabat
karibnya. Waah, ini syedih gak ketulungan nontonnya.
Di tempat yang berbeda, Nan Hee yang sebetulnya mau
mengantar ibunya berobat ke rumah sakit justru mendapati kalau ia sudah sampai
di stadium akhir kanker hati. Park Wan yang akhirnya mengetahui hal ini
langsung menemani hari-hari ibunya. Meskipun kadang ibu anak ini bertengkar,
tetap saja ikatan batin itu kuat ya. Rasa sayang diantaranya pun tidak akan
bisa bohong, meskipun Park Wan dan Nan Hee bukan orang yang terbuka satu sama
lainnya. Jelas terlihat dari gesture, mereka saling menyayangi. Ibunya tentu
takut setengah mati, begitupun dengan Park Wan. Ah, ini pun udah sampai mewek
berkali-kali yang ditanggapi dengan gelengan kepala dari si Boy. :D
Sungguh drakor yang menurut gue layak untuk ditonton dan
dijadikan refleksi hidup. Saat ini gue berterima kasih sekali dengan kawan gue
yang satu itu yang memaksa gue untuk menonton ini. Susah untuk disebutkan
satu-satu moral apa yang terkandung di dalam tontonan ini, pastinya semua
realita kehidupan jelas digambarkan dalam drakor satu ini. Tua itu pasti,
tinggal bagaimana kita berbaik hati menerima kenyataan hidup yang akan
disajikan oleh Tuhan Maha Pengasih untuk kita di masa tua nanti.
Saturday, September 5, 2020
Wah, udah pasti deh banyak yang tunjuk tangan, eh gak
keliatan lah ya kalau tunjuk tangan. Mungkin reaksi kalian pasti
manggut-manggut sambil senyum-senyum sendiri. Ya, sama dong dengan aku!
Belajar Sejarah itu jadi momok tersendiri jaman sekolah
dulu, selain belajar Matematika, Fisika, Kimia, PPKN, Bahasa Indonesia, Biologi
(laah, semua pelajaran ini mah ya. :P). Benar atau benar? Rasanya hafalan
paling menakutkan itu ya pelajaran Sejarah karena hafalnya harus benar, gak
boleh meleset. Kebayang kan kalau nama orang salah atau tahun perang salah,
kelar sudah nilai ujian kita. Pulang-pulang tinggal manyun kasih liat kertas
ulangan ke orang tua. Bagus kalau hanya dipelototin aja, tapi kalau kemoceng
yang mampir di betis, bah!
Pasti semua setuju ya kalau belajar Sejarah di sekolah itu
membosankan (banget). Rata-rata semua buku pelajaran Sejarah berkutat dengan
tanggal, tahun, nama tempat, nama orang yang semuanya itu menjadi beban tersendiri
bagi kita untuk menghafalnya. Apalagi, setelah selesai ujian semua hafalan itu
seperti menguap, yang sampai sekarang entah tersimpan di bagian sisi mana dari
otak kita. Tidak heran kalau kita menjadi malas mengenal lebih jauh tentang
sejarah. Jangankan sejarah dunia, sejarah negara kita saja pasti malas banget
untuk dipelajarinya.
Menurut Charlotte Mason, sejarah itu merupakan bagian vital
dari pendidikan. Hal dimana semua orang rasanya wajib dan mutlak perlu tahu
tentang sesuatu yang terjadi di masa lampau supaya bisa memandang segala
sesuatunya lebih adil di saat ini. Bagaimana bisa begitu?
Generasi muda saat ini sedikit banyak memilih untuk apatis
akan sejarah. Mereka hanya fokus dengan hidup mereka saat ini saja dan tidak
cukup perduli dengan sejarah yang terjadi di masa lalu. Rasa sentimentil pada
situs-situs kuno ataupun tempat-tempat bersejarah dimana peristiwa besar
terjadi pun tidak banyak menggugah pemikiran mereka akan arti pentingnya
sejarah. Padahal, sikap patriotisme dalam pribadi seseorang itu sangat
diperlukan. Ditambah lagi, generasi tua yang tidak memiliki cukup minat untuk
menceritakan kembali sejarah di masa lampau, sehingga semakin lunturlah rasa
patriotisme di generasi muda saat ini. Patriotisme yang rasional dan bijak
sangat tergantung pada seseorang, apakah ia banyak membaca sejarah atau tidak.
Pada akhirnya, ini kembali ke pendidikan dasar, yaitu
sekolah. Bagaimana sekolah menanggapi pelajaran Sejarah di setiap jenjang
pendidikan? Ya, seperti yang kita ketahui juga, pelajaran Sejarah di sekolah
pun sama sekali tidak menarik. Tahun berulang, begitupun dengan pelajaran
Sejarah yang selalu dipelajari dengan gaya yang sama dan dengan buku yang
kering, hanya berisikan deretan fakta-fakta yang membuat anak didik menjadi
bosan untuk mempelajarinya.
Sebenarnya, anak-anak itu sangat tertarik dengan sejarah.
Mereka akan bisa memperhatikan dengan konsentrasi penuh kalau saja materi yang
diberikan kepada mereka adalah materi belajar yang berkualitas dengan cita rasa
sastrawi daripada buku-buku kering yang berisikan deretan fakta untuk dihafal
oleh anak-anak. Metode dengan prinsip sekali baca lalu meminta anak menarasikan
kembali apa yang sudah dibaca oleh guru juga jauh lebih efektif. Memberikan
penilaian setelah ujian tertulis justru menjadi beban tersendiri bagi anak.
Tugas guru (orang tua) sebagai fasilitator juga memiliki
peran yang sangat penting. Menjadi guru yang berpengetahuan dan memiliki
simpati mendalam terhadap pengetahuan itu tersendiri adalah tugas yang perlu
diemban oleh sang guru dalam menumbuhkan minat anak dalam belajar. Guru tidak
perlu banyak menjelaskan dan juga tidak perlu banyak menginterupsi ketika anak
bernarasi. Ya pasti pada awalnya anak
akan kewalahan ketika diminta untuk bernarasi, tapi lambat laun anak-anak akan
menemukan iramanya dan fasih dalam bernarasi. Tanpa disadari, anak-anak akan
bisa bernarasi dengan panjang lebar. Guru pun tidak diminta memberikan komentar
akan narasi anak, justru guru perlu sangat hati-hati dalam mengeluarkan
pendapat.
Kenapa bernarasi, bukan menghafal?
Bernarasi justru membuat anak lebih memahami dan tidak
membuat anak butuh untuk remidi, mengulang kembali materi yang sudah
dipelajari. Anak-anak pun jadi lebih bisa memperhatikan secara utuh dan penuh
konsentrasi di mana keduanya itu adalah naluri alamiah dan tidak butuh dipaksakan.
Anak-anak jadi belajar untuk menyadari pikirannya sendiri supaya tidak
mengembara melainkan fokus dengan materi yang diberikan. Membaca atau
mendengarkan teks yang dibacakan dengan penuh perhatian justru membuat akal
budi anak lebih bekerja.
“Bersandar pada memori akal budi, kita memvisualisasikan adegan, menerima argumen, menikmati susunan kalimat, dan membingkai semuanya dalam bahasa kita sendiri, lalu perikop atau bab tersebut kita serap dan menjadi bagian dari diri kita tak ubahnya pencernaan kita menyerap hidang yang kita lahap semalam; ini malah lebih dari makanan, karena makanan kemarin sudah nyaris tak berbekas lagi besok, tapi bacaan yang kita konsumsi dan hidupkan secara jernih, detil, dan akurat, kita narasikan langsung sejak pertama kali menyimaknya, bisa berbekas selama berbulan-bulan. Semua kuasa akalbudi dilibatkan dalam menangani makanan intelektual itu. Jadi kita sebaiknya tidak usah mendikte anak dengan rangkaian pertanyaan komprehensif, membuatkan ilustrasi-ilustrasi cantik untuk membantunya berimajinasi, mengeksplisitkan pesan moral untuk menggugah nuraninya. Semua itu akan terjadi sendirinya saat anak mencerna bacaan.” - Vol 6 pg 174
Pekerjaan setelahnya adalah mencari buku sejarah dengan cita
rasa sastrawi. Bisa dibilang tidak semua negara berhasil menceritakan
sejarahnya dalam bentuk sastrawi ataupun naratif yang enak dibaca oleh
anak-anak. Biasanya buku sejarah diceritakan dalam bentuk deretan fakta dengan
segitu banyaknya tokoh cerita dan tahun-tahun yang tentunya menjadi sangat
membosankan untuk dibaca. Ini memang semacam mencari jarum dalam tumpukan
jerami. Ada, tapi perlu usaha keras dalam mencarinya. Memang butuh ekstra
semangat.
Melihat dari pengalaman pribadi, bertahun-tahun tidak pernah
mengerti tentang sejarah negeri sendiri ataupun negara lain, kami mencoba mengaplikasikan
metode ini terhadap pendidikan rumah yang kami jalani beberapa tahun terakhir
ini. Membacakannya buku, hanya sekali baca, lalu memintanya menarasikan kembali
ternyata menjadi sangat efektif untuk Fritz, anak kami. Berusaha untuk tetap
fokus terhadap bacaan yang sedang dibacakan juga menjadi bagian yang sangat
penting untuk melatih daya konsentrasinya. Selain itu, bersama-sama kami
membuat catatan lini masa (time line/ Book of Century) setiap kali kami
menemukan tanggal atau tahun bersejarah.
Mungkin ini terkesan terlalu santai dalam mempelajari
sejarah. Tidak ada penghafalan nama, tahun, perisitiwa dan juga tidak ada ujian
tertulis yang perlu dinilai, hanya perlu konsentrasi dan bernarasi. Nyatanya,
setiap cerita yang diceritakan kembali justru menjadi kepingan puzzle yang
tersusun rapi di dalam pikirannya yang sewaktu-waktu dapat direlasikan antara
sejarah bangsa satu dengan bangsa lainnya. Seperti ketika ia mengetahui
kematian Richard Wagner, salah satu komposer, terjadi di tahun yang sama dengan
meletusnya gunung Krakatau di tahun 1883. Menarik ya!
Ini akan menjadi hal yang luar biasa ketika seseorang mempunyai gambaran utuh sejarah sebagai latar belakang pemikirannya. Tidak perlu harus bisa menyebutkan tempat dan tanggal peristiwanya dengan presisi setiap sejarah yang terjadi. Setidaknya kita tahu bahwa di setiap isu selalu ada banyak sekali pertimbangan dari pihak terkait sehingga ini juga bisa jadi pertimbangan bagi generasi muda agar terselamatkan dari opini yang dangkal dan aksi yang terburu-buru. Akalbudi yang sigap dan berwawasan akan menuntun pada sikap santun dan hidup bersahaja.
"Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang." - Soekarno
Monday, July 27, 2020
Sekelar menonton drama Korea berjudul Reply 1988 mendadak banyak perasaan campur aduk bergelut di hati. Drama yang berbalut komedi dengan alur tema keluarga dan persahabatan di era 80an akhir ini mampu sekali membuat gue terbawa perasaan yang mendalam dan yang paling dirasa adalah rasa kangen dengan kehidupan masa kecil gue. Benar-benar sukses membangkitkan nostalgia.
Alkisah cerita ini berawal dari 5 anak kecil yang tinggal bertetangga
satu dengan yang lainnya dalam satu gang yang bernama Ssangmundong. Dikarenakan
mereka sering bermain bersama, otomatis persahabatan pun terjalin diantara
mereka berlima. Mulai dari kecil sampai akhirnya perjalanan drakor ini dimulai
ketika mereka sudah masuk di usia 18 tahun atau setara kelas 2 SMA (sepertinya
umur mereka boros yee, umur segitu belum kelar sekolah :D). Adalah Sung
Deok-sun, Sung Sun-woo, Kim Jung-hwan, Ryu Dong-ryong dan Choi Taek nama-nama 5
sekawan yang tinggal bersama dengan keluarga mereka masing-masing di gang
tersebut.
Mereka sering sekali berkumpul bersama di rumahnya Choi Taek
atau biasa suka dipanggil dengan sebutan Taek-ki. Ia merupakan pendatang
terakhir di gang itu dan ibunya sudah meninggal sejak ia kecil. Ia pemain Baduk
yang sudah go international dan ia memutuskan tidak sekolah karena profesinya
ini. Karena ia sering kali bertanding di luar negeri, momen kepulangan dia
sekelar dari bertanding pasti ditunggu oleh teman-temannya. Dering telepon berantai
di antara rumah mereka pasti berbunyi saling memberi kabar dan dalam sekejab
mereka sudah berada di kamar Taek-ki. Kegiatan mereka selama kumpul ini, selain
menanyakan menang atau kalah dalam pertandingannya, mereka biasanya nonton film
sambil nyemil atau makan ramen kuah dalam satu panci yang dimakan rame-rame dan
diakhiri dengan menginap bersama.
Momen-momen kocak banyak terjadi selama mereka kumpul bareng
ini. Ada satu momen dimana Taek-ki kalah bertanding. Dimana semua orang
berusaha menghiburnya dengan tidak menanyakan apapun tentang kekalahannya
ataupun berusaha memberikan ini itu supaya dia tidak larut dalam kekalahannya.
Eh begitu teman-temannya ini masuk ke dalam kamarnya dan mendapati Taek-ki
sedang duduk termenung di depan papan Baduknya, gak ada kata manis ataupun
menghibur, yang ada justru dibego-begoin (dikatain bego) kenapa harus sedih
gara-gara kalah gitu doang. Namanya juga permainan pasti ada menang ada kalah,
ya diterima aja. Lo mau teriak dan mengumpat sialan, bangsat, kampret juga gak
papa kali biar hati lo lega, ya habis itu berjuang lagi. Kira-kira begitulah
mereka ngomong, dan memang itu yang diperlukan sama Taek-ki. Begitu dia
mengumpat, dia merasa lega dan justru malah bisa ketawa lepas. Apalagi
mengumpatnya itu pake diajarin dulu dan dikata-katain dulu, kurang kasar,
kurang kenceng, kurang..kurang. Sampai akhirnya dia lega setelah teriak-teriak
kaya gitu. Nah, habis itu pasti ada aja kelakuan dari dua temen ajaibnya, yaitu
si Deok-sun dan Dong-ryong, yang biasanya langsung mulai dengan joget-joget gak
jelas ala 80an gitu, yang pasti sontak ini bikin ketiga temen-temennya ngakak
gak berenti melihat mereka. Atau kebiasaan kentut sebelum tidur dari si
Dong-ryong yang bikin emosi jiwa dan biasanya berakhir digebukin rame-rame.
Bau, man!
Persahabatan ini yang mengingatkan gue dengan teman-teman di
masa kecil gue. Cerita gue gak beda jauh dari kisah di Reply 1988 ini. Gue
besar di satu komplek dan bersekolah dari SD sampai lulus SMA di sekolah
komplek juga. Otomatis teman-teman gue selama 12 tahun ya 4L, Lo Lagi Lo Lagi,
dengan pertambahan teman hanya sedikit sekali di setiap jenjang pendidikan.
Karena inilah kami cukup mengenal satu sama lain. Kami saling tahu dimana rumah
si itu, si ini, si ana, si anu berikut juga kenal dengan orang tuanya
masing-masing. Ketika telepon sudah masuk di komplek kami, kami pun saling
menghafal nomor telepon dalam sekali pencet untuk sekadar tanya PR, tanya lo
ada di rumah apa gak, ataupun ngobrol di telepon yang bikin emak babeh gue suka
teriak karena tagihan telepon bengkak. Tak jarang juga kami saling bermain
berjam-jam di rumah teman, entah sekadar mengobrol, nonton film, sampai makan
siang ataupun nyemil sore di sana. Sering juga kegiatan kami setiap sore naik
sepeda bersama keliling komplek, pernah juga ada masa main roller blade bareng,
berenang bersama di kolam renang komplek atau bahkan jalan pagi bersama di kala
libur sekolah yang berujung dengan makan bakmi.
Bertambahnya umur, persahabatan kelima kawan dari Ssangmundong
ini mulai menunjukkan saling suka satu sama lain. Ada kisah cinta segitiga
diantara mereka berlima, dimana Deok-sun, si satu-satunya perempuan di geng
mereka yang mempunyai kelakuan ajaib yang rasanya urat malunya udah putus dari
kapan tau itu, merasa GR dengan Sun-woo. Deok-sun merasa Sun-woo naksir dia.
Setiap kali Sun-woo mampir ke rumah, kelakuan si Deok-sun mirip cacing
kepanasan. Pernah dia kabur masuk kamar, begitu keluar kamar dia sudah
berdandan menor hanya karena Sun-woo mampir ke rumahnya untuk minjem apa gitu. Gilingan
memang Deok-sun, bikin ngakak abis. Eh ternyata seringnya Sun-woo mampir itu
hanya untuk melihat kakaknya Deok-sun, Kak Bo-ra lewat minjem ini itu dari
Deok-sun. Hancur sudah hatinya Deok-sun, sampai mewek karena merasa ditolak dan
kesel kenapa Sun-woo naksir kakaknya.
Di lain sisi, ternyata ada Jung-hwan dan Choi Taek yang
diam-diam naksir Deok-sun yang tentunya Deok-sun ini sama sekali gak sadar
dong. Jung-hwan si cowok cool yang irit bicara ini sebetulnya sudah beberapa
kali kasih sinyal ke Deok-sun, semisal jagain Deok-sun ketika di bus lagi padat
banget supaya Deok-sun gak terjungkal kanan kiri depan belakang, belum lagi
Jung-hwan yang diam-diam nungguin Deok-sun sepulang sekolah sambil bawa payung
karena sedang hujan, dan berbagai macam sweet small things PDKT ala-ala gitu. Menyenangkan
sih lihat momen-momen PDKTnya si Jung-hwan ini. Hihihi.
Beda lagi dengan Choi Taek. Taek-ki ini bisa dibilang hanya
pintar main Baduk aja, untuk hal lain bisa dibilang terbelakang banget. Makan
pakai sumpit aja kesusahan, sampai-sampai Dong-ryong suka gemes liat Taek-ki
gak bisa-bisa ambil daging atau mie dengan sumpit. Biasanya Deok-sun langsung
ambil garpu atau sendok begitu melihat situasi ini. Tidak bisa ikat tali
sepatu. Pernah sampai ditolong oleh Jung-hwan dan Taek-ki memilih tidak membuka-buka
lagi tali sepatu yang dibantu Jung-hwan itu. Belum lagi pernah diomelin
Deok-sun habis-habisan karena kepolosannya Taek-ki yang minjemin duit ke siapa
aja yang minta.
Dasar emang cinta itu buta ya. Meskipun Taek-ki mempunyai IQ
139, tapi dia sering banget dikerjain oleh Deok-sun yang hanya memiliki IQ 99.
Ini kocak deh. Ada satu momen dimana mereka ditinggalin di pantai oleh
teman-temannya. Deok-sun meminta dompet Taek-ki dan dilihatnya Taek-ki membawa
uang yang banyak, lalu Deok-sun bilang akan mentraktir Taek-ki dan Taek-ki
iya-iya aja. Duit duitnya siapa cobaaa. Dodol emang. Selama nunggu ini,
Deok-sun membeli snack ringan semacam Cheetos dan menawarkan Taek-ki. Ketika
Taek-ki membuka mulutnya siap disuapin Deok-sun, bukan snack yang masuk mulut
melainkan jari Deok-sun. Berkali-kali dikerjain kaya gini tapi gak
pinter-pinter juga si Taek-ki, dia tetep mangap dan berakhir dengan jari
Deok-sun yang masuk. Haizz, ini ngakak abis.
Mungkin karena care-nya Deok-sun ke Taek-ki yang bikin Taek-ki
jadi suka dengan Deok-sun ya. Momen banget ketika Deok-sun harus nemenin
Taek-ki bertanding ke Cina. Deok-sun terkaget-kaget ketika tahu kalau Taek-ki
sebelum bertanding bisa sampai gak keluar dari kamar dan gak makan. Belum lagi
dia cukup shock melihat Taek-ki ternyata merokok untuk menghilangkan stressnya
sebelum bertanding. Melihat ini dan sudah dikasih tau oleh bokapnya Taek-ki,
Deok-sun sudah menyiapkan segala keperluan Taek-ki selama bertanding. Biar
Deok-sun dodol sedodol-nya ya, dia paham juga gimana mengurus Taek-ki. Dia bawa
matras penghangat dari rumahnya – ini bikin Bo-ra emosi karena dia jadi
kedinginan menggigil karena matrasnya penghangatnya dibawa si Deok-sun :D :D, dan
ditaruh di bawah sprei tempat tidur Taek-ki di hotel karena pas musim dingin di
Cina. Deok-sun juga menyiapkan pakaiannya Taek-ki untuk bertanding, dia taruh
di mana Taek-ki bisa lihat – sampai hal kaya gini aja juga Taek-ki gak bisa, doeng
banget ini orang emang ye. Sampai beliin makanan dan bikinin telur ceplok di
dapur hotel buat Taek-ki makan. Kalau gak ada Deok-sun kelar udah hidupnya
Taek-ki kali ya. Ampun deh.
Hal-hal semacam ini, cinta-cintaan monyet, juga terjadi di
area komplek gue semasa gue SMP-SMA. Cerita si ini lagi PDKT ke si itu, lalu
pacaran, putus dan PDKT dengan siapa lagi, udah menjadi cerita yang hilir mudik
di telinga kami. Kadang merasa komplek gue tinggal ini mirip kisahnya Beverly
Hills 90210, halah! Saking segitu banyaknya kisah romantis picisan ala-ala anak
abegeh saat itu yang bertebaran di seantero komplek. Lucu kalau diingat.
Komplek itu saksi bisu banget mengenang cerita cinta monyet kami semua.
Selain kisah persahabatan kelima kawan tadi, yang gak kalah
seru adalah kisah masing-masing keluarga dan antar tetangga di gang Ssangmundong.
Masing-masing mempunyai kisah tersendiri yang gak kalah kocak dan mengharu
biru. Beberapa kali gue nangis mengingat kisah-kisah keluarga mereka mirip
dengan kisah keluarga gue sendiri. Ya setiap keluarga pasti punya kisahnya
masing-masing dan melalui drama ini setidaknya ada irisan yang sama dan
terelasi dengan keluarga kita sendiri.
Seperti ketika Bo-ra mau belajar hukum dan harus masuk
asrama. Ibu dan kedua adiknya mengantar Bo-ra dengan sedih di depan rumah,
sedangkan Ayahnya memilih sok cuek dengan pergi kerja di hari itu seolah-olah
ini hal biasa aja kok, gak perlu bersedih. Eh ternyata Ayahnya tidak berangkat
kerja, malah nungguin Bo-ra lewat di pinggir jalan lalu memberhentikan mobil
Bo-ra dan memberikan obat-obatan untuk di asrama nanti. Ah, sedihnya momen ini.
Ayah yang sayang banget dengan anak sulungnya yang notabene serupa tapi tak
sama wataknya ini. Ditambah lagi ketika Deok-sun diminta Ibunya mengantar
kepiting untuk ransum kakaknya di asrama. Deok-sun sempat kesal karena harus
berjalan jauh demi Bo-ra, tetapi begitu sampai disana ia melihat kamar asrama
Bo-ra yang kecil banget. Seketika Deok-sun langsung memeluk Bo-ra dan menangis.
Biar gimanapun siblings still siblings ya, meskipun kesel tapi kalau lihat
saudaranya susah tetap saja sedih. Ah…
Dan tentunya di balik kisah-kisah mellow masing-masing
keluarga, banyak juga hal-hal kocak yang bikin ngakak setiap nontonnya.
Kelakuan para suami istri, ayah ibu dari kelima kawan itu, yang konyolnya ampun
deh. Paling gokil sebetulnya keluarga Jung-hwan. Kebayang gak sih anaknya cool
abis gitu, irit bicara, tapi emak bapaknya koplak abis. Ada-ada aja kelakuan
mereka. Pernah sotoy bokapnya benerin setrikaan emaknya, sedikit-sedikit tali kabelnya
dipotong sampai akhirnya kabelnya tinggal 30 cm doang. Emaknya udah emosi aja
itu. Apalagi pas dipakai buat nyetrika, yang ada mejanya yang harus digeser
sana sini supaya bisa ke-strika pakaiannya. Bikin tambah emosi si emak, kocak
ini.
Begitu banyak nostalgia ketika menonton drama satu ini.
Sukses banget membuat gue tertawa terbahak-bahak sampai guling-guling di kasur
dan juga menangis sesegukan bersamaan. Ceritanya sangat ringan tapi nyata dalam
kehidupan sehari-hari di tahun-tahun itu. Bagaimana persahabatan antar teman
terjalin hanya dengan main bersama tanpa sibuk oleh gadget. Menghabiskan
berjam-jam di rumah teman sambil dengerin lagu sambil tiduran di kasur atau
lantai dan bercerita ini itu. Sampai tiba waktunya kami semua sibuk dengan
urusan masing-masing dan satu persatu meninggalkan komplek untuk
menjelajahi dunia masa depan. Memori tetap terkenang sepanjang masa,
meskipun momen tersebut hanya menjadi kisah yang melekat di ingatan.
Kosambi Baru, biarlah tetap menjadi saksi bisu perjalanan
hidup gue di tahun 90an.
Friday, July 17, 2020
Sebetulnya sudah dapat diprediksi sebelumnya sih, kalau nonton
drama seri semacam drakor itu sama seperti menjebloskan diri sendiri ke dalam
lubang dan bakal susah untuk keluar. Memang dasar iman ini juga gak kuat-kuat
amat ya, begitu mencoba satu judul saja, meskipun dah janji dengan diri sendiri
untuk gak terlena, susah sekali ternyata untuk berhenti. Seperti layaknya
magnet, drakor ini benar-benar menghipnotis sekali.
Berawal ketika salah satu stasiun TV swasta menayangkan satu
judul serial drakor di tengah masa pandemi Covid-19 di pagi hari. Dengan
kesadaran penuh (sebetulnya) gue menanyakan ke salah satu teman dari kecil gue
yang memang suka sekali ber-drakor ria, dengan applikasi apa dia biasa menonton
tayangan drakor. Dengan kesadaran penuh juga gue akhirnya mantap men-download
applikasi tersebut dan menonton judul serial drakor yang ditayangkan di TV itu.
Niatnya sih supaya gak capek-capek nunggu setiap hari per episodenya. Ya, tau
sendiri kan, namanya drakor yang serupa tapi tak sama dengan sinetron ini, kalau
sudah di akhir tayangan pasti dibikin situasi semacam lo lagi boker trus lo
dipanggil sama bos gitu. Nanggung! Gak enak banget rasanya kan. Nah, dengan
alasan itu lah, berikut janji gak akan terlena ke drakor-drakor lainnya, gue mulailah
kenistaan menonton drakor.
Ketika seri pertama ditonton, menimbulkan sensasi tadi yang
gue jelaskan (semacam boker gak tuntas itu, cuy), gue lanjut ke seri kedua,
ketiga, terus dan terus, Sampai akhirnya gue kaget sendiri, dalam 3 hari sudah
kelar gue tonton 16 episode. Kebayang kan, 5 episode dalam seharinya, dan
ditonton secara marathon sampai niat tidur jam 1 atau setengah 2 pagi. Lalu
berhenti sampai di situ?
Tentu tidak, Marimar!
Seperti biasa, ketika selesai menonton sesuatu, sudah jadi rutinitas bagi gue untuk browsing segala sesuatu yang berkaitan dengan tayangan yang gue tonton, seperti misalnya mengecek siapa nama pemainnya, latar belakang si aktor dan aktris ini, belum lagi melihat-lihat dia main di mana lagi. Kebiasaan ini pun juga gue lakukan dengan drakor yang gue tonton. Iseng awalnya lalu berujung jadi kepingin lanjut ke drakor berikutnya dimana si actor berperan juga. Kebetulan lagi di drakor berikutnya adalah salah satu drakor yang pernah fenomenal juga di masanya, sekitar tahun 2016-2017an gitu lah. Terlintaslah untuk menontonnya, yang kebetulan kali ini bisa-bisaan gue dapat grup tayangan drakor terlengkap di applikasi Telegram dari teman lain pecinta drakor juga. Dengan mudahnya drakor-drakor tersebut diunduh dan dapat ditonton, bahkan tanpa mobile data pun. Semakin nyaman saja situasinya ini. Tapi kali ini sudah gak se-barbar sebelumnya, ditonton cukup manusiawi, 16 episode dalam 5 hari. Cukup beradab lah ya. :P – pembelaan diri dari tersangka korban drakor.
Guardian: The Lonely and Great God |
Ternyata oh ternyata, kejatuhan gue dengan drakor ini belum berakhir, sodara-sodara seiman dan senegara. Gue terlena dengan salah satu actor di drakor kedua yang berjudul Goblin. Yes, gue jadi demen banget sama pemainnya, Gong Yoo. Sampai-sampai gue niatin hanya akan menonton semua film dan drakor yang dimainkan oleh dia saja. Ini ceritanya untuk mempersempit iman gue yang gak kuat ini ya, supaya lebih tegar lagi menghadapi cobaan drakor. Namun sayangnya, korban drakor ini (gue!!) bukan hanya kurang iman dengan mengurangi tayangannya, tapi juga nambah dosa baru. Hampir tiap hari yang diliatin ya si Gong Yoo ini. Mesem-mesem sendiri gak jelas kaya orang gila. Nyanyiin theme songnya, padahal ngerti juga kaga artinya apa. Sampai punya niat mau belajar bahasa Korea, biar kalau nonton gak usah ditongkrongin subtitlenya tapi fokus sama mukanya aja.
Sebetulnya kalau mau milih sih gue mau menjadi penonton
garis keras aja, yang hanya nonton tayangan yang ada Gong Yoo aja gitu.
Sayangnya pemain drakor ini kan bejibun, meski banyak drakor bertebaran di
mana-mana, satu aktor itu tidak terlalu banyak main drakornya. Begitu juga
dengan Gong Yoo ini, drakornya hanya sedikit yang bisa ditonton. Akhirnya,
sekelar dengan drakor-drakor yang dimainkan oleh Gong Yoo, gue beralih ke
drakor fenomenal lainnya. Kali ini gue
hijrah ke tayangan Descendants of the Sun dengan pemainnya Song Joong Ki dan
Song Hye Kyo. Dan di drakor ini pun gue terpesona dengan mereka berdua. Sempet
ikutan baper pas baca-baca kisah mereka di real life dimana mereka akhirnya
mereka beneran sampai masuk ke pernikahan dan sekarang dah bercerai. Halah!
Drakor terbaru yang saat ini baru aja gue selesaikan adalah
The Innocent Man, yang main Song Joong Ki – mulai punya dua idola dah ini. Ya
itu, lanjut dari DOTS, gue penasaran dengan drakor lainnya dari SJK ini. Ini
pun juga hasil dari rekomendasi teman gue yang cinta banget sama doski. Biar
dikata mukanya putih macam kulit bangkuang dan manis imut-imut (baby face gitu
lah), tapi di dua drakor yang gue tonton, aktingnya oke juga. Drakor yang ini salah
satu drakor yang menurut gue alur ceritanya cukup bikin gue up n down dengan
tema balas dendam dari percintaan segitiga. Keren sih menurut gue sebagai
penonton newbie drakor.
Jadilah selama pandemi ini gue sudah marathon nonton drakor
entah ke berapa lah ini. Tapi gue akui sih, semakin ke sini drakor semakin
beragam tema ceritanya dan semakin enak ditonton dengan pemandangan-pemandangan
yang menarik juga. Ditambah lagi akting para pemainnya udah lebih oke juga. Gue
sendiri sebetulnya pernah terlena nonton drama seri ketika sebelum nikah. Waktu
itu masih eranya Meteor Garden dan setipenya yang sempat mengisi waktu gue saat
itu. Karena gue sadar betul betapa gue gampang terlena dengan serial-serial
seperti ini, jadi gue memilih menghindari nonton. Ealah, malah sekarang gue sendiri
dengan sadar penuh memilih jalur drakor untuk mengisi waktu selama pandemi.
Dodol emang! :D
Drakor alias Drama Korea ini benar-benar banget deh. Gue
yang tadinya merasa hina jangan sampai kejeblos nonton drakor, eh sekarang
malah ketagihan. Gue yang tadinya lihat muka aktor dan aktris Korea Selatan
serasa sama semua gak ada bedanya, sekarang dikit-dikit paham siapa mereka. Gue
yang tadinya mikir nama mereka semua mirip sampe susah bedain, sekarang mulai
kebayang nama-nama mereka dikaitkan dengan mukanya. Bayangin aja gue pernah
salah duga dong kalau Kim Jong-un adalah salah satu actor drakor. Ya amplop!!
Sumpah, nama dan muka mereka itu susah diingat, man!!
Seringkali gue mengumpat “Drakor sialan!!” karena gue terlena
dengan nonton drakor tetapi sebenarnya dianggap nista sekali juga gak sih
nonton drakor ini. Memang perlu membagi waktu dengan imbang aja sebetulnya. Bagaimanapun
juga ya tetap harus menerima keadaan kalau memang sudah terjerembab jatuh
nyungsep tenggelam ke dalam dunia drakor yang udah seperti racun dunia selain si
narkoba dan teman-temannya. Satu-satunya ya mencari cara untuk berdamai dengan
situasi. Baiknya ya diatur dengan seimbang antara input dan output. Berhasil
memasukan drakor ke dalam kesenangan, berarti harus ada output hasil dari
kesenangan itu, misalnya saja mengkondisikan setiap selesai dengan satu drakor,
buatlah review dalam bentuk tulisan untuk dibaca secara pribadi ataupun
diunggah ke blog. Belajar lah bahasanya, karena bahasa Korea ini unik meskipun
agak susah dipahami. Menarik sebetulnya belajar Korea. Begitu juga dengan
tradisi mereka yang setiap makan harus banyak menunya, setiap bertemu dengan
orang harus menunduk, bersalaman pun harus sopan dengan memegang antara ujung
siku ataupun pinggang kanan. Sedikit sedikit jadi belajar bahasa dan tradisi
mereka. Move on juga penting, artinya masih ada hal lain selain drakor.
Kewajiban-kewajiban yang harus diselesaikan dalam keseharian ya diselesaikan dulu
baru menonton di waktu senggang. Jangan sampai bablas lupa waktu dan lupa diri.
Semoga aja semakin beradab dan napak tanah ya dalam menonton
drakor biar menjadi manusia yang lebih tahan iman – toyor pala ndiri ini sih
mah. *nyengir*
Monday, June 29, 2020
Dua belas tahun aku bersekolah di satu sekolah yang berbasis
pendidikan Kristiani. Seperti pada umumnya sekolah dengan berbasis agama,
anak-anak diminta untuk wajib mengikuti peraturan ritual agama di sekolah
tersebut tanpa terkecuali apapun agama yang dianut oleh si anak. Jadilah ritual
seperti melakukan ibadah kebaktian setiap minggunya, menghafalkan ayat-ayat
alkitab setidaknya satu perikop dalam pelajaran agama dan juga ritual berdoa
sebelum dan sesudah kelas, hukumnya wajib dilakukan dalam kegiatan persekolahan.
Apakah ritual-ritual tersebut lantas
menjadikan anak-anak berkelakuan baik dalam kesehariannya?
Aku ingat sekali ketika aku berada di jenjang SMP. Kami
diminta untuk mengikuti kebaktian yang dibuat di jam terakhir pelajaran sekolah
dan terletak di gedung yang berbeda dari sekolah kami. Meskipun gedung
kebaktian yang mana adalah gedung SD dan terletak dalam satu komplek yang sama,
kami harus berjalan setidaknya 200-300 meter dari sekolah kami. Ya, kami
berjalan berduyun-duyun di bawah terik matahari yang panasnya ajubileh bin jali,
dengan guru yang menjaga barisan kami di depan dan di belakang agar anak-anak
tidak hilang arah. Tetap saja, dalam perjalanan yang sebetulnya tidak cukup
jauh itu, beberapa dari kami bisa mendadak berbelok arah dan masuk ke dalam
gang-gang komplek perumahan lalu blas hilang, pulang ke rumah. Sehingga
kebaktian yang diadakan sebelum pulang sekolah itu mendadak diganti jamnya
menjadi pagi sebelum pelajaran dimulai agar peserta ibadah tidak mendadak
hilang separuh.
Ada cerita lainnya lagi ketika kami ulangan agama dan harus
menuliskan perikop ayat Alkitab. Mungkin ketika kami berusia SD, dengan
nurutnya kami akan menghafal mati sampai tidak ada satu kata pun yang
terlewatkan untuk nantinya kami tulis di kertas ulangan. Tetapi jangan harap
dengan anak-anak menjelang usia dewasa ini, yang ada kami sibuk mengatur
strategi bagaimana ayat-ayat Alkitab tersebut bisa kami ‘copy paste’ tanpa
hilang satu katapun ke kertas ulangan kami. Ya, begitu banyak cara tentunya!
Mulai dari membuat kertas contekan yang ditulis kecil-kecil (mata dengan
silinder dan minus dilarang keras membuat contekan seperti ini) lalu kami
gulung atau lipat untuk diselipkan di kaos kaki ataupun diinjak di dalam sepatu,
sampai menuliskannya di atas meja kayu dengan pensil yang dilihat dengan
bantuan cahaya matahari (cara ini memang akan tampak seperti orang bodoh karena
kepala dan mata akan bergeser-geser untuk bisa membaca tulisan tersebut ) yang
mana semua itu dilakukan dengan adrenalin tinggi tanpa ketahuan dari guru agama
kami. Tujuannya tentu hanya untuk (lagi-lagi) nilai ulangan yang bagus semata.
Begitu banyak cara yang anak-anak lakukan di usia sekolah
untuk bisa melepaskan diri dari ritual-ritual keagamaan. Anak-anak tampak tidak
menyukai kegiatan beribadah ataupun pelajaran agama yang diberikan oleh
sekolah. Tak jarang juga terjadi pemberontakan akan ritual-ritual yang sekolah
sajikan. Padahal jelas sekali kalau semua peraturan-peraturan tersebut dibuat
(untuk dilanggar, eh!) untuk menjadikan murid-muridnya berakhlak mulia di
kemudian hari setelah selesai dari jenjang pendidikan di sekolah tersebut.
Lantas, apa yang salah dari semuanya ini?
Dalam pembahasan diskusi dengan CM Jakarta beberapa hari
yang lalu, ada penggalan kalimat seperti ini, “Dari tiga jenis pengetahuan yang
layak dimiliki anak – pengetahuan tentang TUHAN, tentang manusia, dan tentang
semesta – pengetahuan tentang TUHAN duduk peringkat pertama dalam hal arti
pentingnya, tak boleh terabaikan, dan paling menentukan kebahagiaan.” Sudah
jelas sekali bahwa pengetahuan tentang Tuhan ini menduduki tangga tertinggi
untuk dijadikan tiang pondasi bagi anak. Mungkin yang menjadi pertanyaannya
saat ini adalah, siapakah yang mengambil peran untuk mendirikan tiang pondasi
tersebut untuk anak? Apakah sekolah, khususnya guru, ataukah peran orang tua yang
mempunyai porsi terbesar dalam mengambil peran tersebut?
Guru di sekolah mempunyai peran dalam mendidik anak-anak
dalam beragama. Pastinya dengan tekun guru akan mengajarkan semua yang
berkaitan dengan keagamaan. Setidaknya seminggu sekali lah anak-anak diberikan
bekal pelajaran agama dari buku teks. Dalam kesehariannya anak-anak pun diminta
untuk melakukan rutinitas berdoa sebelum dan sesudah jam pelajaran sekolah agar
mereka dilindungi dalam naungan Tuhan dalam belajar. Anak-anak pun tidak luput
diberikan bekal ini itu yang berkaitan dengan Ketuhanan dalam kesehariannya
mereka di sekolah. Tetapi, apakah hanya dengan buku teks saja anak-anak mampu
mempunyai ikatan yang kuat dengan Tuhannya? Apakah dengan berdoa setiap hari
anak-anak paham arti dan tujuanya dalam berdoa? Seyakin apa bekal-bekal yang
diberikan oleh guru mampu membuat anak-anak ini bertahan di kehidupannya kelak
selepas dari sekolah?
Seperti kata pepatah lama, “Anak adalah titipan Tuhan.”
Seperti itulah tugas orang tua yang mengambil peran dalam porsi besar untuk
bertanggung jawab akan titipanNya. Ikatan spiritual yang terbangun antara anak
dan orang tua yang menjadi dasar untuk mendidik anak tentang Tuhan. Kasih
sayang orang tua ibarat kasih sayang Tuhan untuk anaknya, sehingga sudah
menjadi kewajiban utama bagi orang tua untuk mendampingi anak dalam
kesehariannya untuk mengenal Tuhan lebih jauh lagi. Pertanyaan pun muncul
ketika tanggung jawab ini disematkan. Bagaimana jika orang tua tidak sereligius
itu dalam menjalankan agamanya, dalam melakukan ritualnya, dan dalam
beribadahnya? Tentunya lepas tanggung jawab dan memberikan porsi ini kembali ke
guru sekolah bukan menjadi jawabannya ya.
Perjalanan spiritual setiap keluarga bisa sangat
berbeda-beda. Belajar dan bertumbuhlah dengan anak, karena sejatinya hasrat
alami manusia itu mengenal sesuatu yang lebih tinggi darinya, dalam hal ini
Tuhan. Pendidikan itu didapat dari atmosfer yang terbentuk dan keluarga
mempunyai peran yang paling besar dalam memberikan atmosfer tersebut. Bagaimana
anak bertumbuh dalam iman jika orang tua pun tidak mau bertumbuh dengan anak?
Mengenal Tuhan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, dan
mengenalkan Tuhan dalam keseharian pun bisa berbeda-beda caranya. Mungkin
melalui persoalan yang terjadi di sekitar dan mendiskusikannya bersama-sama dengan
anak, bagaimana menyelesaikan masalah tersebut dengan mengandalkan tangan Tuhan
yang bekerja dalam penyelesaiannya. Ataupun juga ketika anak bertanya tentang
agama yang dianutnya, bersiaplah untuk menjadikan ini sebagai bahan diskusi
yang menarik dengan anak dalam pencarian jati dirinya dengan Tuhannya.
Esensi dalam berTuhan tidak terpaku hanya di ritual dalam
berdoa dan beribadah, tetapi juga dalam bersikap, pola pikir, cara pandang dan
juga cara bersikap keluar terhadap teman-teman yang berbeda agama. Overdosis
dalam beragama juga tidak dibenarkan. Ibarat melintasi kotak agama, anak-anak
perlu juga melihat dan belajar dari kacamata agama lain sehingga mereka tidak
semata tumbuh dan menjadikan agamanya sendiri
sebagai yang paling benar (I’ve been there!).
Saturday, June 13, 2020
Setiap manusia pastilah terlahir dengan kodrat alamiah,
yaitu menjadi manusia yang bermanfaat bagi Tuhan, sesama dan juga bagi alam
semestanya. Sayangnya seiring dengan waktu kodrat tersebut tergerus dan entah
menguap kemana. Tugasnya di dunia yang seharusnya bermanfaat bagi sesama,
tergantikan dengan sibuk memikirkan dirinya sendiri. Belum lagi tugasnya
menjaga alam sekitar seperti yang diperintahkan Tuhan kepada kita, yang ada
justru sebaliknya, merusaknya, yang lagi-lagi, demi kepentingan dirinya
sendiri. Lantas yang tersisa hanyalah manusia yang seolah-olah bermanfaat bagi
Tuhan, tetapi sebenarnya tidak teraplikasi nyata dalam kehidupan
sehari-harinya. Kenapa manusia yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk termulia yang
memiliki akal dan budi bisa menjadi seperti itu?
Berkembangnya jaman membuat manusia seakan berlomba setiap
waktunya untuk membuktikan menjadi yang terbaik. Sampailah kita di era
teknlogi, dimana setiap orang bergantung penuh akan kebutuhan satu itu. Arus
teknologi ini pun semakin kencang, membawa kita mengikuti arus atau bahkan membuat
kita tenggelam semakin dalam. Belum lagi kesenangan yang tercipta ketika
teknologi ini membuai kita dengan segala sesuatu yang menyenangkan. Tanpa
disadari semuanya itu justru membuat daya fokus kita semakin dangkal, semakin
sulit untuk diajak berpikir lebih mendalam.
Berkonsentrasi menjadi tugas berat bagi otak saat ini. Daya
atensi kita pun semakin menurun seiring dengan distraksi yang kita terima dari
dunia teknologi saat ini. Bagaimana gawai berperan sebegitu besarnya dalam
kehidupan sehari-hari kita, dimana dengan mudahnya pula kita mendapati satu
dunia hanya dalam satu sentuhan saja. Maka tidak heran saat ini semakin banyak orang
dewasa yang terbuai dengan fokus kerumunan mentalitas orang banyak seperti
berlomba menjadi yang terkenal, terhebat dan bahkan yang terkaya sekalipun
lewat dunia sosial media yang sedang marak belakangan ini. Seolah-olah hanya
itu tujuan terbesarnya dalam hidup.
Tentunya ini pun sedikit banyak berdampak pada anak-anak
yang cenderung melihat pola ini dengan orang tuanya. Terpaparnya anak sejak
dini dengan layar, bukan serta merta menjadi hal yang baik untuk anak. Belakangan
ini semakin banyak sekali ditemukan kasus pada anak-anak usia dini yang
kesulitan dalam berkomunikasi dikarenakan oleh gawai. Komunikasi satu arah yang
ditampilkan melalui layar seolah menjadi teman dalam kehidupan si anak. Belum
lagi dampak lain yang ditemukan, daya atensi yang rendah yang sudah tercipta
dari sejak dini. Sungguh tidak dipungkiri banyak anak-anak ketika masuk usia
sekolah sulit untuk berkonsentrasi lebih lama karena seringnya terpapar dengan
layar di gawai.
Dalam satu workshop tentang Habit of Attention yang pernah
aku ikuti, anak-anak usia dini, sampai usia 5-6 tahun, dilarang untuk diberikan
gawai. Mereka harus dipaparkan sebanyak mungkin dengan alam, dibacakan
buku-buku yang berkualitas dan bahkan dibiarkan mencari sendiri kegiatan dalam
kesehariannya tanpa gawai. Semakin minim anak terpapar dengan gawai, semakin
panjang daya atensi si anak. Ini dibuktikan dalam satu tayangan di workshop
tersebut bagaimana seorang bayi berumur 1 tahun sibuk bermain dengan popok baru
yang dipegang, dilempar, bahkan diperhatikannya dengan seksama selama 1 jam
tanpa henti. Bagaimana daya atensi ini terkait erat dengan terpaparnya anak
dengan gawai ya.
Daya atensi rendah ini selain tercipta karena paparan gawai,
juga tidak diiringi dengan asupan jiwa. Seringkali kita lupa bahwa jiwa dan
raga ini adalah satu kesatuan dan keduanya ini harus diisi dengan asupan-asupan
yang baik. Layaknya raga yang dengan mudahnya diisi dengan sajian makanan yang
beragam bagi tubuh, jiwa pun juga seharusnya mendapat asupan yang bergizi bagi daya
berpikirnya sang otak. Kembali ke kodrat manusia di atas tadi, bagaimana kita
sebagai manusia harus tumbuh dan bermanfaat bagi Tuhan, sesama, alam semesta,
atau bahkan harus lebih tinggi daripada ketiga itu. Perlu sekali kita mendapat
pengetahuan yang beragam, yang menyajikan bukan hanya 1 atau 2 materi saja demi
menajamkan kemampuan (skill) untuk tujuan bertahan hidup semata. Pengetahuan
harus diberikan secara menyeluruh dan utuh karena semuanya itu terkait satu
dengan lainnya. Oleh karena itu sajian seperti kurikulum yang kaya sangat
dibutuhkan oleh kita semua.
Begitu juga bagi anak-anak yang memulai hidupnya. Perlu
sekali mereka mendapatkan kurikulum yang kaya, yang bukan hanya terfokus dengan
minat dan bakatnya saja lalu lupa dengan kodrat alamiahnya sebagai manusia. Pendidikan
janganlah dibedakan antara humaniora dan science, karena keduanya ini sejatinya
harus berjalan selaras yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan juga jangan
menjadi individualis yang hanya berpusat pada satu kepentingan saja, sehingga
anak terdidik hanya menjadi ‘mesin’ uang di masa depannya dengan jiwa yang
kosong. Mereka harus disajikan dengan berbagai hal yang tidak hanya menarik
untuk dirinya sendiri saja. Bukan juga durasi belajar yang panjang yang
dibutuhkan oleh anak-anak sehingga mereka cepat merasa bosan, bukan juga materi
belajar yang hanya berisikan fakta dari buku materi yang garing untuk
dipelajari, bukan juga buku yang hanya memuat materi bergambar saja sehingga
anak tidak memiliki daya imajinasi yang tinggi, tetapi buku-buku yang hidup (living
books) yang dapat memantik jiwa anak dalam mempelajari segala sesuatunya. Sajikanlah
itu semua untuk mereka dan biarkanlah mereka menikmatinya.
Notes:
Gawai bukanlah musuh, bukan sesuatu yang harus dihindari. Anak
tetap perlu diperkenalkan sesuai dengan porsinya. Jadikanlah gawai sebagai
media imunitas sehingga tidak larut dalam sosialita. J
Saturday, May 30, 2020
Belakangan ini satu dunia dihadapkan dengan satu pandemi
penyakit yang bernama Corona. Penyebarannya cukup cepat, menyerupai flu
sepertinya, tapi mematikan banyak manusia. Awalnya penyakit ini dikabarkan
datang dari China, lalu menyebar seiring manusia berpindah tempat dari satu
lokasi ke lokasi lain, dari satu kota ke kota lain dan bahkan berpindah dari
satu negara ke negara lain.
Awalnya di Indonesia sendiri tidak terdeteksi. Ya kalau ini sih sempat ada meme-meme lucu kenapa penyakit tersebut tidak sampai ke Indonesia. Pada saat itu pas sekali dengan sering-seringnya Jakarta kebanjiran, dimana anak-anak kecil membuat daerah banjir jadi ajang permainan mereka. Belum lagi dengan jajanan pinggir jalan ala Indonesia yang bercampur dengan debu kendaraan bermotor yang lalu lalang. Tentunya saja ini menguatkan asumsi kalau Corona merasa takut datang ke Indonesia.
Lalu sekitar pertengahan bulan Maret mendadak ditemukan 2 orang yang terjangkit penyakit Corona. Selesai Presiden Jokowi mengumumkan berita ini, seketika itu juga masyarakat di Indonesia kalap. Mereka semua mengantri di supermarket, membeli apa yang sebetulnya tidak perlu. Mereka berduyun-duyun memborong semua yang bisa mereka beli untuk persediaan. Dalam sekejab, semua supermarket kehabisan stok mereka.
Bahkan ada juga yang viral ketika salah satu bapak-bapak Tionghoa dengan seragam kebesarannya, celana pendek, kaos polo licin dengan tas di pinggangnya, mengantri di salah satu supermarket dengan tumpukan kardus Indomie melebihi tinggi badannya. Sontak kejadian ini menjadi perbincangan warga +62 lah ya, dari yang nyumpahin si Ngkoh kanker usus karena menyetok Indomie segitu banyaknya,sampai isu menyulut penjarahan pun melonjak. Usut punya usut, ternyata si Ngkoh ini emang setiap hari membeli Indomie dari supermarket tersebut dan setiap belanja ya dengan porsi seperti itu. Ya begitulah berita itu menyebar lewat sosmed, dan secepat itulah jari dan lidah mengeluarkan komen-komen.
Setelah pengumuman berita tersebut, selain masyarakat berbondong-bondong mengantri di supermarket, mendadak sekolah di Jakarta diminta untuk meliburkan murid-murid mereka guna memutus rantai penyebaran Corona atau yang sering disebut dengan Covid-19. Lagi-lagi hal ini jadi perbincangan. Mulai dari akan bagaimanakah sistem pendidikan selanjutnya ketika di rumah, lalu penilaian akan dibuat seperti apa, belum lagi yang menjelang UN sampai akhirnya di ujung pertanyaan, apakah uang sekolah bisa didiskon?
Seperti ramalan jadi kenyataan ketika Presiden Jokowi melantik Nadiem menjadi Menteri Pendidikan, dimana sekolah akan online, begitupun dengan pembayarannya yang sesuai applikasi Gojek. Sekolah pun akan berlangsung seperti lelucon yang menjadi kenyataan. Lucu namun miris.
Sekolah saat ini betul menjalani pendidikan secara online. Anak-anak diberi materi oleh guru kelasnya untuk dikerjakan di rumah dengan orang tuanya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi? Ya, tentu saja setelah pendidikan dipindahkan tugasnya menjadi orang tua yang bertanggung jawab penuh, orang tua berteriak semua. Mereka tidak siap menanggung semua ‘beban’ ini tiba-tiba, dibalik alasan mereka harus bekerja, menyelesaikan urusan rumah tangga (memasak, nyuci baju, setrika dsb), tidak ada waktu me time lagi sampai dengan alasan merasa rugi karena sudah membayar uang sekolah full di awal, bahkan merasa tidak terima ketika ditagih dengan uang sekolah bulanan atau bahkan tahunan karena harus mengajar sendiri anak-anaknya tanpa bantuan guru.
Barang tentu ini jadi dilema tersendiri bagi pihak sekolah, guru, orang tua bahkan anak-anak sekalipun. Selain orang tua yang merasa stress karena ter”beban”i dengan satu tanggung jawab baru (which is sebetulnya ini sudah jadi tanggung jawab di awal ketika memiliki anak. Ketika pihak sekolah sebagai wakil orang tua tidak bisa lagi membantu anak dalam pendidikan, sudah wajib takdirnya orang tua mau menerima tanggung jawab mendidik anaknya sendiri), anak pun kena getahnya. Setiap hari yang dihadapi mereka hanya tugas yang harus dikerjakan dan diselesaikan hanya demi nilai semata, sampai-sampai orang tua lupa apa sebetulnya hal dasar dari pendidikan selain nilai semu yang dikejar. Tujuan pemerintah merumahkan anak-anak dari sekolah, seharusnya bisa jadi ajang bagi keluarga untuk kembali melihat ke dalam. Ini justru bisa jadi momen tersendiri bagi orang tua untuk lebih berperan bagi anaknya. Bukan lagi nilai-nilai sekolah yang perlu dijunjung tinggi sehingga lupa apa artinya kebersamaan saat ini.
Selain orang tua dan anak, pihak sekolah sebagai wakil orang tua dan juga sebagai pihak pebisnis disini, merasa ketar ketir dengan keputusan pemerintah ini. Mereka tetap harus menjalankan ‘bisnis’ mereka, tapi tidak tahu sistem apa yang harus digunakan ketika situasi di luar kendali mereka. Jadilah pihak guru yang terkena dampaknya.
Sebagai orang yang pernah bekerja di sekolah, aku dapat merasakan bagaimana situasi guru saat ini. Pernah lihat di salah satu postingan teman yang bekerja sebagai kepala sekolah di salah satu sekolah ternama bagaimana guru dalam menyiapkan pendidikan online harus bekerja semaksimal mungkin agar materi-materi tersebut sampai ke tangan orang tua dan bisa diajarkan ke anak-anak. Peran guru disini betul-betul menjadi tonggak keberhasilan bagi pihak sekolah, orang tua bahkan anak muridnya. Belum lagi sambil dipikirkan apakah tahun ajaran baru para guru ini masih akan mendapat pendapatan penuh atau tidak, bahkan memikirkan apakah jasa mereka masih akan tetap dipakai oleh sekolah tersebut atau tidak. Salut padamu, Para Guru, teman sejawatku!
Kalau bicara tentang pandemic yang terjadi ini sudah barang tentu banyak yang mengkritisi, dari mulai pendidikan anak, kerja pemerintah yang dinilai setengah-setengah menanggulanginya sampai ke bisnis yang mulai lesu. Bayangkan saja para masyarakat kelas bawah yang pendapatannya harian, sudah barang tentu hal ini paling berdampak ke mereka. Mereka lebih memilih tetap berjualan, sambil berharap ada pembeli, ketimbang harus berdiam diri di rumah menunggu pandemic selesai. Urusan perut jelas lebih utama bagi mereka saat ini. Lebih baik mati karena Covid-19 ketimbang mati karena kelaparan, begitu ujar mereka ketika diwawancara di daerah Kota. Hidup ini berat, Jenderal!
Tentu sudut pandang ini sedikit berbeda ketika yang menyikapinya dari pihak para Homeschooler. Kami yang sudah sejak awal tahu langkah kami dalam membersamai anak, ketika mendapati berita harus lebih banyak berdiam diri di rumah, tentu saja ini bukan menjadi masalah besar. Kami terbiasa 24 jam /7 hari dengan anak-anak dan tidak pernah merasa menjadi halangan untuk kami berdiam diri di rumah selama itu. Setidaknya ini yang terjadi di aku dan Fritz, tentu beda dengan bapaknya yang terbiasa dengan kerja lapangan.
Satu lagi yang dapat diamati dari pandemic ini, semesta seolah memaksa manusia untuk refleksi. Manusia diminta untuk rehat sejenak dari kesibukan duniawinya. Sibuk bekerja sampai lupa waktu dengan kesehatannya, kebersamaan dengan keluarganya, bahkan sampai lupa dengan dirinya sendiri dan alam sekitar. Manusia diminta untuk bersantai sejenak dan lebih menyadari serta menikmati hari demi hari dengan penuh kesadaran, bukan lagi sibuk dengan urusannya masing-masing.
Sadari alam sekitar. Langit jauh lebih cerah dari hari-hari biasanya. Burung-burung bercuit lebih sering. Bunga jauh lebih kelihatan indah dari biasanya. Bahkan udara pun jauh lebih enak dihirup ketimbang sebelumnya. Ya, biarkan bumi rehat. Bumi sudah tua dan butuh istirahat sejenak dari rutinitas manusia setelah dipakai secara berlebihan.
Oleh karena itu, masih banyak yang bisa disyukuri dari keadaan saat ini ketimbang menggerutu dengan hal-hal yang tiada guna. Sadari setiap nafas kehidupan kita adalah anugerah tersendiri yang Tuhan kasih secara gratis, begitu juga dengan detak jantung yang masih bekerja sampai saat ini. Biarlah hal kecil namun berarti bisa menjadi rasa syukur kita di tengah situasi saat ini.